Pantaskah MU Perpanjang Kontrak Solskjaer?
Manchester United memberikan perpanjangan kontrak semusim untuk Ole Gunnar Solskjaer. Meski disambut positif ”fans”, secara statistik keputusan itu tidak sepenuhnya masuk akal.
Pengumuman Manchester United untuk memperpanjang kontrak sang manajer, Ole Gunnar Solskjaer, hingga 30 Juni 2024, Sabtu (24/7/2021) kemarin, disambut positif oleh ribuan bahkan jutaan pendukung klub berjuluk ”Setan Merah” itu. Memasuki musim keempatnya menjadi juru taktik di Stadion Old Trafford, Solskjaer masih memburu trofi pertamanya untuk MU. Jadi, pantaskah MU memperpanjang kontrak Solskjaer di musim panas ini?
Sambutan positif mengemuka di media sosial. Nama Solskjaer pun sempat menjadi trending topic di Twitter.
”Solskjaer adalah hal terbaik yang terjadi di klub ini sejak 2013,” cuit salah satu akun pendukung MU, @ManUnitedMedia. Cuitan itu disukai lebih dari 6.600 akun.
Dua jam setelah pengumuman perpanjangan kontrak Solskjaer dipublikasi, MU menjalani laga uji coba melawan Quens Park Rangers (QPR) di Stadion Loftus Road. Pasukan muda MU secara mengejutkan diberi ”pelajaran” berharga oleh tim Divisi Championship itu dengan kekalahan telak 2-4. QPR seakan tidak ingin pendukung MU terlalu lama merayakan euforia perpanjangan kontrak Solskjaer dengan memberikan kado buruk bagi manajer asal Norwegia itu.
Solskjaer mungkin dapat berkilah bahwa kekalahan itu tercipta karena dirinya menurunkan mayoritas pemain muda. Hanya Mason Greenwood, Daniel James, Nemanja Matic, Aaron Wan-Bissaka, Axel Tuanzebe, dan Juan Mata yang tampil dalam laga itu dengan status pemain reguler tim utama di musim lalu.
”Mereka (pemain muda) akan mengingat ini. (Kekalahan) ini adalah sebuah pengalaman besar untuk mereka karena mereka harus sungguh-sungguh untuk bisa bersaing dan bermain di level senior. Saya berharap masa depan yang baik untuk mereka,” ujar Matic kepada MUTV.
Baca juga: Solskjaer Belum Mampu Hadirkan Mental Juara bagi MU
Kekalahan dari QPR tidak akan terlalu diratapi MU. Apalagi, MU masih memiliki tiga agenda uji coba melawan Brentford, Preston North End, dan Everton sebelum menjamu Leeds United di Old Trafford pada laga pembuka Liga Inggris musim 2021-2022 pada 14 Agustus mendatang. Di tiga laga itu, skuad MU akan kembali diisi sejumlah pemain bintang yang mayoritas baru akan kembali berlatih pekan depan setelah menjalani turnamen antarnegara.
Musim 2021-2022 akan menjadi musim penuh ketiga Solskjaer menangani ”Setan Merah” sejak menggantikan Jose Mourinho pada Desember 2018. Selama periode itu, Solskjaer telah memimpin Marcus Rashford dan kawan-kawan di 151 pertandingan. Bersama Solskjaer, MU mengemas 55,63 persen kemenangan.
Persentase itu memang masih lebih baik dari dua manajer MU terdahulu sejak era Sir Alex Ferguson berakhir di pengujung musim 2012-2013. Kedua manajer itu ialah David Moyes dan Louis van Gaal. Moyes mencatatkan 52,94 persen kemenangan serta meneer asal Belanda mengemas 52,43 persen raihan tiga poin.
Meskipun lebih sedikit meraih kemenangan, Moyes dan Van Gaal mampu mempersembahkan satu trofi bagi Setan Merah. Moyes memberikan trofi Community Shield dan van Gaal mengantarkan MU mengangkat Piala FA 2015-2016.
Baca juga: Solskjaer Berharap Tuah Takhayul ”Hari Baik”
Namun, apabila dibandingkan Mourinho, Solskjaer masih kalah segalanya. Dari sisi persentase kemenangan, manajer asal Portugal itu mencatatkan 58,83 persen kemenangan serta membawa pulang trofi Liga Europa, Piala Inggris, dan Community Shield ke Old Trafford.
”Mereka menganggap masa saya di MU adalah momen terburuk dalam karier saya, tetapi saya memberikan mereka tiga trofi yang belum bisa diulangi hingga kini,” ucap Mourinho, di sela taklimat pers perdananya sebagai Pelatih AS Roma, awal Juli ini.
Transfer paling tinggi
Selain belum mampu memberikan trofi, Solskjaer juga menjadi manager MU yang paling boros dalam membeli pemain baru. Memang di era Solskjaer hadir sejumlah pujaan baru di Old Trafford, seperti Harry Maguire dan Bruno Fernandes, termasuk Jadon Sancho yang baru datang di musim panas ini. Namun, Solskjaer mengeluarkan uang paling besar untuk membeli pemain.
Dari uang sebesar 361,4 juta poundsterling (Rp 7,2 triliun) yang dikeluarkan untuk mendatangkan delapan pemain, Solskjaer membayar rata-rata 45,17 juta poundsterling (Rp 898,9 miliar) untuk satu pemain. Jumlah itu masih berpotensi bertambah apabila MU berhasil mendatangkan Raphael Varane yang dibanderol Real Madrid dengan harga 50 juta poundsterling (Rp 995,1 miliar).
Baca juga: Lingard Mencuri Hati Solskjaer
Adapun tiga manajer pendahulu Solskjaer mengeluarkan rata-rata dana transfer lebih sedikit untuk membeli satu pemain. Moyes, yang hanya 10 bulan memimpin Setan Merah, mengeluarkan 34,5 juta pound sterling (Rp 686,6 miliar) per pemain, Van Gaal membayar 30,78 juta poundsterling (Rp 612,5 miliar) per pemain, serta Mourinho menebus satu pemain baru dengan harga rata-rata 40,97 juta poundsterling (Rp 815,3 miliar).
Meskipun mengeluarkan uang lebih banyak untuk satu pemain, Solskjaer belum mampu memberikan permainan konsisten bagi Setan Merah. Para pemain berlabel bintang itu belum mampu mengangkat mentalitas juara MU seperti di era Ferguson. Hal itu terlihat ketika MU gagal mengalahkan Villarreal di final Liga Europa musim lalu.
Alasan Solskjaer pun cukup klise setelah tumbang di Gdansk, Polandia, lokasi partai puncak Liga Europa itu. ”Saya katakan kami butuh dua atau tiga pemain baru untuk memperkuat 11 pemain awal. Sebab, saya yakin pesaing kami juga akan meningkatkan skuadnya,” ujar Solskjaer.
Alhasil, prestasi Solskjaer selama 2,5 musim menangani MU yang patut dikenang ialah rekor tidak terkalahkan dalam laga tandang selama musim lalu. Tak ada yang lain.
Relasi Glazer
Melihat dua faktor di atas tentu amat aneh apabila tim sebesar MU, yang memiliki ikatan erat dengan gelar juara di dekade 1990-an hingga 2000-an, masih mempertahankan Solskjaer. Mungkin MU ingin meniru jejak bersama Ferguson yang perlu menunggu selama empat musim untuk mempersembahkan gelar perdana sebagai manajer Setan Merah. Ketika tiba di Old Trafford pada 1986, Sir Alex baru membawa pulang gelar pertama, yaitu Piala FA 1989-1990.
Baca juga: Dua Sisi Mata Uang Performa Manchester United
Namun, menggantungkan asa kepada Solskjaer seperti Ferguson pada tiga dekade silam tidaklah bisa dipahami dengan akal sehat. Ferguson tiba di Old Trafford setelah menyulap tim kelas menengah Skotlandia, Aberdeen, menjadi penguasa Skotlandia yang selalu dikuasai dua tim asal Glasgow, yaitu Celtic dan Rangers. Tidak hanya di kancah domestik, Aberdeen juga mampu meraih trofi Piala Winners Eropa dan Piala Super Eropa pada 1983.
Sementara itu, Solskjaer hanya memiliki prestasi dua gelar Liga Norwegia dan satu Piala Norwegia selama enam musim menangani Molde. Kemudian, manajer kelahiran Kristiansund, Norwegia, itu gagal mempertahankan Cardiff City di Premier League edisi 2013-2014.
Lalu, apa yang membuat manajemen MU sangat setia kepada Solskjaer? Faktor legenda? Tidak juga. Ryan Giggs, yang prestasinya lebih harum ketika menjadi pemain MU, pernah ditunjuk sebagai manajer interim pada April 2014, tetapi kontraknya tidak dipermanenkan akhir musim 2013-2014.
Faktor utama Solskjaer disukai manajemen yang dipimpin CEO MU Ed Woodward dan duo pemilik, Joel dan Avram Glazer, karena manajer berusia 48 tahun itu adalah sosok pelatih santun dan tidak kontradiktif dengan sang petinggi klub. Ketika puluhan ribu pendukung MU menginvasi Old Trafford di akhir musim lalu sebagai bentuk protes kepada keluarga Glazer, Solskjaer justru menyalahkan aksi fans.
”Tindakan fans itu tentu mengganggu dan membuat persiapan kami tidak ideal,” kata Solskjaer, usai MU ditumbangkan Liverpool 2-4 di Old Trafford, 14 Mei lalu.
Tindakan fans itu tentu mengganggu dan membuat persiapan kami tidak ideal.
Selain itu, Solskjaer juga terkesan tidak suka mengumbar reaksi berlebihan kepada media, seperti Mourinho yang sering mengeluarkan pernyataan nyeleneh. Kata-kata Solskjaer cenderung lebih santun apabila ada pertanyaan terkait kebijakan klub. Misalnya, ia tidak mempermasalahkan keengganan klub menebus Sancho di awal musim lalu. Kesabarannya berbuah kedatangan Sancho di musim panas ini.
Seandainya Solskjaer gagal mengangkat prestasi MU di paruh pertama musim ini, rasanya tidak akan pula MU memecatnya. Sebab, tidak ada stok pelatih kelas bintang lima yang tersedia saat ini mampu memenuhi ekspektasi klub sebesar MU. Atau setidaknya memiliki perpaduan antara prestasi mentereng dan sikap sopan yang bisa menerima apa pun keputusan sang pemilik.
Baca juga: Paradoks Mental Juara Manchester United
Woodward dan Glazer bersaudara tentu sudah melihat betapa sulitnya Tottenham Hotspur mencari manajer baru di musim panas ini. Belasan manajer telah dikontak Spurs, tetapi akhirnya hanya manajer kelas menengah yang belum menyumbangkan trofi di kompetisi mayor, seperti Nuno Espirito Santo, yang bersedia menerima pinangan CEO Spurs Daniel Levy.
Woodward amat menyukai Mauricio Pochettino, tetapi impian untuk membawa manajer asal Argentina itu ke Old Trafford hanya tinggal harapan semu. Pochettino pun telah memperpanjang durasi kontrak bersama Paris Saint-Germain hingga akhir musim 2022-2023.
Memang masih ada nama manajer yang bisa menggaransi juara, seperti Antonio Conte, tetapi mustahil melihat MU mengontrak mantan Manajer Chelsea itu. Conte memang memiliki tradisi mempersembahkan gelar liga bagi setiap klub yang ditanganinya. Namun, dengan merekrut Conte, maka Woodward dan Glazer bersaudara harus siap merasakan telinga panas karena kritik keras Conte ketika keinginannya tidak dipenuhi manajemen.
Alhasil, untuk menjawab kepercayaan MU, Solskjaer hanya perlu membuktikan diri dengan mengakhiri paceklik trofi Setan Merah yang telah berlangsung selama empat musim. Kehadiran Sancho memang menghadirkan antusiasme, tetapi Solskjaer harus memahami pula kebangkitan calon penantang juara lainnya, seperti Chelsea dan Liverpool, selain memikirkan cara untuk bersaing dengan Manchester City.
Chelsea di bawah asuhan Thomas Tuchel telah berhasil menaklukkan Eropa sehingga menjadi penguasa Inggris menjadi ambisi Tuchel selanjutnya. Adapun Klopp telah menambal kelemahan lini belakang di musim lalu demi kembali bersaing menjadi juara Liga Inggris. Sementara itu, City berpotensi semakin menakutkan apabila mampu memenuhi transfer impian Pep Guardiola untuk mendatangkan Harry Kane dan Jack Grealish.
Jadi, apakah Solskjaer akan bertahan di Old Trafford hingga masa kontrak barunya itu rampung? Musim 2021-2022 adalah masa krusial bagi Solskjaer untuk membuktikan dirinya pantas menjadi pewaris kejayaan MU usai era bersejarah Ferguson. Kalau gagal, fans MU mungkin akan menuntut Solskjaer mundur, seperti yang konsisten dilakukan kepada keluarga Glazer dalam satu dekade terakhir.