Gelar pelari tercepat Olimpiade yang ditinggalkan oleh pelari legendaris Jamaika Usain Bolt, akhirnya menjadi milik Lamont Marcell Jacobs. Sprinter Italia itu meraih medali emas lari 100 meter putra di Tokyo2020.
Oleh
YULIA SAPTHIANI dan AGUNG SETYAHADI
·5 menit baca
TOKYO, KOMPAS - Lamont Marcell Jacobs mengukuhkan diri menjadi manusia tercepat di Olimpiade pasca-era Usain Bolt. Dia membuat kejutan dengan meraih emas lari 100 meter putra Olimpiade Tokyo 2020 dengan catatan waktu 9,80 detik, dalam suasana berbeda.
Wartawan Kompas, Agung Setyahadi, yang berada di Stadion Olimpiade Tokyo, Minggu (1/8/2021), melaporkan, perayaan kemenangan Jacobs hanya disambut tim pendukungnya di tribune. Ingar bingar stadion, yang juga digunakan menggelar atletik pada Olimpiade Tokyo 1964 itu, berasal dari suara musik yang diputar panitia.
Tribune stadion nyaris kosong karena Olimpiade kali ini memang digelar tanpa penonton akibat pandemi Covid-19. Tetapi, di kursi untuk jurnalis, baik wartawan tulis maupun foto penuh sesak. Demikian juga posisi fotografer yang persis menghadap ke lintasan lari 100 meter, penuh oleh wartawan. Meski tetap ada penjarakan fisik, tetapi jumlah peliput cabang atletik pada Minggu malam itu jauh lebih banyak daripada sesi pagi.
Atletik memang salah satu olahraga favorit dalam Olimpiade, hingga masuk dalam kategori cabang permintaan tinggi selain final senam, renang, dan bola tangan. Di masa pandemi ini, dengan pembatasan jumlah peliput yang dikurangi 50 persen dari kapasitas normal, semua sesi petang atletik masuk dalam kategori permintaan tinggi. Peliput tidak bisa memesan tiket liputan melalui sistem pemesanan, tetapi menggunakan tiket fisik yang dibagikan IOC ke setiap Komite Olimpiade Nasional.
Indonesia beruntung memiliki sprinter Lalu Muhammad Zohri dan Alvin Tehupeiory yang tampil di Tokyo 2020. Meskipun mereka gagal melaju lebih jauh dari babak pertama 100 meter putra dan putri, Indonesia tetap mendapat jatah tiket atletik kategori permintaan tinggi.
Sebagian besar kursi di tribune kosong, tetapi suasana tetap meriah dengan teriakan anggota tim para atlet. Mereka berteriak menyemangati atlet yang berlomba di lintasan. Adapun di nomor lapangan, seperti saat final loncat tinggi putra, teriakan meledak saat ada atlet menyelesaikan loncatan dengan mulus.
Sebelum start final 100 m putra, seperti juga yang terjadi pada final 100 m putri sehari sebelumnya, sambutan untuk delapan finalis dilakukan dengan mengubah lintasan lurus menjadi ”layar” untuk memunculkan nama-nama atlet, ketika lampu stadion dipadamkan.
Namun, lomba yang menyuguhkan ketegangan tinggi itu harus diulang saat start ketika pelari Inggris Raya, Zhamel Hughes, mencuri start. Hughes pun didiskualifikasi.
Lomba meninggalkan tujuh pelari dengan Andre de Grasse (Kanada) sebagai favorit. Pelari berusia 26 tahun itu mendapat perunggu 100 m dan perak 200 m di Rio de Janeiro 2016. Dia juga mendapat medali perak 200 m Kejuaraan Dunia Atletik Doha 2019.
Jerih payah atlet berlatih bertahun-tahun akhirnya selesai dalam penampilan kurang dari 10 detik. Dalam persaingan terbuka, ketika nama-nama besar pensiun atau tidak tampil, kejutan terjadi dengan munculnya Jacobs sebagai juara. Dia mencatatkan waktu 9,80 detik, diikuti Fred Kerley (Amerika Serikat) dengan 9,84 detik, dan De Grasse (9,89 detik).
Ini menjadi mimpi saya sejak kecil. Mendapatkan medali emas setelah Bolt sangat luar biasa. Motivasi saya bertambah setelah melihat Gimbo mendapat emas.
Namanya kurang dikenal dibandingkan dengan pelari lain seperti De Grasse, Su Bingtian (China), atau Trayvon Bromell (AS), sebagai pencatat waktu tercepat 100 m pada tahun ini, gagal menembus final. Jacobs juga baru menembus waktu di bawah 10 detik (9,95 detik) pada tahun ini, yaitu dalam lomba di negaranya, Mei.
Sebelum tampil di Olimpiade, prestasi terbaik dalam 100 m level internasional adalah menempati peringkat kedua Kejuaraan Atletik Eropa 2019. Pada nomor lain, dia menjadi yang terbaik dalam 60 m Kejuaraan Indoor Eropa 2021.
”Ini menjadi mimpi saya sejak kecil. Mendapatkan medali emas setelah Bolt sangat luar biasa. Motivasi saya bertambah setelah melihat Gimbo (Gianmarco Tamberi) mendapat emas,” ujar Jacobs, menyebut rekan senegaranya yang mendapat emas loncat tinggi putra, beberapa saat sebelumnya.
Tanpa Bolt, penguasa nomor sprint di Beijing 2008, London 2012, dan Rio de Janeiro 2016, yang pensiun pada 2017, persaingan 100 m putra memang terbuka. Apalagi, Jamaika belum memiliki penerus Bolt yang membuat peraih delapan emas Olimpiade itu resah.
Negara yang selama ini melahirkan banyak sprinter itu, bahkan tak meloloskan pelari ke final 100 m putra. Ini berbeda dengan nomor 100 m putri yang melahirkan tiga peraih medali dari Jamaika, salah satunya Elaine Thompson-Herah yang mendapat emas.
Rival Bolt, Justin Gatlin, sebenarnya masih ikut dalam seleksi Tim AS di Eugene, Oregon, 19-28 Juni. Namun, peraih emas Athena 2004 itu tak lolos karena cedera hamstring.
Kekuatan AS juga berkurang ketika Christian Coleman dan Noah Lyles absen. Coleman, juara dunia 100m, absen karena menjalani skors selama 18 bulan hingga November, setelah tiga kali melewatkan tes antidoping. Adapun Lyles gagal mendapat tiket 100 m dari seleksi, hingga akan berkonsentrasi pada nomor 200 m.
Rekor dunia
Tak hanya final 100 m putra, hari ketiga cabang atletik diwarnai momen memukau lain. Rekor dunia pertama atletik di Tokyo 2020 diciptakan Yulimar Rojas (Venezuela) pada nomor lompat jangkit putri.
Mengawali penampilan pertama dari enam lompatan dengan rekor Olimpiade, Rojas mengakhirinya dengan rekor dunia 15,67 meter. Dia memecahkan rekor milik Inessa Kravets (Ukraina), sejauh 15,50 meter, yang dibuat di Gothenburg, Swedia, 10 Agustus 1995.
”Saya sulit menjelaskan perasaan saya saat ini. Meraih medali emas dengan rekor Olimpiade, lalu rekor dunia. Wow, fantastis!” kata Rojas pada laman Olimpiade Tokyo 2020.
Dengan hasil itu, Rojas menjadi atlet putri pertama dari Venezuela yang menyumbangkan emas dari cabang atletik. “Saya sangat fokus untuk tampil sebaik mungkin dan melihat kemungkinan membuat rekor. Saya juga sangat menikmati persaingan tadi,” lanjutnya.
Pada nomor loncat tinggi putra, medali emas didapat dua atlet, yaitu Essa Mutaz Barshim (Qatar) dan Tamberi (Italia), setelah keduanya membuat loncatan 2,37 meter dengan jumlah loncatan yang sama. Momen emosional terjadi setelah keduanya gagal pada ketinggian terakhir, 2,39 meter, dan wasit menghampiri mereka untuk menawarkan jump-off, satu loncatan terakhir untuk menentukan pemenang.
”Apakah kami bisa berbagi emas?” tanya Barshim.
Saat wasit menganggukkan kepala, mereka berpelukan, melompat-lompat, lalu merayakan kemenangan dengan menghampiri tim di tribune.
Dari empat medali emas yang diperebutkan, Minggu, satu emas lainnya didapat China dari nomor tolak peluru putri. Atlet berusia 32 tahun, Gong Lijiao, akhirnya meraih emas setelah mendapat perunggu di Beijing 2008 dan perak di London 2012. (REUTERS)