Andre De Grasse bak terlahir di zaman yang salah, karena satu era dengan Usain Bolt, Justin Gatlin, dan kemudian muncul Christian Coleman. Namun, perjuangannya berakhir di Olimpiade Tokyo dengan meraih emas 200 meter.
Oleh
AGUNG SETYAHADI
·6 menit baca
TOKYO, KOMPAS – Andre De Grasse akhirnya melengkapi statusnya sebagai sprinter elite dengan meraih medali emas nomor 200 meter cabang atletik Olimpiade Tokyo 2020 di Stadion Olimpiade, Rabu (4/8/2021). Dia mengalahkan sprinter Amerika Serikat Noah Lyles yang finis ketiga di belakang rekan senegaranya Kenneth Bednarek yang meraih perak. De Grasse menjadi sprinter Kanada ketiga yang menjuarai 200 meter Olimpiade setelah Robert Kerr pada 1908, dan Percy Williams pada 1928.
De Grasse meraih medali emas 200 meter Tokyo 2020 dengan catatan waktu 19,62 detik yang sekaligus menjadi rekor nasional Kanada. Bernarek yang sempat memimpin, tetapi didahului oleh De Grasse saat memasuki 50 meter terakhir, mencatatkan 19,68 detik. Sedangkan Lyles mencetak waktu 19,74 detik.
“Saya ingin semua orang tahu, saya mengguncang dunia. Saya tahu semua orang mengatakan pelari AS yang akan menang, tetapi ini momen saya,” kata De Grasse.
Saya ingin semua orang tahu, saya mengguncang dunia. Saya tahu semua orang mengatakan pelari AS yang akan menang, tetapi ini momen saya.
De Grasse menjadi sprinter kebanggan Kanada sejak dia mencuat di dunia atletik dengan memborong medali emas 100 meter dan 200 meter Pan American Games. Namun, kiprahnya di ajang yang lebih besar, Kejuaraan Dunia dan Olimpiade, tak kunjung membuahkan emas. Meskipun mendapat predikat sprinter muda yang sedang bersinar, dia belum bisa mengalahkan Usain Bolt pada Olimpiade pertamanya di Rio 2016. Setelah Bolt pensiun pun, peluangnya meraih emas di dua ajang utama itu redup karena ada Noah Lyles dan Christian Coleman.
De Grasse yang meraih medali perak 200 meter di Rio 2016, menjadi salah satu favorit pengganti Bolt sebagai peraih medali emas nomor 100 meter dan 200 meter Kejuaraan Dunia Atletik serta Olimpiade. Namun, selepas Bolt pensiun pada 2017, De Grasse tidak serta-merta muncul sebagai sprinter unggulan. Dia justru kembali berada dalam bayang-bayang lawannya, karena di 100 meter ada sprinter Amerika Serikat Christian Coleman dan di nomor 200 meter ada Noah Lyles, rekan senegara Coleman. Selain mereka, De Grasse juga masih memiliki lawan kuat, sprinter senior Justin Gatlin.
Status De Grasse meredup saat Kejuaraan Dunia Atletik 2019 dirinya hanya merah perunggu di 100 meter dan perak di 200 meter. Pada nomor favorit, 100 meter, dia kalah dari Coleman yang meraih emas dan Gatlin perak. Sedangkan di nomor 200 meter, Lyles tampil solid dengan 19,83 detik, ungul 0,12 detik dari De Grasse.
Namun, peluang De Grasse meraih medali emas mendadak menguat menjelang Olimpiade Tokyo 2020 yang mundur setahun akibat pandemi Covid-19. Coleman dipastikan tidak tampil di Tokyo karena dalam masa hukuman larangan bertanding karena tidak disiplin dalam menjalankan aturan pelaporan antidoping. Sedangkan Gatlin batal tampil karena cedera hanya beberapa bulan menjelang Olimpiade.
De Grasse pun menjadi salah satu favorit meriah emas 100 meter. Tetapi dia harus puas dengan perunggu meskipun mencetak catatan waktu terbaik pribadi 9,89 detik. Medali emas di nomor ini diraih oleh sprinter Italia Lamont Marcell Jacobs dengan 9,80 detik.
De Grasse yang menjadi satu-satunya sprinter di final 100 meter yang tampil di final 200 meter, awalnya dinilai memiliki peluang yang sama dengan Lyles untuk meraih emas. Namun, hasil semifinal, di mana De Grasse lolos ke final sebagai pelari tercepat dengan 19,73 detik, menempatkan dirinya sebagai favorit peraih emas. Ini merupakan catatan waktu personal terbaik sprinter berusia 26 tahun itu di 200 meter.
Sebaliknya, Lyles tidak tampil bagus di semifinal, di mana dia finis ketiga pada semifinal heat 2 di bawah sprinter Kanada Aaron Brown dan pelari Liberia Joseph Fahnbulleh. Mereka sama-sama mencetak waktu 19,99 detik. Tetapi dalam catatan waktu seperseribu detik, Brown dan Fahnbulleh mencatatkan waktu 19,982 detik sedangkan Lyles 19,983 detik. Lyles berada di ujung tanding untuk lolos ke final.
Lyles bisa memperbaiki waktunya di final tetapi tidak cukup untuk menghentikan De Grasse utuk meraih medali emas. Ini pencapaian penting bagi De Grasse yang mampu bangkit setelah masa sulit akibat cedera achiles yang muncul di Rio 2016 dan harus dioperasi pada 2018. Setelah menjalani pemulihan panjang, dia perlahan kembali ke jalur medali, salah satunya di Kejuaraan Dunia Atletik 2019. Cedera sudah menjadi masa lalu bagi De Grasse yang berjuang melawan dirinya sendiri untuk meraih medali emas Olimpiade di Tokyo.
Sejak mencuat sebagai sprinter top dunia, pamor De Grase tidak pernah menjadi yang tercerah. Dia masih berada di bawah bayang-bayang Usain Bolt yang selama dua dekade mendominasi nomor 100 meter dan 200 meter cabang atletik. Sprinter Jamaika itu meraih medali emas di kedua nomor paling prestisius itu pada Beijing 2016, London 2012, dan Rio 2016.
Bolt juga memegang rekor dunia serta olimpiade di kedua nomor itu. Pada nomor 100 meter, dia mencetak rekor dunia 9,58 detik (2009) dan rekor olimpiade 9,63 detik (2012). Catatan waktu ini belum bisa dilampaui oleh peraih medali emas Olimpiade Tokyo, yang secara mengejutkan diraih oleh pelari Italia Lamont Marcell Jacobs dengan 9,80 detik. Catatan waktu itu masih jauh dari rekor olimpiade milik Bolt yang dicetak di London 2012.
Sedangkan di nomor 200 meter, Bolt memegang rekor dunia 19,19 detik (2009) dan rekor olimpiade 19,30 detik (2008). Rekor itu masih menjadi tantangan bagi para sprinter dunia untuk dipecahkan.
Rekor dunia
Pada lomba Rabu sesi pagi, rekor dunia nomor lari gawang 400 meter dicetak oleh atlet Aerika Serikat Sydney McLaughlin dengan 51,46 detik. Dia memecahkan rekornya sendiri 51,90 detik yang dia cetak pada 26 Juni 2021. Catatan waktu ini juga melampui rekor Olimpiade atas nama pelari Jamaika Melaine Walker dengan 52,64 detik yang dicetak di Bejing 2008. Medali perak diraih oleh rekan senegara McLaughlin, yang juga peraih emas Rio 2016, Dalilah Muhammad, dengan 51,58 detik. Perunggu direbut pelari gawang Belanda Femke Bol dengan 52,03 detik.
Medali dipersembahkan oleh peraih emas nomor 400 meter lari gawang Olimpiade Los Angeles 1984, Nawal El Moutawakel. Mantan atlet asal Maroko itu menegaskan ini kemenangan besar di tengan pandemi. "Mereka semua telah menunggu berhari-hari, berpekan-pekan, dan berbulan-bulan untuk ini. Ini momen mereka untuk bersinar," ungkap El Moutawakel.
"Mereka memiliki malam-malam ketika mereka tidak bisa tidur menantikan pecahan detik. Inilah makna Olimpiade, solidaritas, pertemanan dan keunggulan," tegas El Moutawakel.
Pada sesi petang, berlangsung empat final. Pada nomor 3000 meter halang rintang putri, pelari Uganda Peruth Chemutai meraih medali emas dengan waktu 9 menit 01,45 detik. Perak diraih pelari Amerika Serikat Courtney Frerichs dengan 9 menit 04,79 detik. Perunggu mejadi milik pelari Kenya Hyvin Kiyeng dengan 9 menit 05,39 detik.
Pada final nomor lempar martil, atlet asal Polandia Wojciech Nowicki meraih emas dengan lemparan sejauh 82,52 meter. Perak diraih Eivind Henriksen dengan 81,58 meter, dan perunggu diraih oleh rekan senegara Nowicki, Pawel Fajdek dengan lemparan sejauh 81,53 meter.
Di nomor lari 800 meter putra, para pelari Kenya masih mendominasi dengan meraih medali emas dan perak. Emmanuel Kipkurui Korir meraih emas dengan 1 menit 45,06 detik, disusul Ferguson Cheruiyot Rotich dengan 1 menit 45,23 detik. Medali perunggu diraih oleh pelari asal Polandia Patryk Dobek dengan 1 menit 45,39 detik.