Kisah Dua ”Kota” di Tokyo, Sama-sama Bikin Deg-degan
Penyelenggaraan Olimpiade Tokyo 2020 menghasilkan dua ”kota” di Tokyo. Satu ”wilayah gelembung Olimpiade” dengan protokol kesehatan superketat, satu lagi Tokyo yang melonggar. Kontras, tetapi sama-sama bikin deg-degan.
Oleh
Luki Aulia
·5 menit baca
Perasaan waswas dan deg-degan tak bisa lepas dari para atlet, anggota tim pendukung atlet, wartawan, dan siapa pun yang berada di arena Olimpiade 2020 Tokyo. Bagaimana tidak, demi memastikan tidak tertular Covid-19, setiap atlet harus menjalani tes Covid-19 setiap hari.
Wartawan juga harus dites setiap kali sebelum meliput pertandingan dan empat hari sekali di pusat media. Sampai sejauh ini, panitia Olimpiade sudah melakukan 275.000 tes Covid-19 bagi seluruh partisipan dari luar negeri.
Bukan hanya kewajiban tes Covid-19 rutin yang membuat deg-degan dan senewen, tetapi juga pembatasan pergerakan juga membuat gerah para penghuni perkampungan atlet dan pelatih. Meski 80 persen penghuni perkampungan atlet itu sudah divaksin, tetap saja mereka harus tes Covid-19 dan tidak bebas ke mana-mana.
”Penderitaan” para partisipan sebenarnya sudah dimulai sejak sebelum sampai Tokyo. Mereka harus tes Covid-19 dulu sebelum berangkat dan saat tiba di Tokyo.
Berkat penerapan protokol kesehatan yang ketat seperti ini, juru bicara Komite Olimpiade Internasional (IOC), Mark Adams, mengatakan, tingkat kasus positif Covid-19 di dalam lingkup Olimpiade ”hanya” 0,02 persen. ”Ini merupakan komunitas yang paling sering dites dan dijamin keamanannya dibandingkan dengan komunitas mana pun di seluruh dunia,” ujarnya.
Meski sudah menjalani protokol kesehatan yang superketat dan bolak-balik dites Covid-19, tetap saja ada atlet yang tertular Covid-19. Atlet yang positif Covid-19 segera dikarantina dan tidak boleh mengikuti pertandingan. Contohnya, atlet lompat galah juara dunia dari Amerika Serikat, Sam Kendricks, dan atlet cabang yang sama dari Argentina, German Chiaraviglio. Keduanya tak boleh bertanding setelah hasil tes mereka menunjukkan positif Covid-19.
Panitia penyelenggara Olimpiade menyebutkan, ada dua orang yang dirawat di rumah sakit dan ada 24 kasus baru Covid-19 dalam lingkup Olimpiade, tiga di antaranya atlet. Total kasus Covid-19 yang ada di lingkup Olimpiade pada bulan ini mencapai 193 kasus.
Direktur Teknis Kontingen Belanda Maurits Hendriks mengatakan bahwa atlet-atlet Belanda yang dikarantina mengaku stres karena dikarantina di ruangan yang sempit dan tidak diperbolehkan menghirup udara segar.
Wartawan yang telah menjalani karantina dua pekan juga harus melaporkan suhu tubuh dan kondisi kesehatan mereka setiap hari. Mereka harus mengunduh aplikasi pelacakan kontak. Ketika berada di pusat media, wartawan harus membersihkan tangan mereka dengan cairan sanitasi sebelum mengantre pemeriksaan keamanan. Masker harus selalu dikenakan di mana pun, kecuali saat harus dipindai wajahnya dalam pemeriksaan keamanan dan saat makan.
Wartawan yang terlihat tidak memakai masker akan ditegur. Tetapi, tetap saja kadang terlihat ada wartawan yang menurunkan maskernya saat sedang bekerja di meja panjang yang dipisahkan dengan pembatas terbuat dari plastik tebal.
Longgar di luar
Namun, sayangnya, jaminan keamanan dan keselamatan melalui protokol kesehatan superketat itu hanya dilakukan di ”wilayah gelembung Olimpiade”, rumah sementara bagi sedikitnya 50.000 atlet, pelatih, anggota staf, dan wartawan. Hal itu tidak terjadi di ibu kota Tokyo sekitar wilayah gelembung Olimpiade tersebut.
Di luar pagar wilayah gelembung Olimpiade itu, kehidupan masyarakat Tokyo terlihat normal. Padahal, kasus Covid-19 meningkat. Saat ini, pemerintah setempat berencana memperpanjang dan memperluas status darurat ke tiga prefektur di Jepang, di antaranya Tokyo dan Osaka, hingga 31 Agustus mendatang.
Perdana Menteri Jepang Yoshihide Suga akan mengumumkan rencana itu pada Jumat (30/7/2021) ini. Jumlah kasus Covid-19 di Tokyo mencapai rekor 3.865 kasus dalam sehari, naik dari 3.177 kasus sehari sebelumnya. Dan saat ini, baru 30 persen penduduk Jepang yang sudah divaksin.
Suga dan penyelenggara Olimpiade 2020 Tokyo membantah ada kaitan antara Olimpiade dan kenaikan kasus Covid-19 di Jepang. Ini karena para atlet dan tim pendukung dari banyak negara sudah diwajibkan menjalani protokol kesehatan yang ketat untuk mencegah penyebaran Covid-19 di dalam wilayah gelembung Olimpiade.
Bahkan, para penonton pun dilarang masuk ke banyak lokasi pertandingan dan perlombaan. Namun, para pakar sejak awal khawatir bahwa penyelenggaraan Olimpiade justru membingungkan masyarakat mengenai pentingnya membatasi kegiatan. Di jalanan Tokyo masih banyak terlihat orang berkeliaran.
Suga kembali mengimbau warga untuk tetap tinggal di rumah dan menonton pertandingan Olimpiade dari rumah saja. Pemerintah setempat juga masih memberlakukan ketentuan untuk bekerja dari rumah dan melarang warga bepergian.
Meski masih terlihat banyak warga di jalanan, jumlah orang yang berada di sekitar Stasiun Shinjuku, wilayah tersibuk di dunia, sudah turun lebih dari 80 persen selama status darurat pertama pada April dan Mei 2020 dibandingkan kondisi sebelum pandemi Covid-19. Ini dilihat dari analisis pemerintah Tokyo dari data perusahaan Agoop.
Namun, angka itu sekarang turun hanya 37 persen karena masyarakat kemungkinan mulai lelah dengan kebijakan pembatasan dan karantina wilayah. Warga Tokyo juga menilai antusiasme pemerintah untuk tetap melanjutkan Olimpiade sudah membuat orang merasa tidak masalah kalau keluar rumah.
Ketar-ketir
Masalahnya, kembali lagi, belum banyak warga yang divaksin. Di Tokyo saja baru 21 persen warga yang sudah divaksin. Sementara tes Covid-19 juga digenjot hingga 2,9 juta jiwa yang sudah dites dari total penduduk 14 juta jiwa.
Mahasiswa Nae Onaka (19) menuturkan, mau tak mau ia tetap harus keluar rumah untuk bekerja paruh waktu. Ia butuh tambahan uang untuk membiayai kuliah dan hidup sehari-hari. Ia mengaku kewaspadaan banyak orang perlahan mulai melemah dan longgar karena harus menjalani kebijakan pembatasan dan karantina wilayah berkali-kali.
”Saya pikir orang mulai tidak serius menanggapi status darurat. Mungkin ini yang membuat kasusnya naik. Saya juga agak khawatir sebenarnya,” ujar Onaka.
Ketika menggunakan transportasi umum, warga tetap mengenakan masker dan menahan diri untuk tidak berbicara keras. Sementara kondektur kereta membuka beberapa jendela di setiap gerbong supaya sirkulasi udara lancar.
Sementara itu, setelah jam kantor, bar tetap buka sampai malam. Padahal, ada ketentuan bar harus tutup pukul 20.00. Banyak juga toko serba ada yang tetap buka sepanjang malam. Di kawasan padat penduduk di Distrik Ikebukuro juga masih terlihat anak-anak muda yang kumpul-kumpul di luar sampai malam.
”Saya tidak yakin kita bisa mencegah Covid-19. Saya tidak mau sampai tertular, tetapi saya rasa sulit untuk betul-betul melindungi diri. Siapa saja bisa tertular dan tidak tahu dari mana,” kata Yuka Toma (19), pekerja paruh waktu di sektor jasa. (REUTERS)