Kisah Evolusi Giannis Antetokounmpo, Sang Raksasa Yunani
Giannis Antetokounmpo telah berevolusi dari bocah kurang gizi asal Yunani menjadi ”raksasa” paling dominan di NBA saat ini. Kisah evolusi itu diawalinya dari sebuah mimpi.
Seusai menjuarai NBA pertama kali bersama Milwaukee Bucks, Giannis Antetokounmpo (26) sulit membedakan kenyataan dan khayalan. Forward bertubuh kekar ini merasa seperti masih bermimpi. Pemain yang dulu adalah bocah miskin nan kurang gizi itu kini telah menjelma menjadi ”raksasa” juara NBA.
Giannis terduduk di bangku cadangan saat rekan setimnya berpesta di lapangan. Matanya kosong melihat ke arah depan. Air matanya tiba-tiba mengalir. Lalu, dia menutup wajah dengah handuk untuk merenung sejenak.
”Untuk mencapai titik ini adalah sebuah hal yang gila, seperti tidak nyata. Ketika pertama kali datang ke liga (NBA), saya hanyalah seorang yang tidak tahu akan makan atau tidak pada keesokan hari,” kata Giannis seusai mengantar Bucks mengalahkan Phoenix Suns (4-2) dalam seri Final NBA, Rabu (21/7/2021).
Wajar saja Giannis merasa masih bermimpi. Sejak kecil, hanya mimpi yang jadi sandaran hidupnya. Dia tidak punya hal lain karena hanya merupakan anak kedua dari tiga bersaudara dari orangtua asal Nigeria yang menjadi imigran di Yunani. Keluarga itu hidup dalam jerat kemiskinan.
Maka itu, pemain setinggi 2,11 meter ini tampak agak kaget ketika sukses menggapai puncak mimpinya. Dia untuk pertama kali menjuarai NBA sekaligus meraih Most Valuable Player (MVP) final. Dua gelar, tim dan individu, tersebut merupakan capaian paling diburu para pebasket di jagat raya.
Tujuan realistis Giannis pertama kali diambil Bucks pada draft 2013 hanyalah untuk menghidupi keluarga. Tanpa terasa, dia telah melampaui itu. ”Saya tidak pernah menyangka akan mencapainya pada usia 26 tahun. Perjalanan ini sudah sangat jauh dari tujuan untuk membantu keluarga keluar dari kesulitan ekonomi,” ungkapnya.
Malam itu seusai juara, Giannis diperlakukan bagaikan pahlawan perang oleh warga kota Milwaukee. Para pendukung dalam Arena Fiserv Forum berisi 17.431 orang dan di luar arena sekitar 65.000 orang mengelu-elukan namanya. Mereka akhirnya punya alasan untuk berpesta lagi setelah Bucks terakhir kali juara pada setengah abad lalu, 1971.
Bagi tim dari kota yang bukan pusat bola basket seperti Bucks, menjuarai NBA butuh keajaiban. Mereka hanya akan juara ketika punya pemain dengan talenta istimewa dari draft karena tidak bisa mendatangkan pemain megabintang dari tim lain. Pemain itulah yang muncul dalam sosok Kareem Abdul-Jabbar (1971) dan Giannis (sekarang).
”Ini (trofi juara NBA) seharusnya membuat setiap orang, setiap anak, siapa pun di seluruh dunia percaya pada mimpi mereka. Percayalah pada apa yang Anda lakukan dan teruslah bekerja. Jangan biarkan orang lain memberi tahu apa yang bisa dan tidak bisa Anda lakukan,” pungkas Giannis.
Transformasi epik
Giannis saat ini bagaikan sosok manusia berbeda jika dibandingkan dengan pertama kali dikontrak Bucks, delapan tahun lalu. Perbedaan itu seperti melihat transformasi dari tokoh pahlawan super Marvel, yaitu dari sosok manusia (Bruce Banner) menjadi sosok monster (Hulk).
Tubuhnya kurus kering pada 2013. Dia hanya memiliki berat 88,9 kilogram dengan tubuh setinggi 2,08 meter. Badan Giannis saat berumur 18 tahun sangat tidak ideal untuk mengimbangi fisik kekar para pemain NBA.
Kata penulis The Ringer, Mirin Fader, pada malam draft, seluruh klub menyadari sang pemain mengalami malanutrisi. Bucks memilihnya karena percaya pada bakat fisik dan tinggi pemain kelahiran Athena tersebut.
Malanutrisi itu berasal dari kehidupan keras Giannis di Yunani. Dia sering kali tidak sarapan ketika berangkat sekolah. Terkadang, ia juga makan siang sebelum berangkat latihan. Sang ”Raksasa Yunani” berkali-kali baru bisa mengisi perutnya setelah latihan, pukul 23.00.
Itulah masa lalu yang dijalani sang megabintang. Ibunya, Veronica, adalah seorang pengurus bayi. Mendiang ayahnya, Charles, hanya seorang tukang reparasi dari rumah ke rumah. Penghasilan itu tidak cukup untuk menghidupi tiga anak. Alhasil, Giannis dan dua saudaranya juga harus mencari uang dengan berjualan aksesori di jalan.
Beruntung, pada 2007, Giannis bertemu dengan seorang pelatih basket amatir bernama Spiros Velliniatis. Sang pelatih melihat bakat besar dalam sosok 13 tahun tersebut, lalu meminta izin kepada ibunya agar bisa melatih Giannis.
Kemudian, dua saudara Giannis, Thanasis dan Kostas, juga ikut berlatih. Singkat cerita, bakat mereka tercium pemantau bakat NBA. Akhirnya, ketiga bersaudara itu bisa bermain di liga bola basket terbesar dunia, NBA.
Giannis begitu keras berlatih sejak diambil Bucks. Etos kerjanya sangat tinggi sampai dibandingkan dengan level ”kegilaan” pemain legendaris, seperti Kobe Bryant dan Michael Jordan. Para anggota staf pelatih Bucks bahkan sampai terkejut melihat latihan yang tidak mengenal istirahat tersebut.
”Saat awal datang kemari, saya sudah mendengar banyak tentang etos kerjanya saat latihannya. Tetapi, saat saya melihat sendiri, semua berbeda. Latihannya jauh lebih keras dari yang saya bayangkan. Dia benar-benar detail memperbaiki permainannya,” kata asisten pelatih Bucks, Andre Sullivan, yang bergabung pada 2018.
Pemain berdarah Nigeria ini mencapai potensi fisik terbaiknya berkat gizi terpenuhi dan latihan keras, terutama dalam angkat besi. Tubuh Giannis sekarang sangat besar dan penuh otot kekar seperti sosok Hulk. Beratnya naik sekitar 20 kg, yaitu menjadi 109 kg, dengan tubuh setinggi 2,11 meter.
Paling dominan
Tubuh kokoh tersebut membantu Giannis untuk menjadi sosok paling dominan di NBA. Gerakannya tak bisa dibendung oleh pertahanan Suns sepanjang seri final. Dominasi itu ditunjukkan dengan rata-rata sumbangan 35,2 poin, 13,2 rebound, 5 asis, serta akurasi lemparan 61,1 persen.
Sepanjang sejarah final, tidak ada satu pun pemain selain Giannis yang bisa menghasilkan minimal 30 poin, 10 rebound, 5 asis, serta akurasi lemparan 60 persen. Itulah yang menjadi alasan Giannis terpilih sebagai MVP final.
Selain tubuh dan teknik, pebasket yang mengawali karier sebagai point guard ini juga semakin dewasa. Musim ini, dia terlihat mampu menjadi pemimpin utama Bucks. Dia sering sekali memotivasi rekannya ketika momen time out. Sosok ini jarang terlihat pada musim-musim sebelumnya.
Sosok kepemimpinan tersebut juga ditunjukkan dengan pengorbanan besar kepada tim. Giannis memilih bermain sepanjang final meski sempat menderita cedera lutut kiri. Akibat itu, dia harus menjalani perawatan setiap habis laga.
Jon Horst, Manajer Umum Bucks, berkata, Giannis tidak hanya berkembang menjadi sosok hebat dalam lapangan dan kepemimpinan. Sang pemain juga selalu rendah hati dengan segala pencapaiannya. ”Dia tumbuh dalam banyak hal. Saya sangat bangga kepadanya. Berkah besar bagi kami untuk memiliki pemain seperti itu,” katanya.
Tidak hanya itu, pelajaran hidup di jalanan juga menjadikan peraih dua kali MVP musim reguler ini sosok yang setia. Dia memilih menandatangani perpanjangan kontrak bersama Bucks selama lima tahun pada awal musim. Padahal, sang pemain punya banyak pilihan untuk pindah dan mengejar juara di tim-tim besar.
Baca juga : Akhir Penantian Milwaukee Bucks
Giannis telah berevolusi menjadi sosok sempurna, sama seperti portofolio kariernya. Di usia yang masih muda, dia sudah meraih cincin juara, MVP final, MVP musim reguler (dua kali), dan Defensive Player of the Year. Prestasi itu hanya bisa disamai duo legenda hidup NBA, Jordan dan Hakeem Olajuwon.
Giannis bukan lagi bocah kurang gizi tanpa masa depan. Dia sudah melengkapi evolusi sebagai ”raksasa” paling ditakuti di NBA saat ini. Hanya beberapa hal mendasar yang belum berubah darinya, yaitu keberanian bermimpi, kerja keras, dan sifat rendah hati. (AP/AFP)
Giannis Antetokounmpo
Lahir: Athena, Yunani, 6 Desember 1994
Klub: Milwaukee Bucks (2013-sekarang)
Prestasi:
- Juara NBA (2020-2021)
- Most Valuable Player final (2020-2021)
- MVP reguler (2018-2019, 2019-2020)
- Defensive Player of the Year (2019-2020)
- Most Improved Player (2016-2017)
- All Stars (5 kali)