Keputusan tim AS bermain tanpa center murni di Olimpiade terbukti tepat sejauh ini. Dengan penembak perimeter andalan, mereka melesat menuju final untuk keempat kali beruntun.
Oleh
KELVIN HIANUSA
·5 menit baca
TOKYO, KAMIS – Bermain tanpa center murni, tim bola basket Amerika Serikat tidak punya pilihan selain mengandalkan senjata utama lewat tembakan perimeter. Mesin skor mereka memang sering lambat panas selama Olimpiade Tokyo 2020. Tetapi, risiko itu sepadan karena Kevin Durant dan rekan-rekan hanya butuh percikan kecil untuk menghancurkan tim lawan.
Percikan kecil itu yang kembali menginspirasi kemenangan AS atas Australia, 97-78, dalam laga semifinal di Arena Saitama Super, Kamis (5/8/2021). Sang juara bertahan memastikan lolos ke final empat kali beruntun setelah mampu bangkit dari ketertinggalan.
Tim asuhan Gregg Popovich ini sempat tertinggal 15 poin pada pertengahan kuarter kedua, 26-41. Mereka menemui titik buntu karena gagal memasukkan 10 kali lemparan tiga poin beruntun, selama 16 menit pertandingan berlangsung. Penembak jitu AS mulai dari Durant, Devin Booker, Khris Middleton, hingga Damian Lillard, kehilangan taji.
Namun, tiba-tiba percikan kecil itu datang dari lemparan tiga poin Booker. Dia memasukkan lemparan pertama dalam 11 kali percobaan tim AS. Setelah itu, momentum berpindah ke arah Durant dan rekan-rekan.
Percikan kecil itu berubah menjadi ledakan besar. Akurasi lemparan AS yang mengkhawatirkan, 0 persen (0-10), berubah drastis menjadi 32 persen (9-28) seusai aksi Booker. Hujan tiga poin itu membuat Australia hanya bisa pasrah. AS menipiskan jarak menjadi hanya tertinggal 3 poin pada akhir kuarter kedua (42-45), lalu berbalik unggul jauh pada kuarter ketiga (74-55).
“Mereka punya sangat banyak daya ledak. Jadi, jika kami memberikan satu inci, mereka akan membuat itu menjadi satu mil. Kami sudah berjuang keras, tetapi itu akan percuma jika mereka mulai panas,” kata guard Australia yang bermain di NBA, Matisse Thybulle.
Kami sudah berjuang keras, tetapi itu akan percuma jika mereka mulai panas.
Itulah bahaya nyata skuad AS ala Popovich yang bermain dengan “bola kecil” atau tanpa center murni. Skuad ini memang tidak sedominan dan selengkap tim “mewah” seperti tiga gelaran Olimpiade sebelumnya. Salah satu kelemahannya adalah tidak memiliki center bintang bertubuh tinggi dan besar yang bisa dominan di area dalam.
Namun, sebagai gantinya, Popovich membawa banyak penembak jitu dalam tim ini. AS bisa memainkan lima pemain sekaligus yang bisa menembak jauh. Posisi center saja kebanyakan diisi oleh Durant yang berposisi forward.
Penempatan salah satu penembak perimeter terbaik NBA ini di posisi center membuat banyaknya pilihan eksekutor AS dari garis tiga poin. Adapun Durant kembali menjadi top skor tim pada semifinal dengan sumbangan 23 poin. Perolehan itu disusul Booker (20 poin) dan Middleton (11 poin).
“Kami tertinggal 15 poin dan bisa bangkit karena mampu mengambil momentum di paruh kedua. Setelah kami mulai memasukkan tiga poin, saya sudah yakin kami akan bisa mengatasi ini dengan baik,” ucap Durant, sang kapten tim AS yang turut menyumbang emas di London 2012 dan Rio 2016.
Kami tertinggal 15 poin dan bisa bangkit karena mampu mengambil momentum di paruh kedua. Setelah kami mulai memasukkan tiga poin, saya sudah yakin kami akan bisa mengatasi ini dengan baik.
Bagi AS, hanya mengandalkan tembakan perimeter tentu sangat berisiko. Jika tidak bisa “wangi” selama satu laga, mereka akan menemui jalan buntu seperti saat dikalahkan Perancis dalam laga pembuka babak grup. Lawan akan lebih mudah saat bertahan, tinggal fokus ke area dalam.
Sebaliknya, andai bisa menemukan momentum lemparan, mereka akan sangat mudah mendapatkan poin. Selain dari lemparan tiga poin dan jarak menengah, Durant dan kawan-kawan bisa menciptakan poin mudah lewat penetrasi. Pertahanan lawan otomatis terhisap gravitasi para penembak.
Popovich membuktikan perjudian tersebut sepadan hingga saat ini. Setelah kalah dari Perancis, mereka tidak pernah terkalahkan lagi. Bahkan, mereka juga mampu bangkit berkat percikan seperti dalam laga semifinal pada dua laga sebelumnya, melawan Republik Ceko (babak grup) dan Spanyol (perempat final).
Percikan di tengah pertandingan itu punya dua keuntungan untuk AS. Para pemain mereka menjadi lebih percaya diri dengan angin kedua, saat bersamaan mental tim lawan juga bisa hancur berantakan.
Di sisi lain, bermain tanpa center murni membuat AS menjadi lebih fleksibel dalam bertahan. Lima pemain di lapangan bisa bertukar posisi untuk menjaga pemain lawan. Kondisi ini tidak ideal jika tim lawan punya center dominan, seperti Perancis bersama Rudy Gobert.
Namun, kondisi ini menguntungkan ketika berhadapan dengan Australia. Seperti diketahui, kekuatan terbesar Australia ada di posisi belakang, guard dan forward.
Dengan kecepatan dan kelincahan seluruh pemain, tim AS bisa meredam eksplosivitas guard dan forward lawan. Itulah yang membuat pemain andalan lawan guard Patty Mills (15 poin) dan forward Joe Ingles (9 poin) kurang bersinar.
Di final, AS akan kembali menghadapi satu-satunya tim yang mengalahkan mereka selama Olimpiade, yaitu Perancis. Duel ulangan laga pembuka Grup A ini akan berlangsung pada Sabtu malam.
Perancis lolos ke final seusai mengalahkan Slovenia, 90-89, dalam laga dramatis yang harus ditentukan sampai detik terakhir. Forward Perancis Nicolas Batum menjadi pahlawan kemenangan dengan menghadang lemparan terakhir pemain lawan, Klemen Prepelic.
Perjalanan sensasional guard andalan Slovenia, Luka Doncic, pun terhenti di semifinal. Bintang asal tim NBA Dallas Mavericks ini gagal melanjutkan rekor 17 kemenangan beruntun sejak membela Slovenia pada 2017. Adapun Doncic mencetak triple-double dalam laga itu, 16 poin, 10 rebound, dan 18 asis.
Kata Durant, mereka harus lebih siap untuk partai perebutan emas. Meskipun Perancis mengalahkan mereka di babak grup, tim AS tetaplah favorit juara. “Ketika Anda berstatus tim terhebat, tim lawan pasti akan menampilkan permainan terbaik yang mereka punya,” pungkasnya. (AP/REUTERS)