Dicoret dari pelatnas adalah mimpi buruk bagi atlet, apalagi karena indisipliner, seperti dialami lifter kelas 67 kilogram, Deni. Namun, Deni ternyata lolos ke Olimpiade Tokyo dan bertekad bangkit dari pengasingan.
Oleh
ADRIAN FAJRIANSYAH dan Agung Setyahadi
·4 menit baca
Deni bak mendapat durian runtuh saat Federasi Angkat Besi Internasional (IWF) pada Juni lalu mengumumkan ia lolos ke Olimpiade Tokyo. Padahal, peluang lifter kelas 67 kilogram itu tampil di Olimpiade ketiganya sempat pupus menyusul pencoretan namanya dari pemusatan latihan nasional angkat besi pada Maret 2020. Deni pun menjadikan peluang tampil di Tokyo sebagai pembuktian, dirinya serius mengoreksi diri dan masih layak mewakili ”Merah Putih”.
Surat keputusan Pengurus Besar Perkumpulan Angkat Besi Seluruh Indonesia (PABSI) pada 5 Maret 2020 menegaskan status eksil (pengasingan) lifter kelas 67 kilogram itu. PB PABSI menilai, Deni perlu dibina pengurus daerah asalnya, terutama mengenai kedisiplinan dan etika kesopanan. Maka, Deni sempat mengalihkan fokus dari Olimpiade ke PON Papua. Dia melanjutkan latihan mandiri, lalu bergabung dengan lifter kelas 61 kg, Eko Yuli Irawan, yang berlatih di luar pelatnas mulai Mei 2020.
”Yang lalu biarlah berlalu. Saya berusaha mengambil kesempatan ini sebaik mungkin. Saya ingin membuang semua kebiasaan buruk, mulai dari pola makan, waktu istirahat, sampai jadwal latihan. Saya mengoreksi diri,” ujar Deni yang mengaku sempat terpuruk karena diasingkan dari pelatnas.
Untuk itu, bagi lifter asal Bogor, Jawa Barat, ini, Olimpiade Tokyo adalah berkah untuk menunjukan dirinya berkomitmen memperbaiki diri dan membuktikan masih layak menjadi atlet nasional yang pantas dikirim ke pentas internasional.
Mengenai target, Deni menyadari persaingan di kelasnya amat berat, apalagi dia lolos ke Tokyo bukan karena berada di peringkat delapan besar dunia yang menjadi syarat kualifikasi. Deni lolos setelah peringkat dunianya terdongkrak karena ada aturan setiap negara hanya bisa mengirim satu lifter untuk setiap kelas. Dengan angkatan terbaik 315 kg, maka Deni hanya dipatok masuk lima besar di Tokyo. Sebagai perbandingan, atlet China, Chen Lijun, memiliki total angkatan terbaik sebesar 337 kg. Ia difavoritkan meraih medali emas.
Maka, tantangannya sangat berat meraih medali di Tokyo. Minimnya kejuaraan akibat pandemi Covid-19 juga membuat kekuatan para lawan menjadi sulit dipetakan. Namun, kendala itu bisa menjadi kans. Tanpa kejuaraan rutin, performa atlet akan sangat dipengaruhi kekuatan mental merawat motivasi.
”Angkat besi kan olahraga individu. Hal paling utama adalah fokus memotivasi diri saat latihan maupun pertandingan,” ujar Eko Yuli yang sejak 2020 berlatih mandiri di luar pelatnas.
Sejak tahun lalu, Eko meminta dilatih kembali oleh Lukman yang sudah dianggap sebagai ayah karena telah membimbing dirinya sejak usia 11 tahun. Mereka sempat berpisah pada 2014 karena Lukman mengundurkan diri dari pelatnas dan berkelana melatih negara-negara lain di Asia Tenggara.
”Hubungan saya dan Pak Lukman seperti anak dan ayah. Selain pernah mendampingi saya meraih perunggu kelas 56 kg di Olimpiade Beijing 2008 dan perunggu 62 kg Olimpiade London 2012, ia jeli melihat kekurangan saya. Pelatih lainnya umumnya melihat performa saya sudah baik. Padahal, masih banyak yang perlu dibenahi dari saya,” ungkap Eko.
Namun, permintaan itu tidak dikabulkan PB PABSI karena alasan anggaran dan aturan kesepakatan (MoU) dana bantuan pelatnas dari Kementerian Pemuda dan Olahraga. Solusinya, Eko berlatih mandiri bersama Lukman yang dibiayai Komite Olimpiade Indonesia di Empire Fit Club sejak 8 Mei 2021. Deni lalu bergabung dengan Eko di pusat kebugaran itu.
Lukman pun menilai, perkembangan Eko dan Deni sangatlah bagus. Pelatih asal Lampung itu meyakini kedua atlet bisa melampaui rekor terbaik masing-masing di Olimpiade Tokyo nanti.
Empire Fit Club adalah pusat kebugaran umum di Senayan, Jakarta. Maka, Eko dan Deni sering berlatih pukul 10.00-12.00, saat tempat itu sepi dari pengunjung umum.. Sebagai penanda dan penyemangat, pengelola klub memasang poster bendera Merah-Putih berukuran 90 x 60 sentimeter di dinding.
Saat Eko dan Deni berlatih, suasana begitu sunyi. Hanyalah terdengar suara musik dan sesekali teriakan kedua atlet ketika mengangkat dan melepaskan barbel. Instruksi Lukman sesekali terdengar bersahutan dengan dentuman barbel di lantai. Situasi itu bertolak belakang saat Eko dan Deni berada dalam pelatnas di Mess Marinir Kwini, Jakarta. Di sana, ada belasan atlet dan pelatih yang memeriahkan suasana pelatnas.
Namun, ambisi Eko dan Deni yang besar telah ”membunuh” kesunyian Empire Fit Club. Lagi pula, keduanya sudah terbiasa berlatih mandiri. Di lokasi latihan yang sunyi itu, mereka terus memperbaiki total angkatannya masing-masing.
Lukman pun menilai, perkembangan Eko dan Deni sangatlah bagus. Pelatih asal Lampung itu meyakini kedua atlet bisa melampaui rekor terbaik masing-masing di Olimpiade Tokyo nanti, yakni Eko menembus 320 kg dan Deni mencapai 318 kg. Olimpiade nanti, yakni Eko menembus 320 kg dan Deni mencapai 318 kg.
Menurut Lukman, secara teknik, Eko sudah sangat matang. Praktis, cuma beberapa hal minor yang perlu dibenahi, seperti genggaman tangan tidak boleh terlalu keras atau tegang pada gerakan tarikan pertama. Adapun untuk Deni, masih banyak teknik yang harus diperbaiki karena selama ini ia lebih banyak mengandalkan kekuatan fisik, seperti panggul yang tidak naik optimal pada gerakan tarikan kedua.