Perjuangan meraih medali Olimpiade, terutama di era pandemi, tak semudah menjentikan jari. Beban berlipat harus ditanggung atlet, seperti Hendra Setiawan dan Eko Yuli, sebelum berjuang meraih prestasi di Tokyo.
Oleh
YULIA SAPTHIANI dan Agung Setyahadi
·4 menit baca
Beban berlipat harus ditanggung para atlet dengan berlatih dan berlaga di Olimpiade Tokyo 2020 pada masa pandemi Covid-19. Sejumlah atlet Indonesia harus lebih dulu berjuang mengalahkan virus korona baru sebelum tampil menghadapi lawan-lawannya di Tokyo, Jepang.
Pebulu tangkis ganda putra, Hendra Setiawan (36), serta dua lifter Indonesia, Eko Yuli Irawan (32) dan Deni (32), menghadapi beban itu sebelum bertolak ke Tokyo. Hendra, semifinalis ganda putra bersama Mohammad Ahsan, positif Covid-19 sekitar tiga pekan sebelum berangkat ke Jepang pada 8 Juli.
Hal itu membuat Hendra cemas. Virus korona baru, yang terus bermutasi, bisa membatalkan tiket tampil di Olimpiade yang telah dia dan Ahsan peroleh lewat perjalanan panjang, setahun masa kualifikasi.
Namun, berkat tekad untuk sembuh dan daya tahan tubuh yang kuat, Hendra lantas cepat pulih. ”Saya menjalani semua masukan dari dokter, seperti berjemur, minum vitamin, dan istirahat,” kata Hendra sebelum bertolak ke Jepang.
Meskipun telah sembuh kurang dua pekan setelah pertama kali dinyatakan positif Covid-19, Hendra tidak serta merta lega sebelum berangkat ke Jepang.
Kewajiban menjalani tes Covid selama minimal tiga hari beruntun sebelum berangkat, sesuai peraturan dari otoritas Jepang, membuat Hendra diliputi ketegangan hebat.
”Sepanjang hari Minggu (4 Juli, sehari jelang tenggat pendaftaran nama atlet), saya tegang banget menunggu hasil. Takut tiba-tiba hasilnya masih positif. Kalau itu terjadi, nama saya masih bisa dicoret meskipun sudah didaftarkan,” tutur Hendra.
Tak hanya itu, beban mental Hendra pun bertambah. Istrinya, Sandiani, juga sakit akibat Covid-19 ketika Hendra harus bertolak ke Tokyo. Mereka terpaksa menitipkan tiga anaknya, Richard (7), Richelle (7), dan Russell (4), ke keluarganya.
”Saya langsung menangis saat Hendra berangkat. Saya sendirian di kamar karena masih sakit dan di rumah tidak ada anak-anak. Saya ditemani pembantu (asisten rumah tangga) dan anjing,” kata Sandiani.
[embed]https://youtu.be/hjQnNBVnwyU[/embed]
”Saya baru sembuh setelah 21 hari,” kata Sandiani yang rutin berkomunikasi dengan Hendra setiap hari untuk bertukar kabar kondisi masing-masing.
Setali tiga uang, lifter yang diandalkan meraih medali, Eko Yuli, juga mengalami ketegangan sebelum tampil di kelas 61 kilogram angkat besi Olimpiade Tokyo, 25 Juli lalu. ”Menjelang keberangkatan, saya sempat positif (Covid-19) dan dikarantina. Saya berserah diri saja dan berdoa,” ujar Eko yang lantas meraih medali perak di Tokyo.
Deni, yang tampil pada kelas 67 kg, juga terjangkit Covid-19 sehingga harus menunda jadwal keberangkatannya ke Tokyo. Situasi ini membuatnya latihannya tidak maksimal. Pada saat sama, cedera lamanya kambuh. Pukulan beruntun itu membuat performanya tidak maksimal.
Biasanya, saya cuma ngintip-ngintip. Saya mulas kalau nonton Hendra/Ahsan main. Namun, selama Olimpiade, saya nonton setiap pertandingan biar pun tegang. (Sandiani)
Andi Kurniawan, dokter tim angkat besi Indonesia, bercerita, tantangan menjaga atlet Olimpiade di tengah pandemi sangat besar. Tantangan itu kian besar karena kasus positif Covid-19 di Tanah Air meningkat tajam menjelang bertolaknya kontingen Indonesia ke Tokyo.
Ketika ada atlet yang positif Covid-19, tim angkat besi memberlakukan sistem ”gelembung”. Latihan atlet Olimpiade dan yang lainnya dipisah. Pelatih pun harus menjaga jarak dan mengenakan masker. Atlet diperbolehkan melepasi masker hanya pada saat latihan.
Maka, tes Covid-19 menjadi rutinitas. ”Karena terlalu sering tes usap PCR, apalagi setelah pulang dari pelepasan simbolis kontingen di Istana Negara, besoknya hidung berdarah,” ungkap Windy Cantika Aisah (19), lifter putri peraih perunggu, seperti dilaporkan wartawan Kompas, Agung Setyahadi, di Tokyo. Windy sempat terjangkit Covid-19, akhir tahun lalu.
Mengingat berlipatnya beban yang harus dihadapi, Sandiani terkejut dengan capaian Hendra di Tokyo, meskipun kecewa suaminya tidak meraih medali. Selama Olimpiade ini, Sandiani melepas kebiasaan tidak pernah menonton pertandingan suaminya secara penuh.
”Biasanya, saya cuma ngintip-ngintip. Saya mulas kalau nonton Hendra/Ahsan main. Namun, selama Olimpiade, saya nonton setiap pertandingan biar pun tegang,” ujar Sandiani yang selalu disibukkan pertanyaan ketiga anaknya tentang ayah mereka saat menonton.
Setelah pertandingan, komunikasi dengan Hendra rutin dilakukan, baik melalui pesan pendek atau panggilan video. Mengirim pesan sebelum pertandingan kerap dihindari agar tak mengganggu fokus Hendra.
Sandiani pernah tidak mengabarkan suaminya ketika salah satu dari anak kembar mereka, Richard, sakit pada 2017. Ketika itu, Hendra berpasangan dengan pemain Malaysia, Tan Boon Heong.
”Richard sakit sampai harus dirawat di rumah sakit. Tetapi, saya memilih tak memberi kabar ke Hendra karena dia pasti khawatir, apalagi saat itu mau bertanding di final. Dia baru tahu anaknya sakit setelah pulang,” ujar Sandiani.
Melihat suaminya bertolak ke Jepang tak lama setelah pulih dari Covid-19, Sandiani pun tak berekspektasi muluk. ”Saya cuma berharap dia main bagus dan yang lebih penting adalah sehat,” ujar Sandiani.
Memahami profesi suaminya sebagai atlet, Sandiani mendukung hingga kapan pun Hendra akan bermain. Kepada istrinya, Hendra pun berkata akan bermain selama masih mampu. Tidak pernah ada target akan pensiun pada usia tertentu. ”Saya akan bermain selama masih kuat,” kata Hendra.