Kekalahan selalu beriringan dengan rasa kecewa, marah, dan sedih. Namun, publik Inggris tidak punya alasan untuk hal tersebut. Mereka dinanti masa depan cerah dengan tim berbakat saat ini.
Oleh
KELVIN HIANUSA
·3 menit baca
AFP/POOL/FACUNDO ARRIZABALAGA
Pemain timnas Inggris Jadon Sancho (kanan) gagal mencetak gol setelah tendangannya pada adu penalty ditahan kiper Italia Gianluigi Donnarumma (kiri), dalam laga final Piala Eropa di Stadion Wembley, London, pada Senin (12/7/2021) dini hari WIB. Pada laga itu, Italia mengalahkan Inggris melalui adu penalti dengan skor 3-2, setelah imbang 1-1 selama 120 menit.
Ada tiga hal yang pasti di dalam kehidupan, kata bapak bangsa Amerika Serikat, Benjamin Franklin. Yaitu, hidup itu sendiri, kematian, dan pajak. Sama seperti hal-hal absolut ini, begitu juga nasib tim nasional Inggris ketika menghadapi adu penalti dalam perjalanan juara di turnamen besar.
Atmosfer kekecewaan kembali menutupi Stadion Wembley, pada Senin (12/7/2021) dini hari WIB. Kisah klasik dari masa lalu lagi-lagi terulang. Inggris kalah dalam adu penalti, kali ini dari Italia di final Piala Eropa 2020.
Tim “Tiga Singa” menelan pil pahit karena kegagalan tiga algojo terakhir, Marcus Rashford, Jadon Sancho, dan Bukayo Saka. Tendangan remaja 19 tahun, Saka, menjadi penutup kisah pahit Inggris yang hasilnya bahkan sudah terbaca sebelum drama penalti mulai.
Jelang penalti, pelatih Inggris Gareth Southgate terlihat begitu tegang. Rambutnya yang biasa tertata rapi, tampak acak-acakan. Di sekelilingnya, wajah para pemain juga penuh ketakutan.
AFP/POOL/LAURENCE GRIFFITHS
Pelatih timnas Inggris Gareth Southgate (kiri) berdiri di samping pemain Jadon Sancho (tengah) dan Marcus Rashford pada laga final Piala Eropa di Stadion Wembley, London, pada Senin (12/7/2021) dini hari WIB. Pada laga itu, Italia mengalahkan Inggris melalui adu penalti dengan skor 3-2, setelah imbang 1-1 selama 120 menit.
Mereka semua sadar. Adu penalti adalah mimpi terburuk Inggris. Penyebab hadirnya puasa gelar mereka selama 55 tahun terakhir. Termasuk, yang menjadikan Southgate pria paling berdosa se-Inggris, ketika gagal mengeksekusi penalti di semifinal Piala Eropa 1996.
Kenangan buruk itu terbukti. Inggris lagi-lagi kalah dalam penalti. Mereka total kalah tiga kali dalam adu tos-tosan partai final maupun semifinal. Penantian panjang dua generasi terhadap “Football’s Coming Home” kembali berlanjut.
Kesedihan publik Inggris tidak perlu digambarkan oleh kata-kata. Wajah kaku dan murung keluarga istana, Pangeran Williams, serta istri dan anaknya, di tribun Wembley, bisa menceritakan derita seluruh warga.
Tangis histeris
Wajar Inggris bersedih. Namun, tidak perlu berlebihan apalagi sampai menghujani serangan rasial kepada algojo yang gagal, seperti yang sudah terjadi seusai laga di media sosial. Penalti sejatinya hanyalah seperti permainan lotre. Inggris memang mungkin belum beruntung.
AFP/POOL/FACUNDO ARRIZABALAGA
Pemain timnas Inggris Marcus Rashford meninggalkan lapangan usai laga final Piala Eropa di Stadion Wembley, London, pada Senin (12/7/2021) dini hari WIB. Pada laga itu, Italia mengalahkan Inggris melalui adu penalti dengan skor 3-2, setelah imbang 1-1 selama 120 menit.
Seperti dikatakan penyerang legendaris Italia Roberto Baggio, hanya pemain-pemain berani yang tidak takut gagal dalam adu penalti. Pemain yang tidak bermental bahkan tidak akan mau mengambil risiko sebagai eksekutor.
Kisah Baggio yang gagal penalti di final Piala Dunia 1994, tidak berbeda dibandingkan para pemain Inggris. Rashford, Sancho, dan Saka, adalah pemuda pemberani yang menaruh tanggung jawab besar tim di pundaknya.
Dengan keberanian pada usia muda, seharusnya hal ini menjadi optimisme bagi publik Inggris. Mereka punya pemain yang bersinar pada masa mendatang. Mengingat, tahun depan akan berlangsung Piala Dunia Qatar 2022.
Beberapa pemain muda masih akan mencapai puncak dalam 2-4 tahun lagi. Kami punya pemain berusia 18, 19, dan 20 tahun. Mereka akan jauh lebih baik ke depannya, untuk mencatat sejarah baru
“Beberapa pemain muda masih akan mencapai puncak dalam 2-4 tahun lagi. Kami punya pemain berusia 18, 19, dan 20 tahun. Mereka akan jauh lebih baik ke depannya, untuk mencatat sejarah baru,” kata Southgate.
AP/PA/NICK POTTS
Pemain timnas Inggris Bukayo Saka gagal mencetak gol pada adu penalti, dalam laga final Piala Eropa di Stadion Wembley, London, pada Senin (12/7/2021) dini hari WIB. Pada laga itu, Italia mengalahkan Inggris melalui adu penalti dengan skor 3-2, setelah imbang 1-1 selama 120 menit.
Kemarahan pendukung sama sekali tidak berdasar. Jika dilihat dari jauh, Inggris sudah melampaui target yang dibebankan. Tim asuhan Southgate berhasil melewati berbagai kutukan. Mulai dari mengalahkan sang rival abadi Jerman, hingga lolos ke final pertama kali di turnamen besar sejak 1966.
Kembali ke 2013, mantan ketua Asosiasi Sepak Bola Inggris (FA) Gren Dyke punya target panjang untuk “Tiga Singa”. Misinya, Inggris masuk semifinal Piala Eropa 2020 dan juara pada Piala Dunia 2022. Langkah itu akan dicapai dengan pembinaan pemain muda berjenjang.
Lebih dari setengah target itu telah tercapai. Inggris bisa mencapai final di gelaran ini. Tim ini nyaris sama dengan yang mencapai semifinal pada gelaran Piala Dunia Rusia, tiga tahun lalu.
“Tiga Singa” dengan usia rata-rata 25,2 tahun, termuda kedua di turnamen, punya potensi besar di ajang besar berikutnya. “Strukturnya sudah tepat. Mereka punya pelatih brilian dan pemain hebat. Saya pikir kami punya kans besar menang di Qatar,” ucap Dyke.
AP PHOTO/FRANK AUGSTEIN
Pemain timnas Inggris Luke Shaw (kedua dari kanan) mencetak gol ke gawang Italia yang dijaga kiper Gianluigi Donnarumma pada laga final Piala Eropa di Stadion Wembley, London, pada Senin (12/7/2021) dini hari WIB. Pada laga itu, Italia mengalahkan Inggris melalui adu penalti dengan skor 3-2, setelah imbang 1-1 selama 120 menit.
Tangis skuad Inggris hari ini, hanya akan menguatkan mereka pada esok hari. Publik Inggris tidak perlu menangis histeris, karena masa depan cerah menanti mereka.
Kisah Perancis, bukan tidak mungkin kembali terulang. Perancis takluk di depan publik sendiri pada final Piala Eropa, tetapi sukses menjadi juara dunia dua tahun setelahnya. (AP/AFP)