Ketika Southgate Lebih Percaya kepada Pemain 19 Tahun
Pelatih Inggris Gareth Southgate punya segudang alasan untuk memainkan Bukayo Saka, pemain 19 tahun, dibandingkan bintang-bintang berpengalaman ”Tiga Singa”.
Keputusan Pelatih Inggris Gareth Southgate nyaris selalu menghadirkan enigma ketika memilih penyerang sayap kanan utama. Dia punya segudang pemain bertabur bintang di posisi tersebut, tetapi justru menjatuhkan pilihan kepada pemain 19 tahun asal Arsenal, Bukayo Saka.
Yang paling baru, Saka kembali tampil sebagai pemain inti ketika skuad ”Tiga Singa” mengubur kejutan tim ”kuda hitam” Denmark di semifinal Piala Eropa 2020. Sang remaja memecahkan rekor sebagai pemain mula termuda sepanjang sejarah Inggris dalam semifinal di turnamen besar.
Pemilihan pemain keturunan Inggris-Nigeria ini agak dipertanyakan. Southgate dianggap lebih memilih ”mobil keluarga” sederhana dibandingkan banyak ”mobil balap” yang menumpuk di garasinya.
Lothar Matthaus, legenda hidup tim nasional Jerman, salah satu yang sempat meragukannya. Matthaus melihat penyerang sayap Jadon Sancho seharusnya punya tempat utama di jajaran pemain inti Tiga Singa.
”Dia adalah salah satu pemain terbaik di Bundesliga (Liga Jerman) dalam dua tahun terakhir. Jika dia tidak cukup baik untuk Inggris, kami berniat memberikannya paspor Jerman,” kata Matthaus seperti dikutip Goal.
Sancho yang menawan di Borussia Dortmund kalah dari Saka. Sancho hanya sekali bermain sejak menit awal pada turnamen ini. Itu pun ketika Saka cedera pada perempat final melawan Ukraina. Setelah itu, dia kembali lagi ke bangku cadangan saat semifinal.
Baca juga : Berebut Tuah Wembley
Selain Sancho, deretan pemain bintang juga dicadangkan. Phil Foden, yang menjadi pemain mula dalam dua laga pembuka, tidak mendapatkan tempatnya lagi. Jack Grealish, yang selalu memberikan energi dari bangku cadangan, juga tidak kunjung dipromosikan ke dalam 11 pemain mula. Marcus Rashford juga senasib.
Southgate terus memilih Saka setelah satu laga terakhir grup melawan Ceko. Saat itu, pemain remaja yang berasal dari akademi Arsenal ini bermain impresif. Dia mengeksploitasi sisi kiri pertahanan lawan lewat kecepatan dan kelincahannya, yang berujung dengan penghargaan Star of The Match.
Sejak itu, Saka selalu jadi pilihan utama untuk mengisi trio lini depan Inggris, bersama pemain senior Harry Kane dan Raheem Sterling. Kata Southgate, dia senang karena Saka sukses menjawab tantangannya untuk tampil tanpa beban. ”Kami merasa Saka adalah pilihan tepat, khususnya untuk malam ini,” ucap sang pelatih seusai memastikan Inggris ke partai puncak.
Perjudian Southgate terbayar di semifinal. Saka merupakan aktor utama gol penyeimbang Inggris. Dia melepas umpan silang di depan gawang memaksa kapten sekaligus bek tangguh Denmark, Simon Kjaer, mencetak gol bunuh diri.
Baca juga : Parade Sepak Bola menyerang di Piala Eropa 2020
Semua tidak lepas dari pergerakan tanpa bolanya yang sukses memecah jebakan off-side Denmark. Saka cerdik membaca kesempatan itu, sebelum akhirnya Kane memberi umpan terobosan kepadanya.
Mencari ekuilibrium
Kontribusi tersebut sebenarnya hanyalah bonus. Tujuan utama Southgate memainkan Saka lebih untuk menyeimbangkan formasi 4-3-3 milik Tiga Singa.
Arsene Wenger, mantan Manajer Arsenal, berkata, Saka ibarat sepaket lengkap berisi burger daging—keju berserta kentang goreng. Dia memberikan keleluasan strategi untuk Southgate.
”Saka bisa bermain di segala posisi. Dia adalah pemain serba bisa. Sancho lebih kreatif ketika memegang bola, tetapi dia sering lupa turun membantu pertahanan. Ini kelebihan Saka,” kata Wenger.
Sebagai pemain yang mengawali karier sebagai bek sayap, Saka tidak canggung ketika situasi bertahan. Dia sangat membantu Kyle Walker di sisi kanan. Bantuannya efektif meredam eksplosivitas bek kiri Denmark, Joakhim Maehle, yang merupakan salah satu ancaman terbesar di turnamen ini.
Baca juga : Menghapus Malam Gelap
Bagi Southgate, keseimbangan bermain sangatlah penting. Bahkan, itu menjadi prinsip utama mantan pemain bertahan tersebut. Percuma mencetak satu gol, jika pada akhirnya kemasukan dua gol. Itulah alasan sang pelatih selalu memainkan dua gelandang dengan naluri bertahan, Declan Rice-Kalvin Phillips.
Prinsip itu bisa dibuktikan dengan kokohnya lini pertahanan Inggris. Kane dan kawan-kawan belum kemasukan satu gol pun dari permainan terbuka. Satu-satunya gol yang menggetarkan jala kiper Jordan Pickford hanyalah tendangan bebas indah dari Mikkel Damsgaard (Denmark).
Jose Mourinho, pelatih kawakan Eropa, kali ini harus setuju dengan pendapat rival abadinya, Wenger. Dia juga menilai Saka sebagai penyeimbang formasi Southgate.
Keseimbangan itu juga terlihat ketika menyerang. Saka, sebagai pemain kidal, memang diharapkan Southgate untuk mengisi sisi kanan. Sang pelatih ingin memainkan inverted winger di kedua sisi. Raheem Sterling sudah pasti mengisi peran inverted winger di sisi kiri.
Baca juga : Dewi Fortuna Akhirnya Memeluk Inggris
Jadi, Saka dan Sterling akan bisa menusuk ke tengah dengan kaki dominan yang berlawanan dari posisi masing-masing. Serangan Inggris bisa lebih tajam karena Kane bisa menjadi dinding pantul di tengah. Bek sayap Walker-Luke Shaw pun bisa maju lebih ke depan.
”Bocah ini sangat bagus dan berani. Saya selalu suka pemain kidal yang bermain dari sisi kanan. Inggris punya dua pilihan untuk itu, Saka atau Foden. Namun, saya lebih memilih Saka karena lengkap,” ucap Mourinho.
Pilihan lain, Sancho, Grealish, dan Rashford, semuanya dominan dengan kaki kanan. Jika memaksa salah satu masuk, akan ada satu sisi yang tidak mengaplikasikan peran inverted winger.
Terakhir adalah kemampuan dribelnya yang di atas rata-rata. Dia mencatatkan rata-rata 1,7 dribel sukses per gim, hanya kalah dari Sterling (3 kali) dan Sancho (2 kali). Saat bersamaan, Saka menjadi pemain yang paling sering dilanggar, 2,3 kali per gim.
Pelanggaran lawan kepadanya sangat berarti untuk Inggris. Tiga Singa di bawah Southgate menjadikan bola mati sebagai salah satu senjata mematikan. Itulah nilai tambah lain pemain kelahiran 2001 tersebut.
Tak terlihat
Di antara dampak besar dalam lapangan, penyerang setinggi 1,78 meter ini juga punya peran penting di luar lapangan. Peran itu nyaris tak terlihat kasatmata, tetapi bisa dirasakan seluruh tim.
Baca juga : Malam Panjang nan Melelahkan Menanti di Wembley
Pria yang murah senyum ini punya kepribadian lugu dan hangat. Dia sering menjadi penghangat ruang ganti, dengan berperan sebagai ”pelawak” di antara mayoritas pemain Inggris yang kaku. Perannya mirip seperti N’golo Kante di timnas Perancis.
Misalnya saja sebelum semifinal. Saka menghibur tim dengan aksi melompat ke kolam renang. Dia seakan terbang sambil mengendarai ban berenang bentuk unicorn ke dalam kolam.
Aksi tersebut ditangkap oleh fotografer tim. Foto tersebut pun ramai menjadi perbincangan di media sosial setelah diunggah akun timnas Inggris. Bahkan, akun tersebut juga membuat meme lucu dari fotonya.
Baca juga : Jalan Klasik Italia Menembus Decimo
Mungkin, peran tak kasatmata ini yang telah meringankan ketegangan skuad Inggris. Tekanan kepada mereka begitu besar karena tidak pernah lolos final juga juara dalam turnamen besar selama 55 tahun.
”Di setiap wawancara, saya selalu melihatnya tersenyum dan berbicara sangat baik. Percayalah, dia sudah seperti itu sejak usia 11 tahun, saat saya mengajarnya. Dia adalah faktor yang membuat nyaman di dalam kelas,” kata mantan guru olahraga Saka, Mark Harvey, kepada BBC.
Menjamah final
Saka berpeluang kembali tampil dalam partai final, ketika Inggris menjamu Italia di Stadion Wembley, pada Senin (12/7/2021) dini hari WIB. Dia bisa menjadi satu-satunya remaja di antara 22 pemain starter.
Pengalaman tidak ada hubungannya dengan usia. Saya pikir dia telah punya pengalaman di liga terbaik dunia (Liga Inggris). Dia sudah menunjukkan karater hebat sejak datang.
Mourinho percaya, Saka akan kembali dipercaya oleh Southgate. Baginya, usia 19 tahun tidak akan menjadi penghalang untuk sang pemain bisa tampil lepas di partai paling besar sepanjang turnamen ini.
”Pengalaman tidak ada hubungannya dengan usia. Pengalaman hanya berhubungan banyak dengan cara Anda berpikir dan hidup. Saya pikir dia telah punya pengalaman di liga terbaik dunia (Liga Inggris). Dia sudah menunjukkan karater hebat sejak datang. Saya tidak yakin Gareth akan meninggalkannya,” pungkas pelatih asal Portugal itu.
Baca juga : Persahabatan Kekal di Balik Dua Finalis
Saka, sebagai pemain debutan Inggris di turnamen besar, bisa bermain tanpa beban berkat instruksi Southgate. ”Pelatih berkata kepada saya untuk keluar dan memainkan yang terbaik, juga mengekspresikan diri saya,” katanya.
Kisah Saka sebagai jimat keberuntungan Southgate sebenarnya seperti mengulang sejarah manis Inggris. Kisah itu nyaris mirip dengan momen kejayaan Inggris saat menjuarai Piala Dunia 1966 di depan publik sendiri.
Pelatih Inggris kala itu, Alf Ramsey, membuat kejutan di babak gugur. Ramsey menggantikan striker utamanya pada babak grup, Jimmy Greaves, dengan pemain baru timnas Geoff Hurst.
Baca juga : Kembalinya Jiwa ”Torero”
Hurst yang tidak punya pengalaman di turnamen besar, bahkan baru mencatat debut beberapa bulan sebelumnya, menjadi starter sejak perempat final sampai partai puncak.
Kepercayaan itu dibayar Hurst dengan mencetak hattrick ke gawang Jerman Barat di partai final. Hurst pulang sebagai pahlawan juara dunia bagi Inggris. Akhir kisah serupa inilah yang juga diharapakan Southgate untuk mengakhiri paceklik gelar sejak 1966. (AP/AFP)