Laga final Piala Eropa 2020 mengubah wajah ibu kota Inggris dan Italia. Kegembiraan menyelimuti Roma, sementara kericuhan melanda London.
Oleh
I GUSTI AGUNG BAGUS ANGGA PUTRA
·3 menit baca
Selang beberapa jam seusai final Piala Eropa 2020 antara Inggris dan Italia, wajah ibu kota kedua negara tersebut berubah. Rasa suka cita menyelimuti Roma, sedangkan kesedihan dengan diwarnai kerusuhan pecah di London.
Kapten Italia, Giorgio Chiellini, mengangkat tinggi-tinggi trofi Henri Delaunay begitu rombongan tim mendarat di Bandara Leonardo Da Vinci, Roma, Italia, Senin (12/7/2021). Mereka tiba di Roma, beberapa jam setelah merebut trofi Piala Eropa di London dengan mengalahkan tuan rumah Inggris lewat babak adu penalti.
Selain Chiellini, pemain Italia lainnya yang tengah cedera, Leonardo Spinazzola, juga terlihat tersenyum lebar. Ia berjalan tertatih-tatih sembari bertumpu pada dua tongkat penyangga. Awak media dan petugas bandara bersorak-sorai menyambut mereka bak pahlawan.
Perdana Menteri Italia Mario Draghi juga tampak mengantre untuk berswafoto dengan para pemain ”Gli Azzurri”. Lalu, saat skuad Azzurri bersiap keluar dari lorong untuk menuju hotel, seorang anak laki-laki berkaos biru berteriak lantang, ”Kami adalah juara Eropa!".
Penduduk Italia diliputi rasa suka cita tidak terkira saat itu. Bagi Italia, trofi Piala Eropa bukan hanya kebangkitan baru bagi tim nasional mereka yang diisi banyak pemain muda. Trofi Henri Delaunay sekaligus juga menjadi penghibur lara dan api harapan bagi penduduk Italia yang tengah berjuang kembali menggapai kehidupan normal di tengah pandemi Covid-19.
Italia belum terkalahkan dalam 34 laga internasional sejak 2018 atau setelah ditangani Mancini. Italia kini kian mendekati rekor Spanyol yang mencatatkan 35 pertandingan tanpa kekalahan.
Di jalan-jalan utama di Kota Roma, hiruk-pikuk akibat suara klakson mobil terdengar jelas. Kembang api pun menyala di berbagai penjuru, menghiasi langit malam. Ribuan orang turun ke jalan merayakannya.
”Bagi saya, kemenangan ini sangat bagus untuk penyemangat setelah semua penderitaan yang ditimbulkan Covid-19,” kata Daniela Righino, warga Italia yang datang dari Uruguay, untuk merasakan atmosfer Piala Eropa dan suka cita di Roma.
Keberhasilan Italia di Piala Eropa 2020 menjadi penebus sakit hati publik Italia seusai mereka dipermalukan pada 2017 silam, yaitu gagal lolos ke Piala Dunia 2018 di Rusia. Dalam waktu tiga tahun, Gli Azzurri kini kembali menunjukkan jati diri mereka sebenarnya dengan meraih trofi Piala Eropa pertamanya setelah 1968 silam.
Lebih dari itu, mereka belum terkalahkan dalam 34 laga internasional sejak 2018 atau setelah ditangani Mancini. Italia pun kini kian mendekati rekor Spanyol yang mencatatkan 35 pertandingan tanpa kekalahan pada periode 2007-2009.
"Ini benar-benar memuaskan, perasaan yang luar biasa. Saya yakin kami akan berhasil dalam adu penalti karena kami memiliki penjaga gawang yang hebat,” kata Mario Castellini, manajer sebuah bar di pusat Roma.
London kacau
Sementara itu, suasana 180 derajat terjadi di London, Inggris. Kekalahan Inggris dari Italia memicu pecahnya kericuhan yang dilakukan oleh pendukung Inggris. Polisi berupaya meredam kekacauan di London Piccadilly Circus dan Leicester Square. Sedikitnya 45 perusuh yang mengamuk ditangkap.
Tak lama setelah Inggris kalah di final, sejumlah suporter Inggris melempari botol-botol minuman ketika meninggalkan Stadion Wembley. Di Trafalgar Square, London, suporter Inggris mengamuk dengan merusak pagar, menghancurkan botol, menjungkirbalikkan tempat sampah, dan saling berkelahi.
Mereka kecewa, penantian 55 tahun akan gelar juara masih harus berlanjut. Tiga pemain muda Inggris, Marcus Rashford, Jadon Sancho, dan Bukayo Saka, menjadi sasaran kemarahan pendukung Inggris setelah gagal mengeksekusi penalti.
”Tim Inggris ini pantas dipuji sebagai pahlawan, bukan justru dilecehkan rasialis di media sosial. Mereka yang melecehkan itu seharusnya malu," ungkap Perdana Menteri Inggris Boris Johnson lewat media sosial.