Darah petarung mengalir dalam tubuh Windy Cantika Aisah dari ibundanya yang mantan lifter, Siti Aisah. Atlet 19 tahun itu pantang menyerah, bahkan bangkit setelah positif Covid-19 untuk meraih perunggu Olimpiade Tokyo.
Oleh
AGUNG SETYAHADI
·6 menit baca
TOKYO, KOMPAS – Panggung Olimpiade bukan sekadar pertarungan menjadi lebih cepat, lebih tinggi dan lebih kuat. Perebutan medali yang penuh tekanan itu pun menuntut kemampuan mengelola mental. Windy Cantika Aisah menjalani semua itu dalam debutnya di Olimpiade saat berjuang meraih medali perunggu kelas 49 kilogram di Tokyo 2020, Sabtu (21/7/2021). Lifter berusia 19 tahun itu pun memetik buah ketekunannya berlatih angkat besi sejak duduk di kelas 4 SD berkat mental bajanya.
Peluang Cantika meraih medali seolah melayang saat dia hanya berhasil melakukan satu angkatan dari tiga kesempatan pada jenis angkatan snatch. Lifter asal Bandung itu, gagal pada kesempatan pertama 84 kg, dia baru sukses mengangkat beban itu pada kesempatan kedua. Angkatan ketiga 87 kg tak mampu dia tuntaskan.
Kegagalan itu memukul mental Cantika, karena di awal 2021 dalam Kejuaraan Dunia Yunior, dia meraih tiga medali emas masing-masing dari angkatan snatch 86 kg, clean and jerk 105 kg, dan angkatan total 191 kilogram. Dalam latihan menjelang Olimpiade, dia bisa mengangkat 87 kilogram, tetapi tekanan di ajang sekelas Olimpiade memang berbeda dari kejuaran-kejuaraan lain.
"Saat snatch ada kesalahan sedikit saat pemanasan, terlalu cepat jadi ngos-ngosan, tidak tenang jadinya. Tetapi di angkat besi kan tidak selesai di snatch, karena masih ada clean and jerk, jadi harus tetap semangat jangan menyerah," ujar Cantika.
Namun, membangkitkan mental setelah dua kali gagal melakukan angkatan yang secara normal mudah dia lakukan, bukan perkara sederhana. Tekanan yang dialami Cantika sangat besar, karena dia sudah tertinggal dua kilogram dari lifter Amerika Serikat, Jourdan Elizabeth Delacruz. Pesaing Cantika dalam perebutan medali perunggu itu menyelesaikan angkatan terbaik 86 kilogram. Dia gagal melakukan angkatan 89 kilogram pada kesempatan ketiga atau terakhir.
Babak clean and jerk menjadi jauh lebih berat, apalagi, Windy kurang bagus dalam jenis angkatan ini. Sepanjang pemusatan latihan pada 2021 dia belum pernah bisa mengangkat 108 kilogram. Namun, di Olimpiade Tokyo dia mampu melakukan itu, bahkan hingga 110 kilogram.
Pertarungan itu dimulai dari memotivasi Cantika yang dilakukan oleh para pelatih di ruang pemanasan. Kepala Pelatih Angkat Besi Dirdja Wihardja, awalnya ingin memasang angkatan awal clean and jerk 105 kilogram, karena Delacruz memasang target angkatan pertama 102 kilogram. Selisih tiga kilo itu akan menempatkan Cantika ke posisi tiga dalam persaingan meraih perunggu.
"Awalnya saya mau naikin 105 kilogram karena sudah kalah di snatch 2 kilo, tetapi saya cari aman dulu, yang penting membangkitkan psikologi atlet yang sudah down, yang penting masuk dulu (angkatan berhasil dilakukan). Amankan posisi dulu, baru pada angkatan kedua dan ketiga gas pol," ujar Dirdja.
Pelatih memutuskan memasang target angkatan clean and jerk pertama 103 kilogram, sekilo di atas target Delacrus 102 kg. Tetapi, "jual beli" angkatan dimulai, saat Delacruz menaikkan target angkatan pertamanya menjadi 104 kg supaya Cantika lebih dulu melakukan angkatan. Di sini lah Dirdja tidak mau "membeli" tantangan pelatih Delacruz, dan Cantika lebih dulu mengangkat 103 kg sesuai target awal.
Cantika berhasil menyelesaikan angkatan pertamanya, dan memasang target angkatan kedua 104 kg. Delacruz menaikan targetnya dari 104 kg menjadi 105 kg. Kali ini Dirdja "membeli" apa yang "dijual" pelatih Delacruz dengan menaikan angkatan kedua Cantika menjadi 106 kg. Delacruz membeli angkatan itu dan menaikkan menjadi 108 kg.
Pada titik inilah situasi kritis perlu diputuskan, dan Dirdja memasang target sama 108 kg sehingga Delacruz mengangkat lebih dahulu. Dia tahu, lifter Amerika Serikat itu akan kesulitan mengangkat 108 kilogram karena dia sudah "memata-matai" di ruang pemanasan.
"Cantika kan di platform 2, dan Delacruz di platform 5, jadi saya berlagak mondar-mandir saja ke dekat lifter Amerika itu. Jadi saya tahu pemanasan dia sudah berapa kilogram," ujar Dirdja.
Benar saja, Delacruz gagal mengangkat 108 kilogram dalam tiga kali kesempatan. Dia pun kehilangan peluang meraih medali. Namun, tantangan Cantika belum selesai. Dia harus melakukan angkatan kedua 108 kg. Cantika berhasil menyelesaikan angkatan, hingga dia berteriak meluapkan kelegaan. Tepuk tangan pun meledak di ruangan lomba Tokyo Iternational Forum. Cantika pun menyelesaikan angkatan ketiga 110 kilogram.
Cantika mengalahkan dirinya sendiri, karena sepanjang latihan selama pandemi Covid-19, dia belum pernah mencapai angkatan 108 kg. Dia masih terus berjuang kembali ke performa sebelum pandemi, pada Maret 2020, di mana dia bisa melakukan angkatan snatch 90 kilogram dan clean and jerk 110 kilogram.
Mungkin kalau itu di mental, kita serahkan sama yang di atas, saat itu hanya ada Windy sama barbel sama Allah saja.
"Mungkin kalau itu di mental, kita serahkan sama yang di atas, saat itu hanya ada Windy sama barbel sama Allah saja," ujar Cantika.
Medali perunggu di Olimpiade pertamanya itu, diraih Cantika dengan perjuangan keras, penuh pengorbanan. Saat mengawali perburuan tiket ke Olimpiade pada 2019, dia belum berpikir akan meraih medali. Di usia belum genap 17 tahun, bahkan tiket ke Olimpiade pun terasa mustahil.
"Proses untuk mencapai Olimpiade itu tidak gampang, entah apalah, sakit, apalagi dalam tiga bulan ke belakang ada sakit pinggang, sakit hamstring, sobek (telapan tangan) sampai merasakan sakit tiap malam, gak mudah, jadinya ya melepaskan berekspresi seperti itu berteriak," ujar Cantika.
"Saya juga pernah pas akhir tahun (2020) itu kena Covid, ya sudah diterima saja. Dari situ perlu banyak yang diperbaiki, banyak kesalahan meskipun sudah sadar menggunakan masker, mungkin memang sudah waktunya cobaannya seperti itu dijalani saja," ujar Cantika.
"Kalau (Covid) pengaruh ke mental gak juga, tetapi karena keseringan PCR, apalagi setelah pulang dari Istana Negara (pelepasan simbolis kontingen Olimpiade) kan ada yang positif, dari situ jadi sehari tiga kali swab, besoknya berdarah hidungnya. Jadi terakhir kalau hidung di swab berdarah tetapi tidak banyak seperti mimisan, hanya bercak. Kalau mental gak terpengaruh," ujar Cantika.
Terkait medali perunggu yang bisa dia raih dengan total angkatan 194 kilogram (snatch 84 kg, clean and jerk 110 kg), Cantika merasa itu merupakan buah dari ketekunan menjalani proses latihan.
"Windy gak bisa bicara apa-apa soal target, karena awalnya kan di umur 16 tahun mencari tiket ke Olimpiade seperti mustahil. Tetapi Windy prinsipnya seperti air mengalir, apapun yang pelatih kasih ya Windy makan, maksudnya saya kerjain, misal dikasih berapa set latihan atau tidur berapa jam, ya dijalani saja sekuat mungkin, sesabar mungkin, dan hasilnya Allah yang nentuin," ungkap Cantika.
"Dia selalu saya motivasi, di Olimpiade lah tempatnya membuat sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin. Dia telah melakukan itu," ungkap Dirdja.
Medali emas kelas 49 kilogram diraih oleh lifter China Hou Zhihui dengan total 208 kg yang menjadi rekor Olimpiade. Zhihui juga mencetak rekor Olimpiade snatch 94 kilogram dan clean and jerk 116 kg. Medali perak diraih lifter India Mirabai Chanu Saikhom dengan total angkatan 202 kg.
Angkat besi Indonesia masih memiliki tumpuan harapan medali pada lifter kelas 61 kilogram Eko Yuli Irawan. Dia akan tampil pada Minggu (25/7) mulai pukul 13.00 WIB untuk menuntaskan rasa penasarannya pada keping medali emas. Tiga Olimpiade sebelumnya dia meraih dua perunggu dan satu perak. Pesaing ketat Eko adalah lifter China Li Fabin.