Skateboard sering sekali dinilai sebagai kegiatan mengganggu ketenganan di tempat umum, juga hanya pantas untuk pria. Para skater putri meleburkan stigma tersebut di panggung Olimpiade Tokyo 2020.
Oleh
KELVIN HIANUSA
·4 menit baca
Olahraga skateboard amat dekat dengan stigma anak jalanan. Anak nakal tak kenal aturan yang suka melakukan vandalisme atau bahkan tindakan kriminal. Setidaknya label ini cukup melekat di Jepang, negara pertama yang melombakan skateboard sebagai cabang olahraga prestadi dalam gelaran Olimpiade.
Aori Nishimura (19), skater putri asal Jepang merasakan sendiri pandangan negatif tersebut. “Di Jepang, gambaran terhadap seorang atlet skateboard tidak terlalu bagus. Lebih sulit mencari tempat untuk berlatih di sini,” katanya padaMinggu (25/7/2021) seperti dikutip Japan Times.
Skater tidak bisa bermain seenaknya di jalanan Jepang. Beberapa taman juga sampai melarang para skater beraksi. Terlebih lagi, saat sedang bermain mereka sering kali dihentikan tanpa alasan oleh polisi.
Kata Nishimura, skater tidak leluasa seperti misalnya tempat tinggalnya sekarang, Huntington Beach, California, Amerika Serikat. Dia bisa bermain skateboard di setiap sudut jalan Huntington Beach.
Semua itu terjadi akibat stigma yang melekat terhadap skater di banyak negara, salah satunya Jepang. Mereka dianggap kurang kerjaan karena berada di jalanan. Aksi ekstrem mereka dinilai mengganggu ketenangan di area umum. Juga, mereka kerap disamakan dengan anak jalanan yang hobi pada grafiti, yang sering berujung vandalisme.
Sebagai perempuan, Nishimura menanggung beban stigma lebih berat. Banyak orang beranggapan, skateboard adalah permainan mengundang adrenalin yang hanya cocok untuk laki-laki. Olahraga ini tidak cocok untuk sisi feminin perempuan.
Orang di sekitar keluarga saya berkomentar tentang saya yang bemain skateboard sebagai perempuan. Ketika pertama mendengar itu, saya cukup terkejut mereka berpikir seperti itu.
Nishimura bercerita, dia mendapat dukungan dari orangtua yang juga punya hobi sama. Tetapi tidak dengan lingkungan sekitar keluarganya. “Orang di sekitar keluarga saya berkomentar tentang saya yang bemain skateboard sebagai perempuan. Ketika pertama mendengar itu, saya cukup terkejut mereka berpikir seperti itu,” kata peraih perunggu Kejuaran Dunia Skateboard 2019 ini.
Stigma tersebut mulai dihancurkan oleh para remaja putri Jepang di Olimpiade Tokyo 2020. Tiga atlet Jepang Momiji Nishiya (13), Funa Nakayama (16), dan Nishimura, membanggakan negaranya lewat penampilan dalam final nomor street putri di Ariake Sports Park, pada Senin siang.
Sebagai finalis termuda, Nishiya justru menjadi skater yang bersinar hari itu. Dengan wajah polos dan tubuh kurus, dia memukau para juri dengan gerakan maskulin sekaligus feminin saat bersamaan.
Nishiya menghasilkan gerakan memutar skateboard, lalu melaju di atas pegangan tangga. Gerakan itu terlihat penuh energi tetapi juga sangat anggun. Berkat trik-trik menawan, dia meraih emas dengan total nilai 15,26.
Atlet kelahiran Osaka ini mengalahkan skater Brasil peraih perak, Rayssa Leal (13), yang mendapat poin 14,64. Skater Jepang lain, Nakayama, menyempurnakan kesuksesan negaranya dengan meraih perunggu. Sayangnya, Nishimura belum berhasil menyumbang medali.
Wajah polos Nishiya memancarkan senyum lebar seusai dipastikan meraih emas pertama dalam ajang skateboard putri. Sambil tersenyum, dia mengusap air mata yang tiba-tiba menetes. Senyum tulus bocah dengan rambut sebahu itu bisa menghipnotis orang lain untuk turut bahagia.
“Saya sangat bahagia. Saya tidak pernah berpikir bisa menang. Tetapi karena dukungan semua orang di sini, saya bisa menemukan irama yang tepat,” kata Nishiya dengan wajah tersipu.
Nishiya mengakhiri hari sebagai peraih emas termuda sepanjang sejarah Jepang di Olimpiade. Skater yang lahir pada 30 Agustus 2007 ini juga menjadi peraih emas termuda di Olimpiade sejak atlet loncat indah springboard Marjorie Gestring (13 tahun, 267 hari) yang juara pada 1936.
Stigma yang melekat selama ini kepada skateboard, sama sekali tidak terlihat selama gelaran final skateboard putri. Penampilan mereka jauh dari kesan anak-anak nakal yang punya sifat perusak.
Seluruh skater remaja ini justru menunjukkan aksi elegan dengan teknik tinggi yang seperti sudah dilatih bertahun-tahun. Fesyen para skater juga terlihat sangat modern dan nyaman dipandang.
Nishiya misalnya, mengenakan kaos putih bercorak warna-warna mencolok dipadukan dengan celana panjang dan sepatu sneaker putih. Mereka justru terlihat seperti remaja keren yang patut diidolakan banyak penggemar.
Hebatnya lagi, rata-rata usia peraih medali di podium tersebut adalah 14 tahun 191 hari. Catatan itu merupakan yang termuda sepanjang sejarah Olimpiade. Hal ini memperlihatkan skateboard adalah olahraga masa depan, yang diminati oleh banyak remaja di seluruh dunia.
Sosiologis olahraga dari Universitas Nara, Yuji Ishizaka, berkata, stigma pada masyarakat akan berubah sendiri ketika melihat ada sesuatu yang bisa dibanggakan. “Kesuksesan di Olimpiade akan menarik perhatian dan menjadikan hal itu populer. Semua ini akan mengubah persepsi terhadap skateboard di Jepang,” ucapnya. (AFP/REUTERS)