Medali emas lari 10.000 m putra, yang pada dua Olimpiade terakhir dikuasai pelari Inggris, Mo Farah, akhirnya kembali ke tangan pelari Ethiopia. Selemon Barega mengejutkan dengan menyisihkan dua pelari favorit Uganda.
Oleh
YULIA SAPTHIANI
·4 menit baca
TOKYO, JUMAT — Tanpa Mo Farah, nomor lari 10.000 meter putra melahirkan juara baru untuk pertama kalinya sejak Olimpiade London 2012. Munculnya Selemon Barega sebagai peraih medali emas pertama atletik di Olimpiade Tokyo 2020 mengembalikan dominasi pelari Ethiopia pada nomor tersebut.
Berlomba di Stadion Olimpiade, Jumat (30/7/2021), dalam cuaca panas dengan suhu sekitar 30 derajat celsius dan kelembaban tinggi, Barega hanya mencatat waktu 27 menit 43,22 detik. Catatan itu jauh dari rekor dunia, 26 menit 11 detik, milik pelari Uganda, Joshua Cheptegei, yang mendapat medali perak.
Waktu tersebut juga lebih lambat dari waktu terbaik tahun ini, 26 menit 33,93 detik, yang dibuat pelari Uganda lainnya, Jacob Kiplimo, sebagai peraih perunggu di Tokyo. Akan tetapi, Barega, yang untuk pertama kalinya tampil di Olimpiade, berhasil mengembalikan kejayaan Ethiopia pada nomor lari dengan jarak terpanjang di lintasan atletik itu.
Sebelum Mo Farah menjadi yang tercepat di London 2012 dan Rio de Janeiro 2016, emas 10.000 m putra selalu menjadi milik pelari Ethiopia. Haile Gebrselassie mendapat emas di Atlanta 1996 dan Sydney 2000, disusul Kenenisa Bekele pada dua Olimpiade berikutnya, Athena 2004 dan Beijing 2008.
Setelah itu, pencapaian terbaik Ethiopia dalam nomor yang digelar dalam setiap Olimpiade sejak 1912 ini adalah medali perunggu yang didapat Tariku Bekele di London 2012 dan Tamirat Tola di Rio de Janeiro 2016.
Barega memenangi lomba setelah melakukan sprint dalam jarak 400 meter terakhir pada putaran ke-25. Dia berusaha melepaskan diri dari rombongan sejak putaran kelima untuk mengejar Stephen Kissa (Uganda) yang berlari sendirian di depan, 50-an meter dari peserta lain.
Namun, dia akhirnya bertahan dengan taktik berlari bersama rombongan hingga menjelang setengah putaran terakhir. Duo pelari Uganda yang menempel ketat pada momen-momen terakhir tak cukup cepat untuk melampaui Barega. Pelari berusia 21 tahun tersebut meraih pencapaian tertinggi dalam kariernya setelah mendapat medali perak 5.000 m dari Kejuaraan Dunia Atletik Doha 2019.
Hasil itu bahkan lebih bermakna karena dia unggul atas dua favorit juara, yaitu Cheptegei dan Kiplimo, pada nomor final pertama cabang atletik di Tokyo 2020 ini. Cheptegei mendapat medali perak Kejuaraan Dunia Atletik London 2017 dan menjadi yang tercepat di ajang yang sama di Doha 2019.
Penampilan spektakulernya terjadi pada musim 2020. Pada Oktober, dia memecahkan rekor dunia 10.000 m milik idolanya, Bekele, di Valencia, Spanyol, yang telah bertahan 15 tahun. Dua bulan sebelumnya, Cheptegei juga memperbaiki rekor dunia lain milik Bekele, pada nomor 5.000 m.
Namun, pada tahun ini, Cheptegei tak mengikuti satu pun lomba 10.000 m. Dia hanya tampil pada tiga nomor, 1.500, 3.000, dan 5.000 m.
Kejutan. Saya sendiri terkejut dengan hasil ini, tak menduga bisa lari secepat ini. Tetapi, ini menandakan bahwa saya sudah siap.
Kiplimo, yang baru berusia 20 tahun, menjadi pusat perhatian menjelang Tokyo 2020 ketika menjadi pelari tercepat pada tahun ini di nomor 10.000 m. Ketika tampil di Ostrava, Ceko, pada Mei, dia membuat catatan waktu 26 menit 33,93 detik. Itu menempatkannya pada urutan ketujuh pelari 10.000 m tercepat sepanjang sejarah dan pelari tercepat kedua Uganda.
Seperti Cheptegei, Tokyo 2020 menjadi Olimpiade kedua Kiplimo. Debutnya pada ajang empat tahunan ini terjadi di Rio de Janeiro 2016 ketika berusia 15 tahun. Menjadi Olimpian termuda dari Uganda, Kiplimo tampil pada babak pertama 5.000 m.
Persaingan sprinter putri
Dari babak penyisihan 100 m putri, pelari Pantai Gading, Maria-Josee Ta Lou, menjadi yang tercepat dengan waktu 10,78 detik. Berlomba dalam heat berbeda, dia mengungguli juara bertahan, Elaine Thompson-Herah (Jamaika), yang berlari selama 10.82 detik.
”Kejutan. Saya sendiri terkejut dengan hasil ini, tak menduga bisa lari secepat ini. Tetapi, ini menandakan bahwa saya sudah siap,” komentar Lou, peraih perak Kejuaraan Dunia 2019.
Thompson-Herah menilai, catatan waktu yang dibuat para pelari membuat persaingan pada babak berikutnya akan ketat. Sebanyak 24 pelari yang lolos dari penyisihan akan mengikuti semifinal untuk memperebutkan delapan tempat di final yang berlangsung Sabtu malam.
”Itu memperlihatkan bahwa semua peserta berambisi menjadi juara. Rasanya persaingan tadi menjadi yang terbaik dalam sejarah nomor ini di Olimpiade,” ujar atlet berusia 29 tahun tersebut.
Rekan senegara Thompson-Herah, Shelly-Ann Fraser-Pryce, mengawali peluang menjadi pelari pertama yang tiga kali menjuarai 100 m putri dengan catatan waktu 10,84 detik. Atlet berusia 34 tahun itu menjuarai nomor ini pada Beijing 2008 dan London 2012, menyandingkan dengan gelar yang didapat Usain Bolt dari 100 m putra.
Fraser-Pryce tampil untuk pertama kalinya setelah menjadi ibu, seusai melahirkan pada Agustus 2017. ”Saya memiliki motivasi baru setelah memiliki anak,” ujar atlet yang membuat catatan waktu terbaik dalam kariernya, 10,63 detik, setelah memiliki anak. (AFP/REUTERS)