Sang Maestro Orkestra Italia
Roberto Mancini lebih mirip konduktor dari kelompok orkestra ternama dibandingkan dengan seorang pelatih sepak bola. Dia mampu menyatukan hati seluruh pasukannya untuk memainkan irama terindah.
Roberto Mancini larut dalam rasa bahagia sekaligus haru. Pria paling maskulin dengan setelan kemeja dan dasi di Stadion Wembley pada malam itu, tak sanggup menahan emosinya seusai Italia juara Piala Eropa. Air mata sang pelatih tiba-tiba jatuh membasahi pipi.
Mancini memeluk semua anggota tim yang terlihat di depan matanya. Setelah berpelukan dengan para staf pelatih, dia memeluk erat gelandang Jorginho, dan mengguncang-guncang badan pemainnya. Mancini, seperti seluruh warga Italia, tidak menyangka bisa berada di titik ini.
“Ini seperti hal yang mustahil. Saya kehabisan kata-kata,” ucap pelatih berusia 56 tahun tersebut seusai Italia menjuarai Piala Eropa 2020 lewat kemenangan atas Inggris dalam adu penalti di Stadion Wembley, pada Senin (12/7/2020) dini hari WIB.
Baca juga: Memori Indah Italia Terulang di Wembley
Pelatih berkarisma ini telah menciptakan keajaiban yang tidak pernah dibayangkan publik Italia ataupun skuad “Gli Azzurri”. Surat kabar asal Italia La Gazzetta dello Sport menjadi saksi bisu sebuah keajaiban tersebut.
Tiga tahun lalu, mereka mengeluarkan berita halaman utama berjudul “Kiamat”, setelah Italia gagal lolos ke Piala Dunia Rusia 2018. Mereka menuliskan, pelatih timnas selanjutnya akan membangun tim dari puing-puing yang tidak bernilai lagi akibat kegagalan terburuk sejak 1958 itu.
Kemarin, surat kabar itu lalu tampil dengan judul “Terlalu Indah”. Mereka takjub dengan dongeng indah yang diciptakan Mancini. Sang pelatih sukses menjadikan puing-puing tersebut bangunan kokoh nan indah di Stadion Wembley.
Italia menjuarai Piala Eropa, setelah terakhir kali pada 1968, dengan rekor tidak terkalahkan selama 34 laga. Dengan prestasi ini, Mancini telah mengembalikan martabat “Negeri Pizza” sebagai salah satu kiblat sepak bola dunia.
Baca juga: Jalan Klasik Italia Menuju Decimo
“Anak-anak sangat luar biasa. Mereka bisa melewati fase yang sulit setelah tertinggal. Dan pada akhirnya kami mendominasi, sebelum menang lewat adu penalti. Mereka adalah kelompok yang memesona. Kami turut bangga untuk warga Italia,” tambah sang pelatih.
Giorgio Chiellini, kapten “Gli Azzurri”, tidak pernah mengira ucapan Mancini berubah jadi kenyataan. Sang pelatih pernah berkata, timnya akan menjadi juara Eropa ketika awal menukangi tim pada 2018. Chiellini menganggap Mancini sedang mimpi pada siang bolong.
“Di ruang ganti, Mancini juga selalu berkata kami sudah satu sentimeter lebih dekat (untuk juara). Tanpa terasa kami sudah sampai di titik itu. Ini adalah sejarah. Mimpi yang menjadi kenyataan. Kami bisa merasakan magis di udara,” kata bek tengah kawakan berusia 36 tahun itu.
Itulah sosok Mancini. Sejak dilahirkan, dia memang seolah-olah datang sebagai pembawa keajaiban. Ketika baru lahir, dokter sempat mengatakan dia sudah meninggal akibat saluran napas yang tertutup. Bayi itu kemudian kembali hidup tidak lama setelahnya.
Orkestra indah
“Ole Ole Ole… Spina.. Spina…,” nyanyi Chiellini dan rekan-rekan setelah seremoni juara. Mereka mempersembahkan nyanyian itu untuk Leonardo Spinazzola yang tidak bisa tampil sejak semifinal akibat cedera.
Anak-anak sangat luar biasa. Mereka bisa melewati fase yang sulit setelah tertinggal. Dan pada akhirnya kami mendominasi, sebelum menang lewat adu penalti. Mereka adalah kelompok yang memesona. Kami turut bangga untuk warga Italia.
Nyanyian tersebut adalah penanda kebersamaan yang melekat antara seluruh anggota tim. Bagi mereka, semua pemain ataupun staf pelatih punya andil dalam perjuangan dan kemenangan tersebut.
Mancini adalah otak utama di balik prinsip kebersamaan tersebut. Dia ingin tim ini menyatu padu bagaikan sebuah kelompok orkestra terbaik di dunia. Pelatih yang juga mantan pemain timnas Italia ini percaya, keharmonisan akan berbuah pada kemenangan.
Rasa bersama tim muncul lewat kepercayaan besar sang pelatih. Mancini telah memainkan 22 dari 23 pemain Italia sepanjang turnamen. Dia bahkan sempat memainkan kiper cadangan Salvatore Sirigu, meski hanya satu menit tersisa di waktu normal.
Bagi Mancini, semua pemain yang dipanggil punya kapasitas untuk membela negaranya. Dia tidak ingin para pemain tersebut pulang tanpa menit bermain, seperti pengalamannya ketika membela Italia di Piala Dunia 1990.
Baca juga: Senjata Jitu dari Bangku Cadangan
“Semuanya punya kesempatan tampil. Karena itu, semua pemain selalu siap tampil kapan saja ketika dibutuhkan pelatih. Siapa pun yang bermain, kami akan bertarung habis-habisan,” ucap penyerang andalan Italia yang memulai turnamen sebagai cadangan, Federico Chiesa.
Pelatih segudang pengalaman ini juga membangun pondasi kebersamaan di antara staf pelatih. Barisan staf Italia dipenuhi oleh mantan rekannya di Sampdoria, klub yang pernah dibela selama 15 tahun (1982-1997).
Salah satu di antaranya adalah sahabat sekaligus duetnya di lini depan pada masa lalu, Gianluca Vialli. Dia merekrut Vialli sebagai koordinator tim pada akhir 2019 ketika sang sahabat sedang menjalani pemulihan untuk melawan kanker pankreas.
Vialli begitu bahagia dengan kesempatan itu. Dia merasa kembali muda karena bisa bekerja bersama Mancini. Vialli kemudian mengalahkan kanker tersebut pada tahun lalu. “Dia adalah pahlawan bagi saya,” ucap Vialli.
Baca juga: Persahabatan Kekal di Balik Dua Finalis
Setelah kebersamaan tercipta, Mancini mengerjakan tugas terakhirnya. Mantan pemain “Penyerang Klasik 10” berteknik tinggi ini mengubah gaya permainan tim. Dia menjadikan “Gli Azzurri” sangat menghibur lewat formasi menyerang 4-3-3.
Penguasaan bola dan menekan pertahanan lawan jadi ciri khas baru Italia. Tidak ada lagi permainan membosankan bertahan ala catenaccio. Mancini memberikan suguhan ibarat keindahan musik orkestra. “Kami ingin publik menikmati (permainan) dan bersenang-senang,” kata Mancini.
Mantan pelatih kawakan timnas Italia Arrigo Sacchi saja sampai terkejut. Dia tidak pernah melihat skuad “Gli Azzurri” bermain seindah kali ini. “Mancini luar biasa dengan permainan modern. Italia tidak akan pernah seperti ini tanpanya,” ucap pelatih yang pernah menukangi Roberto Baggio di Piala Dunia 1994 itu.
Sepanjang turnamen, Mancini sukses berperan bak konduktor kelompok okrestra ternama. Dia bisa mengubah irama permainan tim sesuai kebutuhan tim di setiap laga.
Misalnya, mereka bermain cepat dan agresif menyerang balik ketika bertemu Spanyol di semifinal. Ketika menghadapi Inggris di final, Mancini meminta anak asuhnya lebih sabar. Mereka pun tampil dengan irama lambat lewat umpan-umpan pendek yang dimotori dua gelandang, Jorginho dan Marco Verratti.
Puncaknya, kepemimpinan sang konduktor bersinar sebelum momen adu penalti. Mancini memimpin lingkaran yang dibentuk para pemain. Dia dengan tenang menunjuk eksekutor penalti sambil memotivasi tim. Cara sang pelatih terbukti sukses menyatukan hati dan menguatkan mental pemain.
Baca juga: Euforia Suporter Gli Azzuri
Mancini telah membuktikan dirinya sebagai harta berharga publik Italia. Dia membalas kegagalan mengantar “Gli Azzurri” juara ketika masih bermain. Snag pelatih juga membuktikan kariernya sebagai pelatih belum habis setelah dipecat Manchester City pada 2013.
Mantan pelatih Inter Milan ini sekarang bergabung dengan nama-nama pelatih legendaris yang mebawa Italia berjaya seperti Vittorio Pozzo, Ferruccio Valcareggi, Enzo Bearzot, dan Marcello Lippi.
Fenomena Mancini seakan membuktikan kembali sebuah teori lama. Bahwa, tidak ada yang lebih indah daripada pelangi setelah badai besar. Mancini adalah simbol pelangi itu. Sang konduktor yang telah menjadi primadona baru bagi warga Italia. (AP/AFP)
Biodata
Nama: Roberto Mancini
Tempat/ tanggal lahir: Jesi, Italia/ 27 November 1964
- Jabatan: Pelatih
Italia (2018-sekarang)
Zenit St Petersburg (2017-2018)
Inter (2014-2016)
Galatasaray (2013-2014)
Manchester City (2009-2013)
- Prestasi:
Juara Piala Eropa 2020
Juara Liga Inggris (1 kali)
Juara Liga Italia (3 kali)
Juara Piala FA (1 kali)