Ulasan dan Statistik Jelang Final Piala Eropa serta Final Copa America
Banyak fakta menarik di dua laga final kejuaraan sepak bola antarnegara Eropa dan Amerika Selatan akhir pekan ini. Inilah panduan sebelum Anda menikmatinya
Menjadi tuan rumah di laga final turnamen sepak bola dapat menjadi modal berharga bagi tim Inggris dan Brasil. Namun, Italia dan Argentina lebih berpengalaman keluar sebagai juara di final Piala Eropa dan Copa America.
Dua kejuaraan sepak bola dunia berlangsung saat ini, yaitu Piala Eropa dan Copa America. Tidak dapat dipungkiri, ketenaran Piala Eropa mengalahkan Copa America di mata para penggemar sepak bola. Gaung kompetisi Copa America memang tidak sekencang Piala Eropa yang digelar bersamaan di bulan yang sama kali ini. Padahal dalam sejarahnya, Copa America adalah kompetisi kejuaraan sepakbola antarnegara tertua di dunia.
Copa America pertama kali digelar pada 1916 di Argentina sekaligus sebagai peringatan seratus tahun merdekanya negara berjulukan La Albiceleste (putih dan biru langit) itu. Sebelumnya pada 1910, para negara di benua Amerika Selatan itu telah melakukan uji coba kompetisi. Pada gelaran pertama Copa America, hanya ada empat negara yang bertanding, yaitu Chili, Uruguay, dan Brasil.
Dari edisi pertama sampai tahun 1967, kompetisi ini berjudul Campeonato Sudamericano de Selecciones (Kompetisi Sepak Bola Amerika Selatan). Pada edisi pertama, Uruguay memenangkan kejuaraan menang melawan Argentina di Stadion Racing Club of Avellaneda, Argentina. Kemudian sejak 1975 atau edisi ke-30, kompetisi ini disebut Copa America.
Para kontestan milik Konfederasi Amerika Selatan, Conmebol, ini tidak melewati babak kualifikasi karena jumlah anggota yang terbilang sedikit, hanya 10 negara. Oleh sebab itu, sejak 1993 Copa America turut mengundang tim dari negara lain, seperti Amerika Serikat, Meksiko, hingga Jepang. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, di Copa America 2021 hanya ada dua klasemen yang kemudian diisi oleh lima tim negara sejak kompetisi dimulai.
Kehadiran para pemain bintang asal Amerika Selatan belum mampu mengangkat ketenaran Copa America. Sebut saja, ada Neymar, Lionel Messi, Luis Suarez, yang sebenarnya pemain bernilai miliaran rupiah di bursa transfer pemain. Akan tetapi berdasarkan catatan Transfermarkt, para pemain asal Eropa mendominasi daftar pemain dengan harga tertinggi di bursa transfer musim panas tahun ini.
Kekalahan Copa America dari Piala Eropa juga dapat dilihat dari jumlah pendapatan yang didapat dari hak siaran dua penyelenggara kompetisi. Menurut Sony Pictures Sports Network (SPSN), ada 37 juta pemirsa yang menonton seluruh siaran pertandingan sejumlah 21 pertandingan pertama di babak penyisihan grup UEFA Euro 2020 dari 11 Juni hingga 18 Juni 2021. Angka ini hampir tiga kali lipat dari jumlah penonton UEFA Euro 2016.
Kontras, setelah sepuluh pertandingan di Copa America 2021, pertandingan di jaringan linier Univision rata-rata hanya ditonton oleh 980.000 penonton per pertandingan. Sebagai catatan, hal ini belum memasukkan unsur tayang ilegal yang seringkali dibocorkan melalui kanal-kanal media sosial.
Lagipula, tidak logis jika hanya menimbang popularitas kedua kompetisi akbar di antara dua benua tersebut. Piala Eropa memiliki kekhasan pada tim-tim yang bermain dengan gaya sepak bola modern adaptif dan bertaburan bintang di dalamnya. Sementara Copa America menawarkan keindahan dari kelihaian skill individu serta permainan pragmatis dari segi strategi tim yang bertanding.
Bisa jadi, laga final di Piala Eropa dan Copa America kali ini melampaui persaingan di antara kedua kompetisi antarnegara tersebut. Di final Piala Eropa, Inggris akan menjamu Italia pada Senin, 12 Juli 2021 pukul 02.00 WIB. Sedangkan di Final Copa America, Argentina akan bertandang melawan Brasil pada Minggu, 11 Juli 2021 pukul 07.00 WIB.
Brasil vs Argentina
Copa America tahun ini akhirnya mempertemukan final ideal bagi para penggemar sepak bola. Brasil dan Argentina bagaikan musuh bebuyutan yang selalu dinanti-nantikan perseteruannya di atas lapangan. Keduanya memiliki sejarah panjang di dunia sepak bola, sebut saja legendaris ternama Pele dan Maradona yang berasal dari kedua negara Amerika Selatan tersebut.
Di atas kertas, peluang Argentina lebih diunggulkan dibandingkan Brasil berdasarkan catatan sejarah Copa America. Brasil baru membukukan sebagai finalis Copa America sebanyak 21 dan 9 di antara keluar sebagai juara. Sedangkan Argentina jauh lebih perkasa, sudah 28 kali melakoni laga final dan 14 kali memenangkan Copa America.
Namun, dalam lima edisi Copa America terakhir, Brasil masih mendominasi dengan dua gelar juara. Sementara itu, Argentina sudah tiga kali menjadi finalis, tetapi selalu berakhir menjadi runner-up. Terakhir kali, keduanya bertemu di final Copa America 2007 dan kala itu Brasil menaklukkan Argentina dengan skor telak 3-0.
Langkah Argentina untuk memperpanjang catatan kemenangan Copa America tidak akan mudah kali ini karena Brasil memiliki skuad yang cukup solid. Kali ini, keduanya sama-sama memperoleh poin 10 dengan tiga kemenangan dan satu kali seri di babak kualifikasi grup masing-masing.
Di babak perempat final dan semifinal, Brasil menang pas-pasan dengan skor 1-0 melawan Chili dan Peru. Sedangkan Argentina menang 3-0 melawan Ekuador di perempat final dan menang lewat drama adu penalti melawan Kolombia di semi final. Melihat hasil ini, masih sulit tampaknya untuk memprediksikan tim yang keluar sebagai juara di laga final nanti.
Meski begitu, Brasil memiliki modal berharga karena gelaran final diadakan di Stadion Maracana, Rio de Janeiro, Brasil. Memang, pertandingan final nanti tetap tidak boleh dihadiri oleh suporter ataupun penonton terkait aturan pemerintah Brasil di masa pandemi Covid-19. Tetap saja ini sebuah modal bagi Brasil karena laga final Copa America sebelumnya di 2019, Brasil menang melawan Peru dengan skor 3-0 di stadion ini.
Laga final nanti juga sekaligus penebusan kekalahan Brasil di Piala Dunia 2014 sehingga gagal berlaga di partai final yang sedianya diselenggarakan di Stadion Maracana. Di semi final Piala Dunia 2014, Brasil diremukkan oleh Jerman dengan skor 1-7 di Stadion Mineirazo. Hingga kini, stadion itu menjadi panggung angker bagi Brasil dan publik mengenang kekalahan itu dengan sebutan Tragedi Mineirazo.
Stadion Maracana yang merupakan stadion terbesar di Amerika Selatan ini akan menjadi saksi pertarungan dua megabintang sepak bola dunia, Neymar dan Lionel Messi. Bagi Neymar, kemenangan nanti akan berharga untuk menebus kegagalan dirinya bergabung dengan Tim Samba di Copa America 2019 lalu. Sebaliknya, kemenangan di laga final akan menjadi hadiah tidak ternilai dari Tim Tango untuk Lionel Messi yang selama ini telah mengharumkan nama Argentina.
Inggris vs Italia
Perhatian pecinta sepak bola tidak bisa terhindarkan dari Stadion Wembley, London untuk gelaran final Piala Eropa pada Senin dini hari nanti. Duel antara Inggris dan Italia memang bukanlah final idaman karena untuk Piala Eropa kali ini, Perancis dan Belgia lebih dijagokan dan diprediksi akan bertemu di laga final. Sekalipun tidak diprediksikan, tentu laga final nanti akan berjalan menarik.
Di atas kertas, Italia lebih diunggulkan dari segi historisitas dan capaian selama Piala Eropa 2020. Italia pernah satu kali menjuarai Piala Eropa di 1968 dan dua kali sebagai runner-up di Piala Eropa 2000 dan Piala Eropa 2012. Sedangkan Inggris, baru pertama kali menginjakkan kakinya di laga final sepanjang keikutsertaannya di Piala Eropa.
Salah satu prediksi yang dapat digunakan dapat diambil dari superkomputer, yang diluncurkan oleh Stats Perform, perusahaan artificial intelligence (kecerdasan buatan) asal Chicago, Amerika Serikat. Hasilnya, Italia berpeluang sebanyak 60 persen untuk keluar sebagai pemenang Piala Eropa 2020. Lawannya Inggris, hanya mendapat peluang menang sebesar 40 persen.
Pertandingan di babak perempat final dan semifinal kemarin dapat dijadikan salah satu rujukan kedalaman skuad masing-masing. Italia berhasil mengalahkan Belgia dengan skor 2-1 dan menang lewat adu penalti di semifinal melawan Spanyol. Sementara itu, Inggris menang telak 4-0 dari Ukraina di perempat final dan berhasil mengalahkan Denmark 2-1 di semifinal lewat babak perpanjangan waktu.
Dalam perjalanan menuju final, Italia lebih meyakinkan dengan mengalahkan dua tim besar, Belgia dan Spanyol. Bisa dibilang, Inggris cukup beruntung karena mendapatkan tim lawan, Ukraina dan Denmark yang tidak begitu sulit. Satu-satunya tim besar yang berhadapan dengan Inggris dan berhasil dikalahkan ialah Jerman di babak perempat final.
Selama Piala Eropa 2020, Italia telah memecahkan rekor mereka untuk kemenangan beruntun terlama, yakni selama 13 kali. Rekor ini menambah catatan rekor tidak terkalahkan Gli Azzurri sebanyak 33 kali di semua kompetisi.
Seakan tidak mau kalah, Inggris pun hanya kalah dua kali dari 28 pertandingan kandang di Stadion Wembley bersama pelatih Gareth Southgate, yakni ketika melawan Spanyol dan Denmark di UEFA Nations League.
Laga final nanti akan menarik karena kedua tim memiliki pemain kunci yang memiliki pengaruh besar di sejumlah laga terakhir. Di Italia, ada Jorginho yang disebut “Radio Jorginho” oleh rekan setim karena kebiasaannya yang berceloteh sepanjang pertandingan. Celotehan Jorginho bukan sembarangan, sebab dirinya menjadi otak serangan sekaligus konduktor orkestra lapangan tengah yang mengarahkan arah permainan Italia di atas lapangan.
Jangan lupakan juga sosok Nicolo Barella yang menyumbangkan gol indah ketika menumbangkan Spanyol di laga semifinal. Selama Piala Eropa, dirinya menjalankan tugas gemilang sebagai box-to-box midfielder atau gelandang tengah yang membantu Italia ketika menyerang maupun bertahan. Pemain Inter Milan yang masih berusia 24 tahun ini selalu bermain agresif dan cerdik dalam menempatkan posisi.
Di Inggris, pemain kunci yang patut disorot ialah Harry Kane, sang kapten yang kerap dijuluki pahlawan The Three Lions. UEFA menyebut dirinya bagaikan talismanic atau jimat bagi kemenangan yang diperoleh Inggris di tiap laga Piala Eropa. Kane menjadi penentu kemenangan Inggris di laga melawan Denmark setelah dirinya berhasil memasukkan bola ke gawang Kasper Schmeichel.
Baca juga: Tangan Para Dewa Penyelamat di Piala Eropa
Sosok kunci lainnya dari Inggris ialah Jack Peter Grealish, gelandang serang berusia 25 tahun yang kini bermain di klub Aston Villa. Selama Piala Eropa 2020, dirinya telah bermain selama 4 kali dan menyumbangkan dua umpan gol (assist). Tiap kali dirinya melakukan pemanasan di pinggir lapangan, para suporter Inggris melontarkan sebutan “Super Jacky Grealish” dari tribun penonton.
Di balik keunggulan masing-masing tim, The Three Lions mengantongi kenangan manis kala bertanding di Stadion Wembley, London. Kemenangan di laga final Piala Dunia 1966 menjadi sejarah yang terus diulang-ulang oleh para pendukung dan media sepak bola Inggris. Dengan jargon “Football’s Coming Home”, Inggris mencoba membawa pulang trofi Piala Eropa untuk pertama kalinya.
Atraksi menarik
Bagaimanapun juga, menakar laga final Piala Eropa dan final Copa America melalui hitung-hitungan statistik memang bukan cara yang bijak. Analisis sebelum pertandingan hanya menyajikan kemungkinan-kemungkinan yang belum tentu sungguh terjadi di atas lapangan.
Sepak bola lebih dari sekadar hitung-hitungan angka di atas kertas. Atraksi menarik hingga kontroversi di atas lapangan menjadi sajian tersendiri yang menambah kenikmatan sajian tontonan pertandingan. Selama bola itu bulat, tidak ada yang mampu mengetahui tim yang menjadi juara di tiap kompetisi.
Bagi para pendukung di Indonesia, sajian Piala Eropa dan Copa America dapat menjadi pelipur lara selama pandemi Covid-19 dan masa PPKM Darurat ini. Tentu saja, acara nonton bareng atau nobar perlu ditunda dahulu agar tidak menimbulkan kluster baru dari gerombolan pendukung sepak bola. Juara baru di Piala Eropa tahun ini boleh saja muncul, tapi jangan biarkan penularan Covid-19 muncul akibat kerumunan nonton pertandingan. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Kontroversi dan Laga Panas di Piala Eropa