Barshim dan Tamberi Tontonkan ”Hati” Emas di Final Loncat Tinggi
Barshim dan Tamberi, dua rival di loncat tinggi, menunjukkan medali emas Olimpiade bisa dibagi. Fenomena sangat langka itu tercipta berkat "respect" keduanya. Mereka meraih emas bersama.
Oleh
ADRIAN FAJRIANSYAH
·4 menit baca
Olimpiade, panggung tertinggi olahraga multicabang, tak melulu mengenai siapa lebih hebat dan kuat. Olimpiade Tokyo 2020 juga memperlihatkan sikap saling menghargai dan persahabatan yang jauh melampaui nilai sekeping medali emas yang jadi incaran dan impian para atlet sejagat.
Spirit mulia itu ditunjukkan dua atlet loncat tinggi, Mutaz Essa Barshim (Qatar) dan Gianmarco Tamberi (Italia). Mereka kompak melakukan loncatan terbaik setinggi 2,37 meter dalam final di Stadion Olimpiade Tokyo, Jepang, Minggu (1/8/2021).
Maka, untuk menentukan pemenangnya, masing-masing dari kedua atlet itu diberi tiga kesempatan tambahan guna mempertajam catatan loncatan menjadi 2,39 meter. Namun, mereka gagal memperbaiki loncatan dari tiga kali kesempatan yang diberikan.
Keduanya pun diberikan masing-masing satu kesempatan tambahan lagi untuk menentukan siapa yang berhak membawa pulang medali emas. Sayangnya, Tamberi pernah mengalami cedera kaki yang menyulitkannya melakukan loncatan tersebut.
Lantas, Barshim justru bertanya kepada panitia apakah medali emas bisa diraih bersama jika dirinya tidak melakukan percobaan terakhir tersebut. Setelah dikonfirmasi, panitia menyatakan bahwa mereka bisa menjadi peraih medali emas bersama. Tanpa pikir panjang, Barshim langsung menyatakan tidak akan memanfaatkan percobaan terakhir itu.
Tak pelak, Tamberi pun langsung memeluk Barshim. Mereka berbalas pelukan dengan erat. Lalu, keduanya larut dalam kebahagiaan. Tamberi berteriak histeris, melompat-lompat, menangis, dan berguling-guling di lintasan, bak bocah. Medali emas di depan mata, yang nyaris hilang, kini mendadak nyata di genggamannya.
Kami telah melalui banyak hal bersama, cedera yang sama, dan melalui tantangan fisik serta mental yang sama. Saya menghargai apa yang dia lakukan dan dia juga menghargai apa yang saya lakukan.(Mutaz Essa Barshim)
Untuk kali pertama sejak Olimpiade London 1908, 113 tahun silam, medali emas Olimpiade bisa dibagi bersama. ”Saya masih tak percaya itu terjadi. Berbagi (medali emas) dengan seorang teman memang lebih indah. Sungguh ajaib,” ujar Tamberi, atlet yang baru pertama kali meraih medali Olimpiade, setelah gagal di Olimpiade London 2012 seperti dikutip Insider, Senin (2/8).
Setelah itu, Barshim dan Tamberi membawa bendera negara masing-masing dan berjalan bersama mengitari lintasan untuk menyapa orang-orang yang hadir di stadion. Orang-orang yang ada di stadion pun turut terbawa suasana itu. Tidak sedikit yang meneteskan air mata menyaksikan momen menyentuh hati penuh kehangatan itu.
”Sejak datang ke sini, saya tahu bahwa saya pantas mendapatkan emas. Tetapi, dia (Tamberi) melakukan hal yang sama. Jadi, saya tahu pasti dia pantas mendapatkan emas. Ini (empati ke lawan) pesan yang ingin kami sampaikan kepada generasi muda,” tegas Barshim yang mengoleksi medali perak Olimpiade Rio de Janeiro 2016 dan perunggu Olimpiade 2012.
Saling memotivasi
Di luar arena pertandingan, Barshim dan Tamberi memang telah bersahabat lama. Barshim menjadi sosok yang menguatkan Tamberi untuk tetap semangat berlatih saat karir temannya itu tersendat usai menderita cedera robek ligamen di pergelangan kaki kirinya pada 2016. Sebaliknya, Tamberi memotivasi Barshim ketika sahabatnya itu juga menderita cedera serupa pada 2018 silam.
Maka, tak heran mereka berbagi emas. Setelah melalui masa-masa buruk dan kesulitan bersama, keduanya tidak ingin saling menyakiti demi kejayaan sesaat dalam wujud kepingan medali emas. Mereka ingin persahabatannya tetap abadi dan merayakan emas bersama. Menurut Barshim, tidak ada sportivitas yang dikhianati karena mereka telah memberikan performa terbaik di medan laga.
”Dia merupakan salah satu teman terbaik saya. Tak hanya di trek, tetapi juga di luar trek. Kami telah melalui banyak hal bersama, cedera yang sama, dan melalui tantangan fisik serta mental yang sama. Saya menghargai apa yang dia lakukan dan dia menghargai apa yang saya lakukan. Luar biasa,” ungkap Barshim emosional, seperti dilansir laman World Athletics.
Sportivitas dan empati terhadap lawan bukan sekali itu saja terlihat di Olimpiade Tokyo. Pemandangan nyaris serupa juga terpantau di final renang 200 meter gaya dada putri di Tokyo Aquatics Centre, Jumat (30/7). Perenang putri Afrika Selatan, Tatjana Schoenmaker, tak menyangka dirinya finis pertama dan memecahkan rekor dunia dengan waktu 2 menit 18,95 detik.
Rekor sebelumnya dipegang perenang Denmark, Rikke Moller Pedersen, dengan waktu 2 menit 19,11 detik yang dicetak di Barcelona, Spanyol, 1 Agustus 2013.
Berada di lintasan keempat, perenang kelahiran Johannesburg, Afrika Selatan, 9 Juli 1997, itu lantas berteriak histeris, terharu, dan memegang mulutnya sehabis melihat papan hasil. Para perenang di sekitarnya mendekati dan memberikan pelukan penyemangat sekaligus tanda selamat.
Tak hanya rekannya sesama perenang Afrika Selatan, Kaylene Corbett, di lintasan keenam, dua perenang Amerika Serikat yang menjadi pesaing terkuatnya, yakni Lilly King di lintasan kedua, dan Annie Lazor di lintasan ketiga, pun mendekat untuk memberikan pelukan selamat. Tanpa sekat persaingan, King yang meraih perak dengan waktu 2 menit 19,92 detik dan Lazor yang meraih perunggu dengan 2 menit 20,84 detik mengapresiasi prestasi lawannya itu.
”Saya sedikit terkejut dengan penampilan Schoenmaker. Saya tidak bisa berbohong. Namun, bagaimana pun, saya suka kompetisi. Saya berkembang karena kompetisi. Jadi, ini (rekor Schoenmaker) baik pula untuk saya,” ungkap King, perenang yang rekor 100 meter gaya dadanya dengan waktu 1 menit 4,93 detik pada Olimpiade 2016 dipecahkan Schoenmaker dengan 1 menit 4,82 detik di babak pertama heat lima Olimpiade Tokyo, 25 Juli lalu, seperti dikutip Swimming World Magazine. (AP/AFP/REUTERS)