Gelar juara Bucks tidak jatuh dari langit, tidak instan seperti prestasi tim NBA lain beberapa tahun terakhir. Giannis Antetokounmpo dan rekan-rekan sukses melewati proses derita penuh luka selama bertahun-tahun.
Oleh
KELVIN HIANUSA
·4 menit baca
MILWAUKEE, RABU Suasana pesta merasuki Kota Milwaukee setelah penantian 50 tahun mereka terbayar tuntas. Tim basket kebanggaan mereka, Milwaukee Bucks, akhirnya kembali menjuarai NBA setelah mengalahkan Phoenix Suns di final gim keenam dengan skor 105-98, sehingga kedudukan menjadi 4-2.
Sekitar 65.000 warga Milwaukee dari segala umur “menggila” di Deer Districk, area tempat pertandingan Arena Fiserv Forum. Ada yang melompat-lompat, menari, bernyanyi, saling gendong, sampai naik ke tiang lampu.
Pendukung berjumlah 10 persen dari populasi kota ini antusias merayakan dari luar arena karena kehabisan tiket. Di dalam arena, 17.431 tiket terjual habis, meskipun harga tiket untuk menonton berdiri saja mencapai Rp 15,5 juta.
Memori juara pada 1971 yang memudar itu kini menjadi nyata lagi. Salah satunya dirasakan warga Milwaukee, Brian Robinson (49), yang belum lahir saat terakhir kali Bucks juara.
“Ayah saya lahir dan besar di sini. Dia selalu bercerita tentang pengalaman indah pada 1971. Saya bangga kini bisa jadi bagian yang bisa melihat ini terjadi (juara) pada 2021,” kata Robinson.
Terakhir kali berpesta juara, Bucks dipimpin pemain legendaris Kareem Abdul-Jabbar. Kini mereka punya pahlawan baru, Giannis Antetokounmpo (26). Forward asal Yunani tampil heroik di gim keenam, dengan 50 poin, 14 rebound, dan lima blok.
Berkat performa fenomenal dan konsistensi sepanjang seri final, dia dinobatkan sebagai peraih Most Valuable Player (MVP) Final.
“Saya tidak pernah menyangka bisa berada sejauh ini. Saya datang ke negara ini (AS) hanya untuk bermain basket, demi membantu hidup keluarga. Semua ini perjalanan yang sangat jauh dari bayangan saya,” kata Antetokounmpo, yang orangtuanya dari Nigeria, tetapi beremigrasi ke Yunani.
Melawan derita
Antetokounmpo adalah gambaran proses panjang kebangkitan Bucks. Dia pertama kali datang seusai dipilih Bucks pada urutan ke-15 draft 2013. Ketika itu, dia hanya bocah kurus yang pernah menderita malnutrisi dan dianggap tidak bisa bersaing fisik di NBA.
Perlahan Antetokounmpo membentuk tubuh dengan latihan terencana dan makanan bergizi yang tidak didapatkan di Yunani. Waktu telah menjadikannya “raksasa”. Beratnya yang dulu 88,9 kilogram (kg) naik hingga 109 kg. Tubuh pemain 2,11 meter ini penuh otot kekar saat tampil di final.
Proses pengembangan Antetokounmpo seiring dengan grafik Bucks. Tim berlogo Rusa ini memiliki rekor terburuk pada 2013, (15 menang – 67 kalah). Namun, mereka tidak buru-buru merobak skuad. Manajemen klub setia kepada Antetokounmpo dan duet terbaiknya, Khris Middleton, yang datang pada musim sama berstatus pemain “buangan” Detroit Pistons.
Selama sewindu, Bucks selalu gagal. Mereka tidak pernah lolos ke final walaupun punya Antetokounmpo yang berstatus dua kali MVP. Puncaknya pada musim lalu ketika Bucks ditaklukkan Miami Heat (1-4) di semifinal Wilayah Timur.
Bucks divonis tidak akan sukses dengan materi serupa. Antetokounmpo dan Middleton dinilai bukan duet tim juara. Pelatih Mike Budenholzer dikatakan hanya spesialis untuk musim reguler. Mereka tidak diunggulkan juara musim ini.
“Sebagai kesatuan, kami terbiasa dengan kegagalan. Kami melewati banyak situasi sulit musim-musim lalu. Namun, kami berhasil belajar dari itu dengan beberapa wajah baru di awal musim,” ucap Middleton, yang rata-rata menyumbang 24 poin dalam seri final.
Sebagai kesatuan, kami terbiasa dengan kegagalan. Namun, kami berhasil belajar dari itu dengan beberapa wajah baru di awal musim
Musim ini, mereka kian menyatu dan lebih gigih. Contohnya Antetokounmpo yang tetap tampil meski dibayangi cedera lutut kiri sebelum final. Dia bermain eksplosif rata-rata selama 40 menit meskipun harus mendapat perawatan usai gim.
Kegigihan membuat Bucks bangkit setelah tertinggal 0-2, dari Suns dan Brooklyn Nets (semifinal wilayah). Dalam sejarah NBA, hanya lima tim yang bisa bangkit seusai tertinggal pada dua laga awal.
Manajemen lebih aktif pada awal musim. Mereka mendatangkan pemain pelengkap seperti Jrue Holiday, Bobby Portis, dan P.J. Tucker. Semua punya peran penting di final. Usaha manajemen itu digabung dengan Budenholzer yang lebih banyak melakukan penyesuaian taktik di final.
Kesetiaan Antetokounmpo
Proses panjang itu tidak akan terwujud tanpa kesetiaan Antetokounmpo. Sang megabintang memilih bertahan pada awal musim saat kontraknya akan habis. Padahal, banyak pemain mencari gelar juara secara instan dengan berpindah klub.
Antetokounmpo menepati janjinya pada 2014 untuk membawa Bucks juara NBA. “Saya bisa pergi membentuk tim super dan memenangi juara di tempat lain. Namun, saya memilih jalan sulit di sini. Dan, kami berhasil!” kata pemain yang mencetak rerata 35,2 poin dan 13,2 rebound di final itu.
Tak heran jika sang “Raksasa Yunani” sempat menangis dalam tutupan handuk di wajahnya seusai bel penanda akhir gim berbunyi. Dia telah membuktikan dirinya benar di tengah saran banyak pengamat untuk pindah klub. “Sulit mencari kata untuk mendeskripsikan arti Antetokounmpo untuk tim ini,” kata Budenholzer.
Rasa juara ini sangat adiktif. Ini adalah momen yang akan saya kejar selalu.
Perjalanan Antetokounmpo masih sangat panjang. Dia adalah salah satu peraih juara sekaligus MVP Final termuda, 26 tahun. Dia lebih muda saat meraih gelar pertama dibandingkan dua nama paling dikagumi di jagat basket, LeBron James (27) dan Michael Jordan (28).
“Rasa juara ini sangat adiktif. Ini adalah momen yang akan saya kejar selalu. Saya mau kami membangun ulang dari awal musim dan memulai perjalanan lagi. Ini belum berakhir. Kami akan datang lagi untuk juara,” seru Antetokounmpo. (AP/AFP)