Petenis Polandia, Iga Swiatek, akhirnya merasakan apa yang pernah dirasakan ayahnya, Tomasz Swiatek, yakni berlaga di Olimpiade Tokyo 2020. Tomasz adalah atlet dayung yang tampil di Olimpiade Seoul 1988.
Oleh
YULIA SAPTHIANI
·4 menit baca
TOKYO, SABTU-Petenis Polandia, Iga Swiatek, akhirnya merasakan apa yang dirasakan ayahnya. Swiatek tampil di Olimpiade, pengalaman yang berkali-kali dia dengar dari sang ayah yang mantan atlet dayung.
Debut tunggal putri berusia 20 tahun itu dijalani di Lapangan Utama Ariake Tennis Park, Tokyo, Sabtu (24/7/2021). Swiatek, yang ditempatkan sebagai unggulan keenam, memulai penampilan dalam ajang empat tahunan ini dengan kemenangan 6-2, 6-2 atas petenis Jerman, Mona Barthel. Lawannya pada babak kedua adalah Paula Badosa (Spanyol) yang mengalahkan Kristina Mladenovic (Perancis), 6-7 (4), 6-3, 6-0.
Dalam laga itu, Swiatek tak hanya harus mengatasi rasa gugupnya pada penampilann pertama di Olimpiade. Dia pun harus mengatasi suhu udara panas yang mencapai 33 derajat Celsius.
“Rasanya sangat panas dan lembab. Meski saya sudah beberapa hari berlatih di sini, tetapi kondisinya terasa berbeda. Saya senang bisa melalui pertandingan dengan cuaca sulit seperti tadi,” komentar Swiatek, juara Perancis Terbuka 2020.
Petenis yang lahir di Warsawa, Polandia, pada 31 Mei 2001 itu memiliki ibu, Dorota, yang merupakan seorang dokter gigi. Ayahnya, Tomasz Swiatek, adalah mantan atlet.
Saat aktif menjadi atlet dayung, Tomasz tampil di Olimpiae Seoul 1988 dalam nomor quadruple sculls (empat pendayung dengan dua dayung pada setiap pendayung). Bersaing dalam final Grup B, Tomasz dan rekan-rekannya menempati peringkat ketujuh secara keseluruhan.
Selang 13 tahun setelah penampilan itu, Swiatek lahir. Tomasz pun menginginkan putrinya itu menjadi atlet, terutama atlet cabang individu agar bisa turut mengontrol perjalanan kariernya.
Kakak Swiatek, Agata, semula, menekuni olahraga renang tetapi pindah ke tenis. Swiatek pun mengikuti jejak kakaknya itu dengan motivasi ingin mengalahkannya dan menjadi atlet yang lebih baik darinya.
Agata bersaing di arena yunior kompetisi ITF dalam usia sekitar 15 tahun, pada 2013, tetapi tak meneruskan perjalanannya karena didera cedera. Cita-cita sang ayah untuk melihat anaknya menjadi atlet profesional pun dijalani Swiatek.
Salah satu ceritanya adalah pengalaman ayah ketika antri untuk mengambil makanan dan dia berdiri di samping Steffi Graf dan Gabriela Sabatini. Bagi saya, pengalaman itu sangat keren.
Memiliki orang tua yang mantan atlet, Swiatek sering mendengarkan cerita tentang Olimpiade Seoul 1988. “Salah satu ceritanya adalah pengalaman ayah ketika antri untuk mengambil makanan dan dia berdiri di samping Steffi Graf dan Gabriela Sabatini. Bagi saya, pengalaman itu sangat keren,” kata Swiatek dalam laman resmi ITF.
Pada tahun itu, Graf yang disebut Swiatek akhirnya meraih medali emas dan dia membuat prestasi Golden Slam. Ini adalah istilah ketika petenis menyandingkan medali emas Olimpiade dan empat gelar Grand Slam dalam tahun penyelenggaraan yang sama. Hingga saat ini, belum ada petenis lain yang menyamai pencapaian tersebut.
Tiga puluh tiga tahun setelah Tomasz menjadi wakil negaranya dalam kompetisi olahraga terbesar di dunia, Swiatek mendapat pengalaman yang sama. Dia menjadi bagian dari kontingen Polandia, tinggal di perkampungan atlet, dan mengantri mengambil makanan seperti yang pernah dilakukan ayahnya.
Swiatek pun menjadi salah satu kandidat peraih emas tunggal putri, selain petenis nomor satu dunia, Ashleigh Barty, dan andalan tuan rumah, Naomi Osaka. “Sangat menyenangkan bisa bermain tenis dengan memakai seragam Polandia. Perjalanan karier saya akan bertambah baik lagi jika bisa mendapat medali,” katanya.
Bermain atas nama Polandia pernah dilakukan ketika mengantarkan negaranya menjadi juara kejuaraan tenis beregu putri Piala Fed yunior 2016. Di ajang Olimpiade, Swiatek meraih medali emas ganda putri dalam Olimpiade Remaja Buenos Aires 2018, berpasangan dengan petenis Slovenia, Kaja Juvan.
Ketika banyak negara di bagian timur dan tengah Eropa memiliki tenis sebagai salah satu cabang favorit, Polandia sebenarnya lebih terfokus pada cabang sepak bola, bola voli, dan balap sepeda. Baru kurang dari setahun lalu, negara dengan populasi 38 juta orang itu melirik tenis, ketika Swiatek menjuarai Grand Slam Perancis Terbuka 2020, dalam usia 19 tahun. Judul berita “Poland Garros” sebagai pelesetan dari Roland Garros terpampang di salah satu surat kabar di Polandia.
Sebelum menjalani pertandingan pertamanya di Tokyo, Swiatek bercerita, berlaga di Olimpiade membuatnya gugup. “Mewakili negara di Olimpiade adalah kesempatan yang langka, itu memberi tekanan pada saya. Untuk mengatasinya, saya tak memberi beban besar pada diri sendiri. Saya menilai, Olimpiade ini sama seperti turnamen tenis lainnya,” katanya. (REUTERS)