Eko Yuli Irawan, Konsistensi Si "Penggembala" Medali
Dari penggembala kambing, lifter Eko Yuli Irawan (32) bertransformasi menjadi "penggembala" medali. Eko adalah Olimpian asal Indonesia yang paling konsisten, yaitu selalu meraih medali di empat Olimpiade yang diikutinya.
Dari seorang penggembala kambing, lifter Eko Yuli Irawan (32) bertransformasi menjadi "penggembala" medali. Eko adalah Olimpian asal Indonesia yang paling konsisten, yaitu selalu meraih medali di empat Olimpiade edisi yang diikutinya. Tak ada yang menandinginya.
Olahraga, bagi Eko Yuli, adalah panggung kehidupan. Setiap kepingan medali yang diraihnya di berbagai ajang, termasuk Olimpiade, adalah kristalisasi dari pengalaman hidupnya, baik kesedihan, perjuangan, dan kegembiraan. Ibarat stalaktit indah di dalam gua, yang ditempa waktu ribuan tahun, medali-medali Olimpiade milik Eko juga diasah air mata dan keringat dalam kesunyian selama bertahun-tahun.
"Stalaktit" terakhir yang dihasilkan Eko adalah medali perak kelas 61 kilogram putra cabang angkat besi di Olimpiade Tokyo 2020, Minggu (25/7/2021). Berkat prestasinya itu, hingga kemarin sore, Indonesia sejajar dengan sejumlah negara maju, seperti Spanyol dan Belgia, yang sama-sama memiliki satu perak di Tokyo.
Eko pun mengukir rekor, yaitu menjadi Olimpian pertama yang selalu meraih medali di empat Olimpiade yang diikutinya, yaitu Beijing 2008, London 2012, Rio De Janeiro 2016, dan Tokyo 2020. Total dua perak dan dua perunggu dikoleksinya dari empat edisi Olimpiade berbeda.
Di Tokyo, Eko sebetulnya mengincar emas. Itulah medali Olimpiade yang belum pernah diraihnya. Ia dikalahkan rival terberatnya, Li Fabin (China), yang mengukir rekor Olimpiade pada pertandingan Minggu. Maka, dengan sangat rendah hati, Eko justru meminta maaf ke publik Indonesia, walaupun realitasnya medali perak yang dicapainya tidak bisa dianggap kegagalan.
"Saya minta maaf karena masih belum bisa mempersembahkan emas untuk Indonesia sebagaimana cita-cita saya. Saya sudah berusaha semaksimal mungkin untuk bisa menjadi yang terbaik,” ujar Eko, yang baru saja berulang-tahun ke-32, mengungkapkan perasaannya.
Rasa tanggung jawab
Bagi Eko, meraih medali, termasuk target emas, seolah-olah menjadi tanggung jawab dan beban yang dipikulnya setiap kali mengikuti Olimpiade. Beban itu jauh lebih berat dari barbel berbobot 177 kilogram yang coba diangkatnya pada clean and jerk, Minggu. Rasa tanggung jawab itu telah terpatri di dirinya, bahkan sejak sebelum akil balig.
Sewaktu kecil, Eko bukanlah berasal dari keluarga berada. Ayahnya, Saman, seorang pengayuh becak. Adapun ibunya, Wastiah, berjualan sayuran untuk menambah penghasilan. Sadar dengan beban berat ekonomi yang disandang orangtuanya, Eko mencoba mandiri dan bertanggung jawab sejak kecil.
Di sela-sela bersekolah, Eko menggembalakan kambing. Ternak milik orang lain itu dijaganya sepenuh hati walaupun upahnya tidak seberapa besar. "Saya belajar bertanggung jawab. Kalau kambing hilang, kami harus menggantinya dan tidak bisa dapat tambahan penghasilan,” ujar Eko. (Kompas, 3 Agustus 2012).
Di sela-sela angon kambing, saat usia 11 tahun, ia kerap menyaksikan anak-anak sebayanya berlatih angkat besi di sasana milik Yon Haryono, mantan lifter nasional. Pada awal 2001, ia pun mulai berlatih di sana. Dari sana, transformasi Eko dari penggembala kambing menjadi "penggembala" medali angkat besi pun dimulai.
Belum genap setahun berlatih, dia mengikuti Kejuaraan Nasional Remaja di Indramayu, Jawa Barat, dan meraih emas tanpa disangka-sangka. Prestasi demi prestasi di tingkat nasional mengantarkan Eko bergabung ke pemusatan latihan nasional dan tampil di sejumlah ajang internasional, yaitu terakhir di Olimpiade Tokyo.
Kini, berbagai medali emas, mulai Kejuaraan Dunia, Piala Dunia Angkat Besi, SEA Games, hingga Asian Games, telah dikoleksinya. Tidak terbilang banyaknya medali lain, baik perak dan perunggu, yang juga telah diraihnya. Namun, jalan kariernya tidak selalu mudah dan mulus.
Setelah Olimpiade 2016 misalnya, Eko Yuli sempat dianggap "habis" setelah meraih perak di nomor 62 kg dengan total angkatan 312 kg. Ia pun gagal menjaga tradisi emas saat tampil di SEA Games Malaysia, 2017 silam. Namun, seperti penggembala, ia tidak lepas tanggung jawab. Kegagalan itu ia tebus dengan emas Asian Games dan Kejuaraan Dunia IWF dengan jumlah angkatan 317 kg yang menjadi rekor dunia kelas 61 kg pada 2018.
Tantangan bertubi-tubi
Menjelang Olimpiade Tokyo, tantangan berat bertubi-tubi menghadangnya. Di tengah terbatasnya latihan dan uji coba tanding selama masa pandemi, ia harus menjaga bobot tubuhnya tetap di bawah 61 kg. Maka, ia harus berdiet keras. Ketika orang lain bisa bekerja dari rumah sambil menikmati kuliner lezat yang menggoyang lidah, Eko harus memadamkan gairah mengunyah.
Ia juga harus mengimbangi latihan dan pola makan dengan terapi rutin untuk memulihkan diri dari cedera lutut lamanya yang kerap menghantui. Beruntung, istrinya, Masitah, sangat mendukungnya, termasuk menyiapkan santapan yang selaras program dietnya.
Dalam upayanya kembali berlatih rutin di tengah kekhawatiran bobot yang bisa naik dan cedera yang menghantui, masalah lain sempat menghadangnya. Awal 2021, ia sempat bersitegang dengan pengurus Perkumpulan Angkat Besi Seluruh Indonesia (PABSI). Eko dianggap mangkir berlatih di pelatnas PABSI.
Namun, Eko bukan menolak berlatih di pelatnas. Ia minta didatangkan Lukman, mantan pelatihnya yang membinanya sejak masa remaja di Lampung. Menurut Eko, Lukman adalah pelatih yang jeli melihat kekurangannya, bukanlah hanya kelebihannya. Kekurangan itu harus ia benahi sebelum tampil di Tokyo.
Namun, permintaan itu sulit diwujudkan PABSI, salah satunya karena masalah anggaran. Eko pun terpaksa berlatih mandiri di rumahnya. Dalam perkembangannya, Eko bisa dibimbing Lukman dengan latihan mandiri di pusat kebugaran umum, berkat campur tangan Komite Olimpiade Indonesia (KOI).
Ada beberapa cerita menarik dari oleh manajer tim angkat besi saat Olimpiade Rio 2016, Alamsyah Wijaya. Eko disebut sebagai bocah kampung yang memiliki visi jauh ke depan. Eko atlet yang sangat berbakat, dia sangat fokus, mampu menyemangati diri sendiri. "Urusan memotivasi diri sendiri, Eko juaranya," ujar Alamsyah.
"Dia juga disiplin. Jadi kalau persiapan kejuaraan, peran kita sedikit saja, cuma melurus-luruskan saja, membuat atlet nyaman. Dia juga bisa menabrak zona nyamannya, salah satunya diet ketat untuk menjaga berat badan," ungkap Alamsyah yang membeberkan kisah Eko menabrak zona nyaman menjelang Olimpiade Tokyo 2020. Tetapi, biarlah kisah itu menari-nari di antara kami saja.
Jika dilihat dari luar lingkaran dunia angkat besi, Eko Yuli hanya akan terlihat sebagai atlet angkat besi dengan berat badan di bawah 61 kg. Padahal, banyak sekali yang harus dilakukan untuk menjaga tubuh tidak naik terlalu jauh, yaitu di kisaran 62-63 kilogram. Idealnya, menjelang kejuaraan, kelebihan berat badan maksimal 5% dari kelas lifter, supaya saat harus menurunkan berat badan dengan cepat, performa tidak terpengaruh.
"Untuk menjaga itu, Eko tidak boleh makan nasi, gak boleh makan macam-macam. Selama pemusatan latihan, Eko mengonsumsi makanan pengganti sarapan dari Herbalife, jadi makan pagi dan makan malamnya kita ganti dengan nutrisi yang cukup, tanpa menyebabkan kenaikan berat badan. Sedangkan makan siangnya normal," ungkap Alamsyah.
Harga menjadi Olimpian seperti Eko Yuli, salah satunya adalah mengorbankan kenikmatan makan. Godaan terbesar adalah saat melihat dan mencium aroma nasi padang. "Kalau melihat nasi padang, wah mimpi buruk itu," ujar Alamsyah diiringi tawa.
"Kami pernah menjalani pemusatan latihan di China menjelang Olimpiade Rio. Dia malam datang ke kamar saya minta rendang. Itu rendang saya cuci dengan air panas supaya bumbunya hilang. Saya bilang ke dia \'lu mau rendang? Ini rendang\'. Dia bilang, \'lah, bumbunya yang enak pak\'. Tidak boleh makan pokoknya," kenang Alamsyah.
"Dia juga suka minum Sprite, kalau mau tanding dan dia ingin minum, saya kasih setutup botol untuk rasa-rasa, jadi gak ada glegek-glegek itu," ungkap Alamsyah.
Kisah-kisah kecil itu bukan lelucon. Itu hanya secuil contoh pengorbanan yang harus dilakukan oleh Eko, juga atlet-atlet elite yang memburu prestasi di Olimpiade. Kekuatan saja tidak cukup untuk bersinar di Olimpiade, karena diperlukan mental sekeras baja untuk meraih medali, apapun warnanya. Berkaca pada Eko, dia bisa tampil di Olimpiade keempat dan semuanya berbuah medali berkat kemampuannya memotivasi diri sendiri.
Sejumlah orang melihat Eko sebagai "pemberontak". Namun, bagi Eko, hal itu, sekali lagi, adalah bentuk tanggung jawab, tuntutan diri, dan motivasi, untuk mengejar medali. Ia selalu ingin mewujudkan semboyan Olimpiade : citius (lebih cepat), altius (lebih tinggi), dan fortius (lebih kuat).
Kini, meskipun sadar diri tidak lagi muda, Eko masih punya ambisi tampil di Olimpiade Paris 2024. Namun, visinya saat ini tidak lagi melulu tentang dirinya.
Baca juga : Visi Eko Yuli Menuju Paris 2024
Ia ingin membimbing para yuniornya agar bisa menjadi penerusnya dan menjaga tradisi meraih medali di Olimpiade. "Saya akan mencoba (mengejar Paris 2024), sambil membimbing yunior, seperti Windy (Cantika Aisah). Kita juga punya yunior (putra), Rizky Juniansyah, yang bisa diorbitkan. Intinya mendukung mereka," ujarnya di Tokyo.
"Kalau segi semangat sendiri masih ada, tetapi kita kan masih perlu lihat lagi kondisi kita bagaimana. Minimal mempertahankan ini (medali perak), tetapi saya gak bisa berjanji untuk lebih lagi, karena usia lebih lanjut, tetapi kita lihat rezeki dari Yang Kuasa bagaimana," ujar Eko yang kini mengguratkan target ke Paris 2024.
Jika itu terwujud ke depan, Eko bakal kian menegaskan reputasinya sebagai si penggembala medali. Siapa tahu, mimpinya meraih medali emas Olimpiade akan diwujudkan para yunior, penerusnya.
Eko Yuli Irawan
Lahir: Metro, Lampung, 24 Juli 1989
Orangtua: Saman (ayah), Wastiah (ibu)
Istri: Masitah
Anak: 2
Prestasi:
- Medali perak Olimpiade 2020 (61 kg)
- Medali perak Olimpiade 2016 (62 kg)
- Medali perunggu Olimpiade 2012 (62kg)
- Medali perunggu Olimpiade 2008 (56 kg)
- Medali emas Asian Games 2018 (62 kg)
- Medali emas Islamic Solidarity Games 2013, 2017 (62 kg)
- Medali emas SEA Games 2007 (56 kg), 2009, 2011, 2013 (62 kg), 2019 (61 kg)
- Medali emas Universiade 2011 (62 kg)
- Medali emas Piala Dunia IWF 2019 (61 kg)
- Medali emas Kejuaraan Dunia 2018 (61 kg)
- Medali ems Kejuaraan Dunia Yunior 2007 (56 kg)