Penantian Tiga Dekade Tim Panahan Indonesia
Trio Srikandi panahan telah membuat sejarah dengan memberikan medali pertama Indonesia di Olimpiade pada 1988 silam. Kesuksesan serupa ingin diulangi para pemanah putra dan putri generasi saat ini di Olimpiade Tokyo.
Kebanggaan terbesar pelatih adalah saat anak didiknya mampu berprestasi, melampaui pencapaiannya. Hal itulah yang kini ada di benak pelatih tim panahan Indonesia, Nurfitriyana Saiman. Dia berharap empat pemanah yang mewakili Indonesia di Olimpiade Tokyo 2020, yaitu Riau Ega Agatha Salsabila, Arif Pangestu, Alviyanto Bagas Prastyadi, dan Diananda Choirunisa, bisa melebihi capaian Trio Srikandi panahan Indonesia.
Yana, sapaan akrab Nurfitriyana, merupakan salah satu dari Trio Srikandi yang mempersembahkan medali perak nomor recurve beregu putri di Olimpiade Seoul 1988. Medali itu sekaligus menjadi medali pertama Indonesia di kancah Olimpiade, sejak pertama kali berpartisipasi, yaitu di Helsinki, Finlandia, pada 1952 silam.
Medali dari Trio Srikandi, yang terdiri dari Nurfitriyana, Lilies Handayani, dan Kusuma Wardhani, itu juga menjadi satu-satunya medali kontingen Indonesia di Olimpiade 1988. Medali itu kemudian membuka jalan prestasi tim Indonesia di Olimpiade edisi selanjutnya.
Empat tahun kemudian, pada Olimpiade Barcelona 1992, hadir medali emas pertama Indonesia yang disumbangkan Susy Susanti dan Alan Budikusuma di cabang olahraga bulu tangkis. Tradisi perolehan medali itu terus berlanjut. Hingga kini, kontingen Indonesia tidak pernah absen mendulang medali di setiap edisi Olimpiade.
Baca juga : Progam Latihan Pemanah Disusun Ulang
Ditempa sangat keras
Keberhasilan Trio Srikandi di Seoul tidak lepas dari didikan keras pelatih mereka, almarhum Donald Pandiangan. Yana mengenang Donald sebagai pelatih yang keras dan disiplin. Donald adalah pemanah yang juga pernah mewakili Indonesia di Olimpiade Montreal 1976 dan Olimpiade Los Angeles 1984.
”Dulu, kami ditempa sangat keras. Pemanah di zaman itu mesti punya fisik yang kuat karena peralatan panahannya keras, tidak selentur sekarang. Saat pertama kali ditangani almarhum (Donald Pandiangan), kami bertiga terkejut dengan metode latihan beliau,” kata Yana, Kamis (15/7/2021).
Selain peralatan yang keras, sistem pertandingan panahan dulu berbeda dengan saat ini. Menurut Yana, sistem pertandingan dulu mengharuskan atlet memanah di empat jarak, yaitu 70 meter, 60 m, 50 m, dan 30 m, di babak kualifikasi. Satu sesi memanah di tiap jarak ditetapkan sebanyak 36 anak panah. Maka, seorang pemanah bisa melepaskan 144 anak panah untuk keempat jarak itu.
Sekarang, sistem laga telah berubah, yaitu dari empat jarak menjadi hanya satu jarak 70 m. Pemanah diberikan kesempatan memanah sebanyak dua sesi dengan masing-masing 36 anak panah untuk tiap sesinya. Jadi, total 72 anak panah. Dari sana, diperoleh poin pemanah dan diurutkan berdasarkan peringkat mereka. Dari urutan peringkat itu, para pemanah akan berduel satu lawan satu.
Sistem pertandingan panahan dulu yang sangat panjang membuat metode melatih Donald seolah tidak kenal ampun. Yana menggambarkan latihan mereka bertiga di Sukabumi, Jawa Barat, mirip latihan para penekun shaolin. Setiap hari, ketiganya digembleng latihan fisik yang sangat berat.
Di atas drum
Mereka diinstruksikan membawa air dengan ember dan menuangkannya ke tempat penampungan. Jalan yang dilalui menuju penampungan air juga berliku dan terjal. Lalu, untuk melatih keseimbangan ketika membidik sasaran, Yana dan rekan-rekannya diminta berlatih memanah di atas drum.
Selain itu, mereka juga harus berlari mengitari lapangan atau kebun-kebun teh untuk menempa fisik. Yana mengaku sampai menderita kelelahan yang luar biasa ketika menjalani metode latihan seperti itu.
”Rasanya kami seperti terkena serangan jantung begitu melihat coach Donald datang. Belum pernah saya dilatih sekeras itu oleh pelatih-pelatih saya terdahulu,” ujar Yana.
Baca juga : Misi Mengulang Memori Manis Olimpiade 1988
Namun, Yana paham mengapa Donald bersikap keras. Dalam sejumlah kesempatan, Donald menyampaikan keinginannya menyumbangkan medali untuk Indonesia di Olimpiade ketika masih aktif sebagai atlet panahan.
Keinginan itu belum sempat terpenuhi. Donald tidak berhasil di dua edisi Olimpiade yang ia ikuti. Maka, Donald sangat berharap Trio Srikandi bisa mewujudkan impiannya.
Di samping menggenjot fisik dan teknik ketiganya, Donald juga membawa Trio Srikandi mengikuti sejumlah kejuaraan di Eropa sebelum berlaga di Olimpiade Seoul. Di Eropa, mereka bertarung melawan pemanah-pemanah kelas dunia yang juga akan turun di Olimpiade.
Latihan keras yang mereka jalani membuahkan hasil. Indonesia mendapat ranking usai mengikuti sejumlah kejuaraan di Eropa. Perolehan ranking itu membuat Yana, Lilies, dan Kusuma Wardhani, lebih percaya diri menyambut Olimpiade.
Mimpi Donald meraih medali Olimpiade pada akhirnya berhasil diwujudkan anak-anak didiknya pada tanggal 1 Oktober 1988 di lapangan panahan Hwarang, Korea Selatan. Tim panahan Indonesia meraih medali perak dengan skor 952. Adapun medali emas diraih Korsel.
Memori manis itu ingin diulangi Yana di Olimpiade Tokyo. Ia berharap tim panahan Indonesia kembali membuka jalan perolehan medali atlet-atlet Indonesia lainnya. Indonesia akan tampil di nomor recurve individu putra dan putri, recurve beregu putra, dan recurve beregu campuran.
Setelah Trio Srikandi pada 1988, belum ada lagi pemanah Indonesia yang bisa meraih medali Olimpiade. Riau Ega misalnya, terhenti di babak 16 besar Olimpiade Rio de Janeiro pada 2016 silam.
Pelatih lainnya tim panahan Indonesia, Permadi Sandra Wibowo, menuturkan, persiapan tim panahan Indonesia jelang Olimpiade sedikit terganggu dengan minimnya uji coba dan kesempatan mengikuti kejuaraan di luar negeri akibat pandemi Covid-19. Permadi menyebut masalah serupa juga dialami negara-negara pesaing. Maka, ia beranggapan semua pemanah di dunia memiliki kans yang sama untuk meraih medali.
Turnamen internasional terakhir yang diikuti tim panahan Indonesia adalah Piala Dunia Panahan di Paris, Perancis, pada pertengahan Juni 2021. Di sana, Indonesia merebut tiket Olimpiade Tokyo recurve beregu putra setelah meraih final versus Amerika Serikat. Pada babak kualifikasi, tim putra Indonesia, yang diperkuat Riau Ega, Alviyanto, dan Arif, menempati ranking ke-6 dari 24 negara.
Capaian itu menjadi senjata Permadi memompa mental serta semangat juang anak asuhnya. Dalam setiap kesempatan, ia selalu mengulang-ulang kalimat bahwa pemanah Indonesia tidak tertinggal jauh dan mampu berbicara banyak di pentas internasional.
”Di Perancis, saat istirahat jelang final, tim kita didatangi pelatih panahan AS. Dia memuji dua pemanah putra kita (Alviyanto dan Arif) yang masih yunior dan minim pengalaman internasional, tapi bisa menembus babak final,” kata Permadi.
Menyiasati minimnya uji coba dan pengalaman mengikuti kejuaraan, Permadi dan tim pelatih membuat suasana pelatnas semirip mungkin dengan saat laga resmi. Dalam setiap sesi latihan, tim pelatih membuat simulasi laga dengan diiringi musik keras. Suasana itu, menurut Permadi, sangat mirip seperti laga internasional.
Menutup diri
Untuk sementara, menjelang keberangkatan ke Tokyo, para pemanah memilih menutup diri dari dunia luar, termasuk media. Permadi berkata, mereka ingin lebih fokus dan berkonsentrasi jelang Olimpiade.
Menjaga fokus dan konsentrasi sangat vital bagi pemanah. Menurut Yana, Donald dulu juga menyadari hal itu. Maka itu, Donald memilih Sukabumi sebagai lokasi pelatnas jelang berlaga di Seoul. Di sana, para atlet hanya fokus berlatih tanpa terganggu hal-hal lainnya
Para pemanah saat ini pun dituntut menjalani latihan serius dan bertanggung jawab. Untuk mengusir rasa bosan selama menjalani karantina di pelatnas, biasanya para pemanah mengisi waktu akhir pekan dengan bermain gim daring. Pergerakan mereka sangat dibatasi agar tidak terjangkit Covid-19.
Baca juga : Mental dan Ketenangan Kunci Bersaing di Olimpiade Tokyo
Perebutan medali panahan akan dimulai pada 24 Juli dengan nomor beregu campuran yang memadukan Riau Ega dan Diananda. Mereka akan menjadi ujung anak panah tim ”Merah Putih” untuk membuka perolehan medali di Tokyo.
Bagi para pemanah, medali di Tokyo akan mengakhiri penantian tiga dekade. Setelah Trio Srikandi pada 1988, belum ada lagi pemanah Indonesia yang bisa meraih medali Olimpiade. Riau Ega misalnya, terhenti di babak 16 besar Olimpiade Rio de Janeiro pada 2016 silam.
Namun, peluang mereka meraih medali masih terbuka meskipun lawan-lawannya sangat kuat, terutama Korsel. Riau Ega memiliki potensi itu dengan meraih medali perunggu recurve individu putra di Asian Games 2018 setelah melawan dua atlet Korsel, Kim Woo-jin dan Lee Woo-seok yang masing-masing meraih emas dan perak.
Setali tiang uang, Diananda menunjukan potensi besarnya dengan meraih perak recurve individu putri di Asian Games 2018. Dia mengalahkan pemanah elite Korsel, Kang Chae-young, yang meraih perunggu. Medali emas diraih pemanah kejutan China, Zhang Xinyang.
Pada Olimpiade Tokyo, Kang menjadi salah satu favorit peraih emas individu putri. Performa dia membaik pada 2019 dengan raihan tiga medali emas kejuaraan Asia 2019 di kategori individu, beregu putri, dan beregu campuran. Pemanah berusia 25 tahun itu juga meraih medali emas individu dalam Piala Dunia 2019 di Moskwa.
Korea Selatan merupakan raja dan ratu panahan. Di nomor beregu putri, delapan medali emas sejak Seoul 1988 diborong mereka. Di Tokyo, mereka akan memburu medali emas kesembilan pada nomor itu.
Namun, tim panahan Indonesia tidak akan gentar...(ANG)