Inggris lepas dari mitos selalu kalah dari Jerman, dan dari kegagalan mengeksekusi penalti di saat genting. Italia menjadi penghalang terakhir Inggris merebut gelar juara Piala Eropa 2020.
Oleh
Sindhunata, wartawan
·5 menit baca
Selama lima puluh lima tahun, sepak bola Inggris berada dalam kemuraman. Kegagalan demi kegagalan telah menjadi hantu bagi mereka. Hantu kegagalan itu kemudian menjadi mitos yang menghiasi sejarah mereka. Tetapi, di Piala Eropa 2020 ini tahap demi tahap mereka berhasil membuat mitos itu menjadi ambyar.
Tiap kali berhadapan dengan Jerman dalam saat yang menentukan, Inggris selalu gagal. Karena itu keluarlah ungkapan klise Gary Lineker yang telah menjadi mitos: ”Sepak bola adalah permainan sederhana. 22 lelaki mengejar bola selama 90 menit. Dan akhirnya Jermanlah yang juara.” Baru di Piala Eropa 2020 ini, Inggris bisa menguburkan mitos itu, ketika mereka memukul Jerman, knocked-out, 2-0.
Dengan terkuburnya mitos itu, ungkapan klise Gary Lineker itu tak berlaku lagi dalam sejarah bola. Dan kemenangan Inggris atas Jerman dianggap pembebasan sejarah, dengan Gareth Southgate menjadi seorang exorcist, yang berhasil mengusir setan kekalahan Piala Eropa 1996.
Inggris melaju lagi dengan kemenangan atas Denmark, 2-1. Kemenangan ini tidak seluruhnya mulus, karena kontroversi hadiah penalti yang diberikan oleh wasit asal Belanda, Danny Makkelie. Banyak yang mengecam, penalti itu tak seharusnya diberikan. Dan, tentu saja banyak yang menghujat aksi Raheem Sterling, yang memprovokasi terjadinya penalti itu.
”Baik kiranya, jika sepak bola Inggris tidak mengajarkan diving ke seluruh Eropa,” tulis harian Marca, Spanyol. Menurut José Mourinho, di level seperti semi final Eropa itu, dan melihat fakta yang terjadi, wasit tak seharusnya menjatuhkan keputusan sekontroversial itu. Mourihno lalu berseloroh, wasit akan sulit tidur dengan nyenyak karena keputusannya itu.
Kapten Harry Kane akhirnya melakukan eksekusi itu. Kepalanya kiranya dibayang-bayangi kontorversi diving rekannya itu. Tetapi, lebih dari itu, Kane pasti teringat frasa gelap yang selalu membayangi pemain Inggris setiap kali melakukan eksekusi di momen yang kritis.
Frasa itu puitis tetapi seram, bunyinya, ”Pada malam ketika kegagalan sungguh sulit untuk ditanggung.” Pada malam seperti itulah Southgate gagal melakukan penalti yang demikian menentukan di semi final Piala Eropa 1996 melawan Jerman.
Buat saya Inggris adalah favorit juara, karena mereka bermain di kandang. Faktor publik tidak boleh disepelekan dalam pertandingan yang demikian panas. Tanpa keuntungan tuan rumah itu, saya memegang Italia.
Di stadion Wembley, Rabu lalu, malam itu datang kembali. Southgate berdiri di pinggir lapangan. Dan di tribune kehormatan terlihat Paul Gascoigne, ikon dan jiwa kesebelasan Inggris, yang waktu itu sangat sedih karena kegagalan Southgate. Mungkin tragedi malam itu menyelinap di benak Kane, sehingga tendangannya melambung lemah dan kurang bertenaga. Bola tendangannya hampir saja bisa dipegang oleh kiper Denmark, Kasper Schmeichel. Untung terlepas, dan Kane bisa menyambarnya dan menjadikannya gol.
Andaikan itu gagal, Inggris kembali akan masuk ke dalam malam, ketika kegagalan sulit untuk ditanggung. Gol Kane telah membuat mereka lolos dari lubang jarum. Rakyat Inggris pun meledak dalam kegembiraan. Sejak mereka jadi juara Piala Dunia 1966, sudah 55 tahun mereka menderita di dunia bola. Dan sudah 16 bulan mereka menderita di dunia yang sedang dilanda Covid-19. Gol Kane telah membebaskan mereka dari penderitaan itu.
Dua puluh lima tahun lalu, Southgate menjadi ikon bagi tragedi sepak bola Inggris. Malam itu, ia dianggap pelatih hebat yang membebaskan Inggris dari penderitaannya. Malah karena kemenangannya, Southgate dianggap sebagai orang yang mempersatukan bangsa.
Selama ini, dengan agak melebih-lebihkan, fans bola Inggris seakan tidak mengerti lagi, apa artinya come home atau pulang itu. Dalam gol Kapten Kane itu mereka disadarkan dari amnesia mereka, kata itu ternyata berarti football’s coming home. Ironis memang, Inggris adalah Tanah Air bola, tetapi bola telah dicuri ke mana-mana. Malam itu, bola kembali pulang ke pelukan mereka. Sejenak mereka merasa sudah menyelesaikan segalanya. Seakan mereka sengaja lupa, bahwa mereka belum sepenuhnya memiliki bola itu, karena malam ini mereka masih harus merebutnya dari Italia.
Mengesankan
Jelas tak mudah mengalahkah Italia yang sekarang dalam kondisi prima. Kata Lothar Matthäus, ”Dari para semifinalis, Italia paling mengesankan bagi saya. Kesebelasan mereka adalah perpaduan pemain-pemain berkualitas. Satu sama lain pas.”
Tetapi, kemudian ia menambahkan, ”Kendati demikian, buat saya Inggris adalah favorit juara, karena mereka bermain di kandang. Faktor publik tidak boleh disepelekan dalam pertandingan yang demikian panas. Tanpa keuntungan tuan rumah itu, saya memegang Italia.”
Memang Inggris harus mengakui, Italia nyaris memainkan sepak bola modern dengan sempurna. Di depan, mereka bermain dengan tempo tinggi, dan ke belakang, mereka bisa bertahan dengan gigih. Waktu melawan Spanyol, mereka memang tidak banyak menyerang. Tetapi, mereka bisa memerosokkan Spanyol ke dalam perangkap pertahanan yang dimotori sepasang bek kawakan, Leonardo Bonucci (34) dan Giorgia Chiellini (36).
Walaupun filsafat bolanya adalah menyerang, Roberto Mancini tetap mempertahankan duo bek yang sudah veteran itu. Ini memperlihatkan, bahwa Mancini tak seluruhnya meninggalkan strategi defensif yang khas Italia. Memang, Chiellini dan Bonucci adalah insan catenaccio andalan. Mereka paham jiwa catenaccio, karena itu mereka pandai ”merayu” lawan untuk asyik menyerang, dan begitu tersedia lubang sedikit saja, mereka bisa mengentakkan serangan balik yang membuat lawan kocar-kacir, seperti terbukti ketika Italia mencuri gol dari Spanyol di semifinal.
Chiellini adalah kapten Italia yang selalu tertawa. Bisakah malam ini ia mengubah tawanya menjadi piala? Di final nanti, mengubah tawa menjadi piala tidak semata-mata tergantung pada kehebatan dan kegigihan kesebelasannya. Kata kiper legendaris Inggris, Peter Shilton, dalam saat yang demikian menentukan, orang membutuhkan sedikit keberuntungan untuk mengubah jalannya pertandingan.
Ketika menghadapi Denmark di semifinal, sedikit keberuntungan itu sempat mampir di kaki kapten Kane, setelah manuver kontroversial Sterling. Inggris kiranya tak ingin mengandalkan pada keberuntungan macam itu lagi. Tekad mereka adalah menghapuskan frasa ”pada malam ketika kegagalan sungguh sulit untuk ditanggung” itu seluruhnya. Hanya jika mereka bisa menghapus frasa itu, maka malam gelap yang menyelimuti mereka lima puluh lima tahun lamanya akan lenyap dalam sejarah sepak bola mereka.