Nurul dan Rio Melawan Gugup demi Berkibarnya ”Merah Putih”
Walaupun berbeda etnik, asal-usul, dan keahlian, Nurul Akmal dan Rio Waida disatukan rasa bangga dan patriotisme di Olimpiade Tokyo. Spirit itu menjadi modal mereka melawan gugup sebagai pembawa Merah Putih di pembukaan.
Oleh
ADRIAN FAJRIANSYAH dan I GUSTI AB ANGGA PUTRA
·5 menit baca
Nurul Akmal (28), lifter kelas 87+ kilogram Indonesia, terkejut saat mengetahui namanya masuk enam besar dunia dan lolos ke Olimpiade Tokyo, Juni lalu. Jantung atlet asal Lhoksukon, Aceh Utara, itu kian berdegup keras saat terpilih sebagai atlet pembawa bendera Indonesia, bersama Rio Waida (selancar), pada pembukaan pesta olahraga terbesar di dunia tersebut, Jumat malam nanti.
”Lolos ke Olimpiade saja sudah membuat saya kaget dan bersyukur. Sekarang, terpilih menjadi pembawa bendera Indonesia di Olimpiade. Rasanya luar biasa. Tidak menyangka, kaget, dan senang. Pokoknya tak bisa berkata-kata lagi,” ujarnya saat dihubungi, Rabu (21/7/2021).
Pada 12 tahun silam, Nurul masih bermain di sawah dan jalanan kampung di pedalaman Aceh. Nyaris tiada yang menyaksikannya bermain kecuali teman-temannya. Malam nanti, jutaan mata sejagat bakal menyaksikannya membawa ”Merah Putih” di pembukaan Olimpiade Tokyo.
Sebagai anak pasangan petani, yaitu Hasballah dan Nurmala, tidaklah pernah terlintas pula di benak Nurul untuk menjadi atlet. ”Di keluarga kami, tidak pernah ada yang menjadi atlet,” kata atlet yang biasa disapa Amel itu.
Pada 2009 atau selepas lulus dari Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 Tanah Luas, Aceh Utara, ia diajak berlatih angkat besi di Banda Aceh oleh kenalan ayahnya. Para pencari bakat pun merayu dengan iming-iming mendapatkan uang saku, makan, tempat tinggal, dan sekolah gratis selama mengikuti latihan itu.
”Karena bisa membantu meringankan beban orangtua, saya langsung menerima tawaran itu. Ayah juga sangat mendukung meski mamak (ibu) khawatir melepas saya sendirian ke Banda Aceh yang jauh dari kampung halaman,” tutur anak kedua dari empat bersaudara tersebut.
Menjadi andalan
Keputusan itu ternyata sangat tepat. Hanya enam bulan menjalani latihan, Amel yang saat itu masih berusia 17 tahun meraih medali perunggu kelas +75 kg dalam Kejuaraan Nasional 2010 di Yogyakarta. Sejak itu, ia menjadi andalan tim angkat besi Aceh.
Kadang saya ketawa sendiri pas latihan jalan. Badan saya ini, kan, paling gede, tetapi nanti disuruh jalan paling depan. (Nurul Akmal)
Karier atletnya terus menanjak ke level nasional, bahkan internasional. Pada Islamic Solidarity Games 2017 di Baku, Azerbaijan, ia meraih medali perak kelas +90 kg. Ia pun dipanggil ke pemusatan latihan nasional (pelatnas) angkat besi di Jakarta sejak 2018 dan sempat meraih emas kelas +87 kg dalam turnamen uji coba Asian Games 2018.
[embed]https://youtu.be/golCWQrtA3I[/embed]
Setelah itu, Amel menjadi penghuni tetap pelatnas hingga sekarang. Namun, Amel belum sempat tampil di ajang bergengsi Asia Tenggara, SEA Games. Pada SEA Games 2019 di Filipina, nomornya tidak dipertandingkan. Jadi, Olimpiade Tokyo menjadi pelampiasan hasrat bertandingnya.
Kini, seusai ditunjuk menjadi pembawa bendera Indonesia di sela-sela acara pelepasan kontingen Indonesai oleh Presiden Joko Widodo secara daring, Kamis (8/7/2021), konsentrasi Amel tidak hanya tertuju pada laga. Ia juga berpikir keras bagaimana membawa bendera dengan elegan.
Dengan tubuh tinggi besarnya, dia sadar kalau cara jalannya selama ini kaku. ”Saya kalau jalan macam robot,” ujar lulusan Universitas Abulyatama, Aceh, pada 2018, itu.
Makanya, di sela-sela berlatih fisik dan teknik angkat besi, Amel menyempatkan diri berlatih berjalan sewaktu di Jakarta dan di Tokyo.
”Di Jakarta, saya sempatkan latihan berjalan di kamar sendirian. Saat di Tokyo, kalau tidak latihan, saya jalan-jalan sendiri di balkon perkampungan atlet (Olimpiade Tokyo). Kadang saya ketawa sendiri pas latihan jalan. Badan saya ini, kan, paling gede, tetapi nanti disuruh jalan paling depan,” kata Amel tertawa.
Kendati sudah menyiapkan mental dan berlatih, rasa gugup tetap menghantui pikiran Amel, apalagi sampai kini dia belum tahu alasan dirinya terpilih sebagai pembawa bendera Indonesia. Selama ini, ia lebih fasih mengangkat barbel ketimbang berjalan anggun di depan orang banyak.
Akan tetapi, Amel mencoba mengubah rasa grogi itu menjadi puncak motivasi. Paling tidak, dia telah membuat dua sejarah, yakni menjadi atlet asal Aceh kedua yang tampil di Olimpiade seusai atlet anggar, Alkindi, di Olimpiade Seoul 1988 dan atlet Aceh pertama yang membawa bendera Indonesia di Olimpiade.
”Saya ingin meraih prestasi terbaik agar semakin membanggakan orangtua, Aceh, dan Indonesia, di Olimpiade,” ucapnya.
Rasa bangga sekaligus gugup juga diperlihatkan atlet putra, Rio Waida. Sebelumnya, Rio bahkan belum pernah tahu tentang Olimpiade karena selancar baru dipertandingkan di Olimpiade pada tahun ini.
”Sangat gugup buat upacara pembukaan, apalagi tidak ada latihan lebih dulu. Saya akan mencoba setenang mungkin nanti,” ujar atlet asal Bali itu.
Sekretaris Jenderal Komite Olimpiade Indonesia (KOI) Ferry J Kono menjelaskan, pertimbangan menunjuk Rio sebagai pembawa bendera salah satunya karena ia adalah atlet Indonesia keturunan Jepang. Menurut Ferry, masyarakat Jepang diketahui menggemari olahraga selancar.
”Rio diharapkan dapat menarik perhatian warga Jepang. Komite Olimpiade Internasional (IOC) pun memilih Rio untuk diwawancarai di akun media sosial mereka,” kata Ferry melalui pesan singkat.
Rio mewarisi darah Jepang dari ibunya, seorang warga negara Jepang yang berasal dari Saitama. Sedangkan ayah Rio berasal dari Jember, Jawa Timur. Ayah dan ibu Rio merupakan peselancar. Merekalah yang memperkenalkan olahraga itu kepada Rio dan adiknya, Ryuki Waida.
Rio tumbuh di tengah lingkungan yang mendukung dirinya sebagai peselancar. Berselancar setiap hari di pantai di Bali adalah kebiasaan yang ditanamkan ayah Rio saat dirinya masih berusia 5 tahun. Rio lahir di Saitama, Jepang, 25 Januari 2000. Ia dan keluarganya lantas menetap di Bali saat Rio berusia 5 tahun. Sejak pindah ke Bali, Rio mulai mengasah kemampuannya dalam berselancar.
Masa kecil Rio lebih banyak dihabiskan dari satu pantai ke pantai lainnya di Bali. Ia kerap pergi berburu ombak yang besar di Bali bersama rekan-rekannya sesama peselancar. Sebagian besar waktu Rio dihabiskan untuk bermain selancar di Pantai Kuta.
Meski tumbuh besar di lingkungan peselancar, itu tidak serta-merta menjadikan Rio langsung jatuh cinta pada selancar. Awalnya, ia mengaku sangat takut terhadap ombak dan laut. Namun, seiring berjalannya waktu, Rio mulai terbiasa. Dari selancar pula ia mendapatkan banyak kawan dekat.
Karier selancar Rio mulai menanjak ketika ia berusia 16 tahun. Penampilannya di sejumlah turnamen selancar di Bali memikat satu perusahaan penyedia peralatan selancar. Dari sana Rio mendapatkan sponsor yang hingga kini terus mendukung kariernya, termasuk membiayai Rio untuk mengikuti turnamen-turnamen selancar di luar negeri.
Walaupun berbeda etnik dan latar belakang, Nurul dan Rio kini disatukan rasa bangga serta patriotisme demi berkibarnya sang Merah Putih di Olimpiade Tokyo....