Spanyol dan Brasil menembus final sebagai predikat tim dengan pendekatan permainan menyerang. Adapun Swedia dan Kanada berbekal pertahanan kokoh akan berduel demi menjadi juara baru di cabang sepak bola putri.
Oleh
MUHAMMAD IKHSAN MAHAR
·4 menit baca
SAITAMA, RABU — Spanyol dan Brasil membuktikan sepak bola menyerang yang mendominasi lawan ampuh untuk mendekatkan impian mereka untuk meraih medali emas kedua di Olimpiade. Dalam lima laga yang telah dilalui, kedua tim itu selalu mengungguli sang lawan dari sisi penciptaan peluang dan penguasaan bola.
Sementara itu, Kanada dan Swedia yang tampil di laga final cabang sepak bola putri justru bisa menembus partai puncak lewat permainan pasif nan pragmatis. Dalam dua pertandingan fase gugur, kedua tim yang belum pernah meraih emas sepak bola putri itu bermain lebih bertahan dan membunuh lawan-lawannya dengan skema serangan balik.
Seperti yang sudah diprediksi sebelumnya, Spanyol dan Brasil berada di level berbeda dalam 16 tim yang bertarung di cabang sepak bola putra. Kedua tim itu membawa skuad dengan kualitas lebih baik dibandingkan 14 tim lain. Hasilnya pun langsung terlihat sejak pertandingan pertama di babak penyisihan.
Spanyol memang gagal mencetak gol karena hanya bermain imbang tanpa gol melawan Mesir. Tetapi, tim berjuluk ”La Rojita” itu menekan tim duta Afrika selama 90 menit. Spanyol mencatatkan 57 persen penguasaan bola serta menciptakan 10 peluang.
Anak asuhan Luis De La Fuente itu lolos dari fase grup sebagai penguasa Grup C dengan mengemas lima poin. Meskipun hanya meraih satu kemenangan di babak penyisihan, Spanyol menunjukkan penampilan meningkat di fase gugur. Dalam dua laga fase gugur yang berlangsung masing-masing selama 120 menit itu, keunggulan Spanyol amatlah mutlak dari sang lawan.
Spanyol melibas Pantai Gading 5-2 pada perempat final, lalu membenamkan Jepang, sang tuan rumah, 1-0, di semifinal. Dalam dua laga itu, Spanyol masing-masing mencatatkan 64 dan 61 persen penguasaan bola. Kemudian, ”La Rojita” mengkreasikan 14 dan 18 peluang di dua laga fase gugur itu.
Alhasil, Spanyol rata-rata mengoleksi 62,4 persen penguasaan bola dan menciptakan 14,8 tembakan per laga di lima pertandingan pada Tokyo 2020. Itu adalah capaian statistisk terbaik yang dicatatkan Spanyol selama keikutsertaan di Olimpiade, termasuk ketika meraih emas pertama pada Barcelona 1992.
Kami berhasil menjalankan interpretasi permainan menyerang yang telah dipersiapkan. Saya juga merasa kami pantas meraih kemenangan, terutama di dua laga fase gugur.
”Kami berhasil menjalankan interpretasi permainan menyerang yang telah dipersiapkan. Saya juga merasa kami pantas meraih kemenangan, terutama di dua laga fase gugur. Semua lawan yang kami hadapi adalah tim bagus, tetapi kami mampu mendominasi mereka,” kata De La Fuente seperti dikutip Marca, Rabu (4/8/2021).
Tak berbeda dengan Spanyol, Brasil juga menjadi tim dengan rata-rata penguasaan bola tinggi di Olimpiade 2020. ”Selecao” mencatatkan 56,4 persen penguasaan bola. Bahkan, ketika bermain dengan 10 pemain sekitar 60 menit melawan Pantai Gading, Brasil tetap mendominasi dengan 56 persen penguasaan bola. Selain itu, Brasil rata-rata berhasil menciptakan 13 tembakan per pertandingan untuk mengancam gawang lawan di lima pertandingan.
Meskipun kalah dalam penguasaan bola dan penciptaan peluang, ”Selecao” unggul dalam efektivitas peluang demi mencetak gol dibandingkan Spanyol, rival di final. Brasil hanya membutuhkan 8,12 tembakan untuk menciptakan satu gol. Adapun Spanyol membutuhkan 9,25 tembakan untuk menghasilkan satu gol.
”Kunci permainan kami di Olimpiade ini karena kami berani mengambil risiko, solid di seluruh lini, dan selalu memburu gol setiap waktu. Untuk laga final, kami akan bermain dengan identitas kami dan menjaga konsentrasi penuh selama pertandingan,” ujar Pelatih Brasil Andre Jardine dilansir ESPN.
Bertahan
Sementara itu, dua finalis di sepak bola putri tampil bertahan di dua laga fase gugur. Swedia, yang tampil dengan selalu mampu meraih kemenangan dalam 90 menit, menitikberatkan permainan dengan pertahanan kokoh. Tim berjuluk ”Blagult” itu menghadirkan kejutan dengan mengakhiri rekor tak terkalahkan Amerika Serikat selama 44 pertandingan di laga pembuka fase grup berkat kemenangan telak 3-0.
Dalam dua fase gugur, Swedia hanya mencatatkan penguasaan bola masing-masing 44 persen saat mengalahkan Jepang 3-1, serta 40 persen ketika menumbangkan Australia 1-0 di semifinal. Kunci penampilan gemilang Swedia untuk menembus final Olimpiade kedua secara beruntun berada pada kemampuan dua bek sayap untuk memulai serangan balik cepat. ”Blagult” memiliki Magdalena Eriksson di sisi kiri dan Hanna Glas di sisi kanan.
”Saya menganggap Kanada adalah tim yang serupa dengan kami yang memiliki lini pertahanan yang sulit ditembus. Stabilitas dalam permainan defensif amat penting di turnamen Olimpiade ini,” ujar Eriksson, yang membela Chelsea, dikutip laman resmi FIFA.
Pernyataan itu memang sesuai dengan situasi nyata penampilan Kanada. ”The Canucks”, julukan Kanada, bermain amat dalam di zona pertahanan sendiri ketika mampu menyingkirkan dua kandidat juara, Brasil dan AS. Melawan dua tim yang gemar tampil menyerang itu, Kanada bermain amat kokoh di belakang sehingga tidak kemasukan gol meskipun terus digempur serangan. Kanada unggul adu penalti 4-3 atas Brasil, lalu mengakhiri kutukan selama dua dekade dengan menumbangkan AS, 1-0. (REUTERS)