Filosofi “Mottainai” dan Inovasi Medali dari Bahan Daur Ulang
Inovasi tercipta dalam materi pembuatan medali di Olimpiade 2020. Jutaan perangkat elektronik bekas menjadi bahan dasar untuk tanda apresiasi bagi olimpian berprestasi.
Oleh
MUHAMMAD IKHSAN MAHAR
·4 menit baca
Selain memamerkan perkembangan teknologi nan futuristik dalam menyelenggarakan Olimpiade 2020, Jepang tidak ketinggalan menjaga pula prinsip kehidupan yang telah lestari selama ratusan tahun. Salah satu filosofi yang dijalankan pada Tokyo 2020 ialah “mottainai” yang berarti mengharamkan sikap mubazir. Hal itu terwujud dalam pembuatan medali untuk para atlet beprestasi yang terbuat dari daur ulang limbah elektronik.
Ratusan atlet telah meraih prestasi tertinggi dan menerima medali emas di Olimpiade 2020. Tak ketinggalan mereka melakukan pose ikonik dengan menggigit medali emas yang dikalungkan di lehernya.
Panitia penyelenggara Olimpiade 2020 seakan geregetan dengan kebiasaan para atlet itu, sehingga membuat cuitan yang informatif terkait medali itu. Cuitan itu pun diunggah melalui akun resmi @Tokyo2020.
“Kami secara resmi ingin mengonfirmasikan bahwa medali #Tokyo2020 tidak bisa dimakan! Medali kami dibuat dari materi daur ulang perangkat elektronik yang didonasikan publik Jepang,” tulis panitia, 25 Juli lalu.
Medali yang terbuat dari bahan daur ulang sesungguhnya bukan hal baru. Di Rio de Janeiro 2016, pembuatan medali emas dan perak sebanyak 30 persen bahan bakunya terbuat dari daur ulang suku cadang mobil dan permukaan cermin.
Tetapi, pada Tokyo 2020 bahan daur ulang itu bukan hanya materi pelengkap. Sebab, bahan medali emas, perak, dan perunggu 100 persen berasal dari daur ulang perangkat elektronik masyarakat Jepang, terutama ponsel pintar dan laptop.
Untuk mengumpulkan jutaan perangkat elektronik bekas, panitia penyelnggara Olimpiade 2020 melakukan “Proyek Medali Tokyo 2020” yang dimulai pada April 2017 hingga Maret 2019. Semangat filosofi “Mottainai” yang telah menjadi prinsip hidup warga Jepang menjadi akar dari dimulainya proyek ini. Masyarakat “Negeri Matahari Terbit” membuktikan diri bahwa mereka lebih senang menyumbangkan perangkat elektronik bekasnya untuk sesuatu yang lebih bermanfaat dibandingkan hanya menjadi limbah.
Masa Takaya, juru bicara Tokyo 2020, mengungkapkan, proyek itu tidak sekedar untuk mengampanyekan gaya hidup daur ulang yang telah hadir di Jepang dalam ratusan tahun, tetapi mereka ingin masyarakat Jepang bisa berkontribusi langsung dalam penyelenggaraan Olimpiade ketiga di negara itu.
“Proyek ini adalah sebuah inisiatif guna memberikan kesempatan warga di seluruh negeri untuk berpartisipasi pada Tokyo 2020. Kami berterima kasih atas antusiasme besar masyarakat,” ujar Takaya kepada BBC Future.
Ketika kampanye untuk medali itu dimulai April 2017 antusiasme masyarakat Jepang amat tinggi. Hiromi Sakushima (59), warga Kawasaki, menceritakan dirinya rela mengantri di Gedung Pemerintah Metropolitan Tokyo untuk memberikan belasan ponsel bekas milik keluarganya, awal 2018 lalu. Sakushima mengatakan, dirinya senang bisa memberikan manfaat melalui perangkat elektronik yang sudah tidak digunakannya lagi.
Saya senang mengetahui ponsel lama saya bisa menjadi medali di Olimpiade 2020.
“Saya senang mengetahui ponsel lama saya bisa menjadi medali di Olimpiade 2020,” kata Sakushima.
Kolaborasi
Kemampuan Jepang menghadirkan inovasi dalam pembuatan medali tidak lepas dari kolaborasi seluruh pihak. Dilansir laman Olympics.com, secara akumulasi 1.621 instansi pemerintah daerah ikut serta dalam proyek itu. Jumlah itu mencapai sekitar 90 persen dari total 1.741 pemda, baik tingkat provinsi, kota, hingga desa. Dalam proyek itu, pemda memiliki tanggung jawab untuk menerima dan mengorganisir sumbangan dari masyarakat, baik secara perorangan maupun melalui organisasi kemasyarakatan.
Selain pemda, sejumlah perusahaan swasta juga dilibatkan untuk mengumpulkan dan mengolah limbah. Perusahaan yang terlibat di antaranya, NTT Docomo dan ReNet Japan Group. Sebagai toko ponsel terbesar di Jepang, NTT Docomo, membantu untuk menerima donasi ponsel yang mencapai 6,21 juta perangkat. Lalu, ReNet Japan Group juga membantu mengumpulkan sekaligus mengolah limbah elektronik itu, Proyek itu mampu mengumpulkan perangkat elektronik bekas mencapai sekitar 78.985 ton atau sekitar 78,9 juta kilogram.
“Gerakan pengelolaan limbah elektronik adalah buah kolaborasi banyak pemangku kepentingan, mulai dari pemerintah hingga komunitas lokal. Proyek ini menunjukkan kesadaran yang tinggi dari masyarakat terkait e-waste (limbah elektronik),” kata Direktur ReNet Japan Group Toshio Kamakura kepada DW.
Dari sejumlah perangkat itu, panitia penyelenggara Tokyo 2020 mengumpulkan ribuan kilogram logam yang terdiri dari 32 kg emas, 3.500 kg perak, dan 2.200 kg perunggu. Seluruh logam itu menjadi bahan dasar pembuatan sekitar 5.000 medali untuk Olimpiade dan Paralimpiade 2020. Unsur emas, perak, dan perunggu itu terkumpul melalui proses ekstraksi yang menggunakan mesin peleburan. Sebagai gambaran untuk menghasilkan satu gram emas membutuhkan 35 ponsel hingga 40 ponsel.
Meskipun medali emas sejatinya diberikan dengan jumlah yang setara dengan medali perak dan perunggu, medali untuk sang juara pertama itu sejatinya tidak terbuat dari emas murni. Untuk Olimpiade 2020, medali emas hanya mengandung enam gram emas, sisanya adalah perak murni. Secara total, berat medali emas di Olimpiade 2020 ialah 556 gram, lalu medali perak 550 gram, serta medali perunggu 450 gram.
Meskipun tidak bisa menyaksikan langsung pertandingan di Tokyo 2020, kehadiran warga Jepang bisa terwakili dari limbah elektronik yang dikalungkan kepada para olimpian. Sekali lagi, Jepang membuktikan filosofi hidup tradisional masih sangat relevan dengan nilai-nilai yang dikampanyekan untuk menyelamatkan lingkungan di era modern ini. (REUTERS)