Mantra ”Football’s Coming Home” bagi Inggris di Final Piala Eropa 2020
Jika Inggris memenangi Piala Eropa tahun ini, mulailah membiasakan diri dengan slogan ”Football’s Coming Home” yang akan digaungkan setiap Inggris berlaga.

Antusiasme pendukung tim tuan rumah Inggris saat pertandingan babak semifinal Piala Eropa 2021 antara Inggris melawan Denmark, Kamis (8/7/2021) dini hari WIB. Inggris lolos ke babak final setelah mengalahkan Denmark.
”It’s coming home… It’s coming home…It’s coming… Football’s coming home (England has done it)” — ”Three Lions”, The Lightning Seeds, 1996.
Begitulah penggalan lirik dari lagu berjudul ”Three Lions” ciptaan band rock asal Liverpool, The Lightning Seeds, yang dirilis pada 1996 sebagai lagu resmi Piala Eropa 1996 di Inggris. Namun naas, nasib Inggris di kompetisi sepak bola antarnegara Eropa itu berakhir pahit. Inggris ditaklukkan oleh Jerman di babak semifinal melalui drama adu penalti.
Sejatinya, lagu resmi untuk Piala Eropa 1996 di Inggris berjudul ”We’re in This Together” yang dibuat oleh grup musik Simply Red. Lagu resmi itu kalah tenar dengan ”Three Lions” karena beberapa bagian liriknya yang mudah diingat dan frasa it’s coming home terus diulang sepanjang lagu.
Dalam wawancara dengan media massa The Guardian, David Baddiel dan Ian Broudie, pencipta lagu ”Three Lions”, menceritakan panjang lebar lagu ini. Lagu ”Three Lions” sesungguhnya adalah lagu tentang keajaiban, yakni tentang menduga kekalahan (secara rasional, berdasarkan pengalaman), sekaligus berharap bahwa Inggris tidak akan kalah. Itulah sebabnya, ada lirik demikian, ”Everyone seems to know the score/ They’ve heard it all before/ They’re so sure/ That England’s going to blow it away….”
Tidak seperti kebanyakan lagu dukungan lainnya, ”Three Lions” tidak menceritakan semangat juang sebuah tim atau semangat nasionalisme. Lagu ini justru berisi sumpah serapah atau umpatan untuk menggambarkan timnas Inggris yang selalu menjadi pesakitan di kompetisi sepak bola mana pun. Setelah menjadi jawara dunia di Piala Dunia 1966, kiprah timnas Inggris selalu berakhir kekecewaan.
Merunut sejarah terciptanya lagu ”Three Lions”, arti dari ”coming home” dalam penggalan liriknya adalah sepak bola (Piala Dunia) kembali digelar di ”tanah kelahiran” olahraga kaki itu sendiri. Sebab, Inggris dianggap sebagai tempat asal sepak bola modern karena rumusan awal permainan ini dicetuskan di Britania pada abad ke-19.

Selebrasi striker Inggris, Harry Kane, setelah mencetak gol ke gawang Jerman pada pertandingan babak 16 besar Piala Eropa 2020 di Stadion Wembley, London, Inggris, yang berakhir Rabu (30/6/2021).
Keyakinan bahwa Inggris adalah asal kelahiran sepak bola sebenarnya masih dapat diperdebatkan kebenarannya. Sebab di menurut Organisasi Sepak Bola Dunia (FIFA), sepak bola sudah ditemukan jejaknya di China lebih dari 2.300 tahun yang lalu di zaman pemerintahan Lin Zi (Dinasti Han, 206 SM). Pernyataan ini didasarkan pada dokumen serta lukisan kuno yang ditemukan oleh para ahli dan dikenal dengan sebutan cu-ju yang berarti ”menendang bola kulit”.
Sementara itu, muncul pula kepercayaan bahwa sepak bola asalnya dari Yunani dengan sebutan episkyros. Di masa itu, permainan bola diperbolehkan menggunakan tangan dan melakukan kekerasan fisik untuk dapat membawa bola ke ”gawang” lawan. Kepercayaan lainnya mengatakan bahwa olahraga ini kemudian dibawa oleh kebudayaan Romawi hingga akhirnya dikenal sampai ke Eropa.
Terlepas kebenaran asal-usul sepak bola, publik Inggris tetap meyakini bahwa sepak bola lahir di tanah mereka. Alasan pendukungnya, pada 5 Juni 1886, Inggris, Skotlandia, Irlandia Utara, serta Wales bersepakat untuk membentuk Dewan Asosiasi Sepakbola Internasional (IFAB). Pendirian IFAB ini lebih dahulu dibandingkan FIFA yang baru berdiri pada 1904.
Fenomena yang jelas terlihat ialah tersorotnya kembali penggalan lagu ”Three Lions” setelah langkah meyakinkan Inggris di Piala Eropa 2020. Setelah kemenangan melawan Denmark di semifinal Euro 2020, sorakan ”football’s coming home” membahana di stadion. Dukungan itulah yang menggiring langkah Inggris ke babak final untuk pertama kalinya di kancah Piala Eropa.

Arogan
Istilah ”Football’s coming home” kemudian menjadi mantra yang terus diulang-ulang pendukung Inggris di dalam maupun luar lapangan. Wajar saja, sebelumnya di Piala Dunia 1966 di Inggris, ”Three Lions” berhasil keluar sebagai juara setelah mengalahkan Jerman Barat di Stadion Wembley, London, lewat babak perpanjangan waktu. Raihan itu menjadi satu-satunya prestasi terbesar skuad Inggris di ajang sepak bola dunia hingga saat ini.
Kesuksesan timnas Inggris hampir terulang di Piala Dunia 2018, tetapi lagi-lagi harus mengakui kegagalan meraih gelar juara setelah kalah di babak semifinal. Kini 55 tahun berselang sejak Piala Dunia 1966, istilah football’s coming home berdengung kembali dan makin lantang di kanal-kanal media sosial.
Baca juga : ”Dewi Fortuna” Akhirnya Memeluk Inggris
Antusiasme publik Inggris ditangkap oleh media massa The Straits Times memberikan kompilasi tampilan halaman muka surat kabar di Inggris yang memuat keberhasilan Inggris menembus babak final Piala Eropa 2020.
Bergemanya lagi football’s coming home sebenarnya telah dimulai sebelum gelaran Piala Eropa tahun ini dimulai. Fenomena ini turut ditangkap sebagai sikap arogansi pendukung Inggris di hadapan negara peserta lainnya. Muak dengan sikap tersebut, Kapten Kroasia Luka Modric akhirnya menyampaikan hal ini saat jumpa pers 13 Juni 2021.

Pendukung Inggris merayakan kemenangan tim kesayangannya di London setelah lolos ke babak final Piala Eropa 2020. Final yang akan dimainkan Inggris pada Senin (12/7/2021) merupakan final turnamen besar pertama mereka sejak Piala Dunia 1966.
Menurut Luka Modric, sikap arogan itu tidak terlalu melekat pada pemain di kesebelasan Inggris. Melainkan, arogansi datang dari jurnalis, komentator, dan terutama pendukung timnas Inggris. Media massa di Inggris cenderung memuji pemain mereka setinggi mungkin dan secara tersirat memandang rendah pemain dari tim negara lain.
Luka Modric tampaknya tidak sembarangan melontarkan pendapatnya, sebab skuad ”Vatreni”, julukan bagi tim Kroasia, mendapat tekanan dari media Inggris. Laga semifinal Piala Dunia 2018 yang digelar di Stadion Luzhniki, Rusia, berakhir dengan kemenangan 2-1 untuk Kroasia. Kala itu, sebelum dan setelah pertandingan, atmosfer panas justru terjadi antara media asal Kroasia dan Inggris.
Sebelumnya, Kapten Wales Gareth Bale juga sempat mengungkapkan hal yang serupa di ajang Piala Eropa 2016. Menurut Gareth Bale, media Inggris selalu membesar-besarkan diri sebelum timnya bertanding, padahal timnas Inggris tidak sehebat itu. Dia juga mengkritik pendukung Inggris yang tidak menghormati lawan dengan bersorak ketika lagu kebangsaan tim lawan dilantunkan di stadion.
Yang paling anyar ialah pendapat dari kiper sekaligus kapten Denmark Kasper Schmeichel dalam konferensi pers sebelum laga semifinal melawan Inggris. Dengan tenang, Schmeichel menyatakan bahwa trofi sepak bola tidak pernah dibawa pulang oleh Inggris. Sekalipun menang, itu di ajang Piala Dunia, bukan Piala Eropa seperti saat ini.

Duke of Cambridge Pangeran William dan Duchess of Cambridge Catherine bertepuk tangan saat menonton pertandingan sepak bola babak 16 besar Piala Eropa 2020 antara Inggris melawan Jerman di Stadion Wembley, London, Inggris (30/6/2021).
Sikap arogan tidak hanya terlontar dari semboyan, tetapi juga sikap pada hooligan, kelompok pendukung keras, dari Inggris. Kehadiran mereka menjadi momok bagi petugas keamanan karena kerap melakukan aksi huru-hara dan tidak jarang berujung bentrokan antarsuporter.
Dalam era ini, aksi hooligan Inggris tidak terbatas hanya di dalam stadion saja, tetapi juga di ranah media sosial. Terakhir di Piala Eropa saat ini, banyak media internasional mengecam tindakan hooligan Inggris ketika mengejek-ejek seorang anak perempuan dan ayahnya (pendukung Jerman) di media sosial usai kemenangan Inggris melawan Jerman.
Namun menurut Gareth Southgate, pelatih Inggris, seruan it’s coming home hanya sebatas candaan dan bukan berarti Inggris dapat memenangi kompetisi sepak bola mana pun. Semboyan itu menjadi penyemangat bagi tim Inggris dalam tiap laga dan harapan bagi pendukungnya.

”Coming Rome”
Boleh jadi, partai final Piala Eropa yang akan digelar 8 Juli 2021 menjadi momen penantian dua sisi. Di satu sisi, pendukung Inggris menantikan keajaiban mantra football’s coming home untuk memenangkan Inggris ketika berhadapan dengan ”Gli Azzuri” di London. Tentu saja, besar harapan pendukung Inggris agar trofi paling bergengsi di ajang sepak bola Eropa itu kembali ke negara asal sepak bola.
Musim paceklik gelar yang dialami Inggris perlu disudahi sesegera mungkin. Capaian tim Inggris di final Piala Eropa kali ini belum tentu akan terulang kembali di Piala Dunia atau Piala Eropa selanjutnya. Apalagi, skuad Inggris saat ini cukup solid dan hingga saat ini mereka belum pernah menderita kekalahan satu pun dari babak kualifikasi grup.
Baca juga : Wujud Karakter Baru ”Tiga Singa”
Di sisi lain, penggemar sepak bola yang muak dengan arogansi Inggris diam-diam menantikan momen kekalahan Inggris. Di benak mereka, pendukung Inggris akan menerima karma buruk dan menelan ludah mereka sendiri. Terutama bagi pendukung Italia, seruan Football’s Coming Home justru diubah menjadi Football’s Coming Rome. Selamat menantikan! (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Adu Gengsi Dua Liga Terbaik di Piala Eropa