Dongeng "Dinamit" Denmark Belum Berakhir
Dongeng Denmark mengejar gelar juara Piala Eropa memang telah kandas. Meski tanpa mahkota, mereka tetaplah juara sejati karena telah memenangkan banyak hati.
Peluit panjang berbunyi. Simon Kjaer merubuhkan diri, lalu tergeletak layu di rumput. Dua tangannya bersilang menutupi wajah. Kapten Denmark yang penuh karisma ini terlihat begitu rapuh, di antara pemandangan para pemain Inggris yang saling berpelukan dengan penuh tawa.
Melihat sang pemimpin “hancur”, pemain Denmark lain tidak sanggup menahan diri. Salah satu bek kiri terbaik sepanjang turnamen, Joachim Maehle, menangis terisak seperti anak kecil kehilangan mainannya. Tangisnya, menggambarkan kekecewaan besar tim “Dinamit”.
“Saya sangat kecewa kami gagal menembus final setelah melalui perjalanan luar biasa (di Piala Eropa). Saya meminta maaf karena semuanya sudah berakhir. Itulah faktanya,” kata Kjaer seusai Denmark gugur dalam semifinal Piala Eropa 2020 di Stadion Wembley, pada Kamis (8/7/2021).
Denmark seolah-olah dikhianati Dewi Fortuna. Mereka membuka keunggulan lewat salah satu gol terindah di turnamen ini, dari tendangan bebas Mikkel Damsgaard. Tendangan itu mengukir keindahan di udara bagaikan goresan fenomena alam aurora borealis.
Namun, mereka justru takluk dalam pertarungan 120 menit karena gol “hina”, dari bunuh diri dan penalti kontroversial. “Saya berdiri di sini dengan perasaan kosong dalam tubuh ini. Kami telah memberikan semuanya untuk bisa lolos sepanjang turnamen. Namun, kami pulang tanpa apa pun,” tutur Damsgaard.
Kjaer mengawali nasib sial Denmark lewat gol bunuh diri, beberapa menit setelah gol indah Damsgaard. Seusai turun minum sampai babak tambahan waktu, daya ledak tim “Dinamit” menurun drastis. Skuad asuhan pelatih Kasper Hjulmand ini kelelahan.
Saya berdiri di sini dengan perasaan kosong dalam tubuh ini. Kami telah memberikan semuanya untuk bisa lolos sepanjang turnamen. Namun, kami pulang tanpa apa pun
Baca juga : Dinamit Denmark Siap Meledak
Denmark tidak punya pilihan selain membentuk benteng kokoh di pertahanan. Berkali-kali kiper Kasper Schmeichel menahan gempuran dari Harry Kane dan rekan-rekan, termasuk gangguan psikis dari teriakan sekitar 58.000 pendukung tuan rumah.
Saat 120 menit hampir berlalu, tiba-tiba wasit Danny Makkelie memberikan Inggris penalti karena Raheem Sterling terjatuh. Kjaer dan kawan-kawan terkejut. Dalam tayangan ulang nyaris tidak terlihat sentuhan kepada Sterling. Mantan pelatih Arsenal yang menjadi pengamat laga ini, Arsene Wenger, juga berkata, itu bukanlah penalti.
Penalti tetap diberikan setelah konfirmasi video asisten wasit (VAR). Schmeichel yang diganggu dengan cahaya laser oleh penonton, berhasil menepis penalti Kane. Sialnya, bola itu lepas dari pelukan sang kiper dan kembali lagi ke kaki Kane.
Hjulmand marah. Dia menilai Inggris tidak sepatutnya dapat penalti. Apalagi beberapa detik sebelum Sterling terjatuh, ada bola cadangan yang masuk ke lapangan. Sehingga ada dua bola di lapangan saat bersamaan. Sang pelatih memberi tahu itu kepada ofisial keempat, tetapi tidak digubris.
Baca juga : Denmark Lolos dari Lubang Jarum ke Babak 16 Besar
Kesedihan Kjaer, kekosongan Damsgaard, dan kemarahan Hjulmand adalah akhir kejutan tim “Dinamit”. Tidak akan ada dongeng indah seperti 29 tahun silam, ketika mereka merajai Piala Eropa 1992 dengan hanya modal tekad dan kebersamaan.
Kemenangan hati
Denmark memang sudah pasti tidak pulang dengan trofi. Namun, mereka bisa dianggap sebagai juara sejati di turnamen ini, karena telah memenangkan hati banyak orang. Seperti dikatakan pelatih legendaris Manchester United Sir Alex Ferguson, hanya juara sejati yang tetap bernilai meskipun kalah.
Setelah kalah, pasukan Denmark masih mendapat sanjungan dari pendukung dan pemain lawan. Menurut Kane, Denmark begitu tangguh karena punya satu kelebihan yang tidak dimiliki banyak tim lain. “Kesatuan, itulah kekuatan terbesar mereka. Mereka harus bangga dengan apa yang telah dicapai,” ucapnya.
Kesatuan itu tidak jatuh dari langit. Tim “kuda hitam” ini harus melewati jalan derita sejak awal turnamen. Pada laga pembuka, mereka ditimpa musibah karena sang pemain kunci, Christian Eriksen, mendadak kolaps di lapangan.
Baca juga : Tragedi Eriksen, Pentas Kemanusiaan di Opera Kopenhagen
Keadaan Eriksen, yang sempat berada dalam garis hidup atau meninggal di lapangan, menghantam kondisi psikis tim. Ditambah lagi, Eriksen tidak bisa kembali ke skuad. Sejak itu, mereka ibarat pasukan Avengers yang bertarung tanpa Iron Man.
Anak asuh Hjulmand justru semakin menyatu sejak tragedi itu. Mereka tampil gagah berani ketika Eriksen sedang berjuang hidup. Seluruh pemain, dipimpin Kjaer, bersatu melindungi sang gelandang. Dunia dibuat kagum berkat aksi kemanusiaan mereka.
Setelahnya, kata Hjulmand, tim ini tidak takut kepada siapa pun. Mereka telah melewati momen paling menyeramkan, yaitu pengalaman menuju kematian. Pengalaman itu tidak hanya merekatkan tim, tetapi juga penduduk Denmark serta seluruh pecinta sepak bola dunia dalam ikatan kemanusiaan.
Meski kalah, perjuangan Denmark mencapai semifinal sudah pantas disebut sebagai keajaiban. “Kami telah berdiri tegap bersama, melawan semua pertarungan sampai titik terakhir. Semua ini adalah hal yang luar biasa meski tidak bisa mencapai final. Mereka menakjubkan,” jelas Hjulmand.
Kami telah berdiri tegap bersama, melawan semua pertarungan sampai titik terakhir. Semua ini adalah hal yang luar biasa meski tidak bisa mencapai final. Mereka menakjubkan
Kjaer memang menjadi biang kekalahan karena gol bunuh diri. Namun, semua kesalahannya tidak berarti sama sekali jika dibandingkan kontribusinya. Bek tengah ini dianggap pahlawan dalam sepak bola karena aksi sigapnya menyelamatkan nyawa Eriksen. Dia juga sudah menjadi pemimpin terbaik kala rekan-rekannya dan istri Eriksen hanya bisa menangis dalam tragedi tersebut.
Baca juga : Lingkaran Penebus Kebersamaan Tim ”Dinamit” Denmark
Keteguhan hati sang juara sejati ditunjukkan sekali lagi di akhir pertandingan. Kjaer kembali memimpin rekan-rekannya membentuk barisan sejajar. Dengan air mata yang masih menggenang dan tubuh lemas, mereka membungkuk kepada 8.000 pendukung Denmark yang hadir di tribun Wembley.
Denmark sudah gugur, tetapi masih punya wakil di final. Eriksen, untuk pertama kalinya, akan kembali ke stadion setelah kolaps dan menjalani perawatan di rumah sakit. Dia akan datang menonton partai final bersama tim medis yang menyelamatkannya.
Kehadiran Eriksen akan menutup kisah kemanusiaan yang sudah dipanggungkan sejak tragedi pada awal Piala Eropa. Sekaligus, menjadi penutup cerita Denmark di pengujung turnamen. Bersama Eriksen dan kisah humanisnya, dongeng Denmark belum berakhir… (AP/AFP)