Skuad Italia dianggap mereplikasi keberanian Sir William Wallace, tujuh abad silam. Alih-Alih datang untuk dipenggal, "Gli Azzurri" justru menampar Inggris di rumah kebanggaannya sendiri, Stadion Wembley, London.
Oleh
Yulvianus Harjono
·3 menit baca
AFP/POOL/LAURENCE GRIFFITHS
Bek Italia, Leonardo Bonucci, mengangkat trofi juara Piala Eropa 2020 seusai final menghadapi Inggris di Stadion Wembley, London, Senin (12/7/2021) dini hari WIB. Italia menang lewat adu penalti.
Jelang final Piala Eropa 2020 antara Inggris dan Italia di Stadion Wembley, The National, koran sayap kiri Skotlandia, menampilkan ulasan menggugah di halaman mukanya. Mereka menggambarkan Roberto Mancini, pelatih Italia, sebagai sosok modern Sir William Wallace, pejuang kemerdekaan Skotlandia yang tersohor lewat film Hollywood, Braveheart (1995).
”Selamatkan kami Roberto...Anda (tim Mancini) adalah harapan terakhir kami,” bunyi judul surat kabar itu memicu kontroversi di tanah Britania Raya. Skotlandia, yang menjadi bagian negara persemakmuran Inggris, memilih mendukung Italia. Sejumlah pub di Skotlandia kompak mengibarkan bendera Italia, alih-alih St George\'s Cross Inggris.
Sebagai auld enemy, Inggris memang tidak disukai publik Skotlandia. Namun, terlepas rivalitas lama yang dipupuk oleh sejarah panjang itu, publik Skotlandia tersentuh dan terkesima dengan permainan berani ”Gli Azzurri”, tim nasional Italia.
Seperti Sir Wallace, tujuh abad silam, banyak orang mengira Mancini dan Azzurri akan datang ke London untuk ”dibantai” di depan hadapan publik Inggris. Wallace, yang sangat muda, 35 tahun, dilucuti pakaiannya di depan aula Menara London. Menjelang dipenggal, menyambut ajal, ia lalu memekik keras, ”kebebasan!”.
Pelatih Italia Roberto Mancini berjalan di lapangan sambil mengalungi bendera Italia seusai mengalahkan Inggris lewat adu penalti pada laga final Piala Eropa 2020, Senin (12/7/2021) dini hari WIB.
Intimidasi Inggris
Skuad Azzurri, dipimpin Mancini, pun sempat dikira bakal mengalami nasib serupa Wallace saat datang ke London, Senin (12/7/2021) dini hari WIB. Mereka datang ke kandang ”Singa” yang lapar gelar dan berhadapan dengan hampir 60.000 fans Inggris yang berhari-hari telah mengintimidasi dengan menyanyikan lagu yang terkesan arogan, Football\'s Coming Home.
Publik Inggris seolah-olah ingin menggelar gala premiere kisah juara yang lama didamba dengan menghadirkan para selebritas, seperti David Beckham dan Tom Cruise, di Wembley.
La Gazetta dello Sport sampai menyebut, Italia membuat tim Tiga Singa berlari ketakutan, mencari aman, bak gerombolan anak anjing.
Skenario itu berjalan mulus di awal. Laga baru berjalan kurang dari dua menit, Wembley bergemuruh lewat gol bek sayap Inggris, Luke Shaw. Tim mana pun yang kebobolan gol secepat itu, bahkan menjadi rekor baru final Piala Eropa, bakal terpukul. Sejarah berkata, dari 15 final Piala Eropa sebelumnya, 12 kali tim menjadi juara seusai mencetak gol lebih dulu.
”Gol cepat itu bisa membunuh siapa pun. Namun, tidak dengan kami. Tim kami tidak mau menyerah,” ujar Gianlugi Donnarumma, kiper Italia.
AP PHOTO/FRANK AUGSTEIN
Pemain Inggris, Luke Shaw (kedua dari kanan), mencetak gol ke gawang Italia yang dijaga kiper Gianluigi Donnarumma pada laga final Piala Eropa 2020 di Stadion Wembley, London, Senin (12/7/2021) dini hari WIB. Pada laga itu, Italia mengalahkan Inggris melalui adu penalti dengan skor 3-2, setelah imbang 1-1 selama 120 menit.
Seperti diungkapkan Donnarumma, gol itu justru membuat Italia menampakkan wajah aslinya. Mereka bak gerombolan serigala yang tidak takut keluar dari sarangnya dan menyerang habis-habisan Inggris, tim yang justru bermain defensif dengan ”parkir bus tingkat”.
Pemimpin tim Singa itu, Harry Kane, bahkan tidak mampu menyeringai sedikit pun. Taringnya tumpul di hadapan duo bek garang Italia, Giorgio Chiellini dan Leonardo Bonucci. Tidak satu pun tembakan maupun peluang diciptakan striker gagah Inggris itu. Hal itu hanya pernah sekali sebelumnya dialami Kane dalam 61 penampilannya bersama tim "Tiga Singa", yaitu saat menghadapi Swiss pada 2018 silam.
Tampil di kandang sendiri, Inggris lebih sering terpojok dan berlindung di balik benteng berlapis berupa lima bek dan dua gelandang bertahan itu. La Gazetta dello Sport sampai menyebut, Italia membuat tim Tiga Singa berlari ketakutan, mencari aman, bak gerombolan anak anjing.
Italia bermain sangat ofensif, merebut bola secepat mungkin, dan menekan dengan intensitas tinggi, seolah-olah tidak ada lagi hari esok. Mereka enggan kembali ke masa terburuknya yang penuh penyesalan, yaitu ketika disingkirkan Swedia di playoff Piala Dunia Rusia 2018. Saat itu, Italia memilih tampil pragmatis, seperti Inggris, dan enggan memainkan penyerang sayap, Lorenzo Insigne.
Kekakuan pada era lama itu telah didobrak Mancini lewat keberanian dan kebebasan yang bertanggung jawab. Pencerahan itu berujung gol Italia melalui gol Leonardo Bonucci dan dilanjutkan pada adu penalti di Wembley.
Ketika sejumlah pemain Inggris enggan dan takut menjadi algojo penalti, para pemain Italia justru mengajukan diri untuk ikut memikul beban berat itu. ”Kami, Italia, yakin bisa kalah. Maka, kami bermain lebih baik, penuh keberanian. Sementara mereka (Inggris) mengira bisa menang. Inilah yang membedakan,” ungkap Corriere Della Sera, koran Italia lainnya.