Kesempatan Emas Tim ”Dinamit” Mengulangi ”Dongeng” Gothenburg
Denmark hanya tinggal dua langkah mengulangi keajaiban di Gothenburg, 1992 silam. Memiliki karakter solid dan eksplosif seperti "total football" Belanda, tim "Dinamit" siap kembali meledak saat menghadapi Inggris.
Jika saja Piala Eropa 2020 tidak ditunda setahun, pelatih Kasper Hjulmand tidak akan mendampingi tim nasional Denmark. Tidak akan ada pula kejadian kolapsnya gelandang kreatif, Christian Eriksen, yang memicu ledakan semangat dan performa tim ”Dinamit”.
Terlepas dari tragedi Eriksen, yang tidak lagi bisa tampil, semesta seolah-olah telah ”berkonspirasi” mendukung tim Dinamit. Takdir kini menempatkan mereka sebagai satu-satunya ”kuda hitam” yang tersisa di semifinal Piala Eropa 2020.
Sebagai satu-satunya semifinalis yang nyaris tidak memiliki beban ekspektasi, Denmark justru bisa berbahaya bagi lawannya, tim-tim favorit mana pun. Catatan sejarah pun telah berkata demikian.
Walaupun tidak sering, bukan sekali atau dua kali tim-tim kuda hitam mampu melangkah jauh, bahkan menjadi kampiun di turnamen besar sepak bola. Pada Piala Dunia 1954 di Swiss, misalnya, Jerman Barat mengguncang dunia.
Baca juga : Tragedi yang Mempersatukan Negeri Surgawi
Tim dari negara yang sempat terkotak-kotak dan luluh lantak akibat Perang Dunia II itu menjadi juara kejutan di Swiss. Tanpa satu pun bintang, pasukan Sepp Herberger mengalahkan favorit juara, Hongaria, di final.
Jerman memang ditakdirkan juara. Jika saja Herberger batal memanggil Helmut Rahn, mantan buruh tambang batu bara yang bengal, Jerman tidak akan mengalahkan Hongaria yang dibela legenda Ferenc Puskas.
”Mereka (Federasi Sepak Bola Jerman) memang tidak mencari pemain-pemain terhebat, melainkan tim terbaik. Langkah itu dimulai dengan Herberger,” ujar Ulrich Hesse, sejarahwan dan penulis sepak bola Jerman, dikutip Deutsche Welle.
Keajaiban Bern
Berkat kolektivitas, semangat juang, dan tekad membara bak pejuang, Jerman membalikkan keadaan pada final 1954 di Bern, Swiss. Sempat tertinggal 0-2 lebih dulu, mereka menang 3-2, salah satunya lewat gol penutup Rahn yang dicetak melalui sontekan kaki kirinya yang lemah.
Peristiwa yang membuat Jerman mulai dikenal sebagai ”sesuatu”, yaitu kekuatan sepak bola dan berbagai dimensi lainnya, itu dikenang sebagai ”Keajaiban Bern”. Tim liliput yang tidak dipandang telah menjungkalkan tim terkuat dan terglamor sejagat yang tidak terkalahkan di 30 laga sebelumnya.
Tim Dinamit kini seperti ular hidra dengan kepala sembilan dari mitologi Yunani. Dipenggal satu, akan muncul dua kepala. Mereka terus bertumbuh dari luka yang diderita.
Kejutan kembali tercipta, 38 tahun berselang. Seperti pada 1954, saat itu, dunia tengah berbenah dari kehancuran akibat Perang Dingin. Pada Piala Eropa Swedia 1992, Belanda dan Jerman (yang untuk pertama kali tampil sebagai negara kesatuan) menjadi favorit juara.
Baca juga : Tim Kuda Hitam Berlari Mengejar Keajaiban
Tim ”Oranye” ketika itu dipimpin Rinus Michels, penemu ”total football”. Belanda saat itu pun diperkuat barisan pemain ”generasi emas”, seperti Marco van Basten, Ruud Gullit, Frank Rijkaard, dan Ronald Koeman.
Adapun tim ”Panser” menjelma kekuatan terbesar dunia. Saat itu, mereka berstatus juara dunia bertahan dengan barisan pemain bintang, seperti Juergen Klinsmann, Karl-Heinz Riedle, dan Stefan Effenberg.
Satu tim lainnya, Denmark, hanya dianggap sebagai pelengkap. Mereka mendadak tampil di Swedia untuk menggantikan Yugoslavia yang didiskualifikasi akibat dilanda perang saudara. Denmark kala itu finis sebagai runner up di bawah Yugoslavia, pada babak kualifikasi.
Inilah awal ”mestakung” (semesta mendukung), prolog dari suratan takdir tim Dinamit menuju kisah terhebatnya. Walaupun hanya punya waktu sepekan berlatih, Denmark tidak ingin menyia-nyiakan peluang emas tampil di Piala Eropa.
Padi merunduk
Diperkuat mayoritas pemain yang berkarier di luar negeri, seperti Peter Schmeichel, Henrik Larsen, dan Brian Laudrup, tim Dinamit seperti padi merunduk. Meskipun solid dan kaya pengalaman, Denmark tidak ingin menyombongkan diri.
”Kami tim yang bagus, pernah mengalahkan Yugoslavia di kualifikasi, beberapa pekan jelang dimulainya kompetisi. Saat diikutkan dalam turnamen, kami hanya ingin bermain sebaik mungkin. Tidak ada ketegangan, kegagalan, karena tidak ada ekspektasi. Kami kalah 0-5 tiga kali pun tidak ada masalah,” ujar Kim Vilfort, pemain Denmark saat itu, dikutip BBC.
Jadi, saat itu, Denmark hanya ingin bermain dan mencurahkan kebahagiaannya, bak bocah yang akhirnya diizinkan masuk ke taman bermain yang mewah. Karena tampil lepas dan tanpa beban, Denmark justru sangat menakutkan dan mengejutkan.
Mereka tidak takut melawan tim mana pun karena tidak punya ambisi muluk-muluk. Kaki-kaki mereka pun ringan melangkah karena tidak dibelenggu target apa pun. Hasilnya, tim Dinamit menyisihkan dua raksasa, Inggris dan Perancis, pada babak penyisihan grup. Mereka hanya kalah sekali, yaitu dari tuan rumah Swedia, di fase itu.
Pada babak semifinal, mereka menyingkirkan tim glamor, Belanda, lewat adu penalti berkat kegemilangan Schmeichel pada laga di Gothenburg itu. Puncaknya, pada final yang juga di Gothenburg, tim Dinamit meledak. Saat itu, Denmark menghancurkan Jerman, 2-0. Kejayaan Denmark itu dikenang sebagai ”Dongeng Gothenburg”.
Kolektivitas dan tekad juang itu terjadi karena mereka bermain seperti keluarga atau klub, bukan tim nasional. Mayoritas pemain Denmark saat itu adalah pemain atau alumnus klub Denmark, Brondby. Satu sama lainnya bahkan telah saling mengenal sejak usia remaja.
Spirit itu serupa yang disebut Hesse saat menggambarkan tim ”ajaib” Jerman pada Piala Dunia 1954. ”Kami memang tidak punya pemain terhebat. Akan tetapi, kami punya tim terbaik dan semangat hebat,” ujar Vilfort, pencetak gol di final Piala Eropa 1992.
Pengagum Cruyff
Narasi indah itu kini tengah ditulis ulang anak Schmeichel, Kasper Schmeichel, dan timnya di Piala Eropa 2020. Schmeichel pernah menciptakan dongeng itu saat membela klub Leicester City. Dianggap tim "ingusan", Leicester menampar klub-klub kaya Inggris, seperti Manchester United, dengan menjadi juara kejutan Liga Inggris pada 2016 lalu.
Kini, ia ingin mengulangi keajaiban itu bersama negaranya. Hadirnya Hjulmand, pelatih baru Denmark sejak 1 Juli 2020, menjadi prolog dari dongeng baru tim Dinamit di milenium ini. Meskipun bukanlah berasal dari klub dan tim besar, mantan pelatih klub Denmark, Nordsjaelland, itu punya idealisme besar dan visi setinggi langit.
Ia adalah pengagum total football dan sepak bola indah yang pernah dibangun Johan Cruyff di Ajax Amsterdam dan Barcelona. Maka, timnya saat ini pun jauh dari istilah pragmatis yang dahulu biasa dimainkan tim-tim Skandinavia. Tim Dinamit saat ini memadukan etos kerja, kolektivitas, dan teknik individu. Para pemain di lini depan dan tengah kerap bertukar posisi, seperti total football ala Cruyff.
Tak pelak, mereka bisa menghancurkan perempat finalis Piala Dunia 2018, Rusia, dengan skor telak, 4-1. Mereka juga sempat menyengat Belgia, tim nomor satu dunia, dengan gol cepat Yussuf Poulsen pada menit ke-2 laga kedua tim di penyisihan grup. Mereka juga menghancurkan pertahanan tim kuda hitam lainnya, Ceko, hanya dalam waktu lima menit di babak perempat final.
Maka, menghadapi Inggris, Denmark tidak akan berdiam diri, bertahan, dan bermain aman. Mereka akan tampil agresif sejak menit pertama untuk berupaya membongkar pertahanan Inggris, tim yang gawangnya belum kebobolan satu gol pun di Piala Eropa 2020 sejauh ini.
"Salah satu idola saya, Johan Cruyff, berkata, Anda tidak bisa bermain bola dengan rasa takut. Jadi, saya katakan dengan jelas, penting bagi kami untuk bermain tanpa rasa takut," ujar Hjulmand dikutip AFP.
Meskipun memiliki visi seperti tim-tim besar di masa lalu, seperti halnya pada 1992, tim Dinamit saat ini juga dibangun dari klub-klub lokal. Kali ini, klub-klub itu yaitu Nordsjaelland dan Midtjylland. Mayoritas pemain Denmark saat ini, seperti Jens Larsen, Anders Christiansen, dan Mikkel Damsgaard, dibesarkan oleh salah satu dari kedua klub itu.
Mitologi Yunani
Salah satu nilai-nilai yang diajarkan di sana yaitu ”tanggung jawab”. Tak peduli berapa usia pemain atau latar belakangnya, mereka akan dimainkan sepanjang dinilai layak. Sang pemain pun akan habis-habisan menjaga tanggung jawab itu.
Tidak heran, menurut Sture Sando, jurnalis sepak bola Denmark, tim Dinamit kini seperti ular hidra dengan kepala sembilan dari mitologi Yunani. ”Kamu penggal satu, akan muncul dua kepala. Mereka terus bertumbuh dari luka yang diderita,” ujarnya di situs UEFA.
Baca juga : Tragedi Eriksen, Pentas Kemanusiaan di Opera Kopenhagen
Ia merujuk penampilan sensasional gelandang muda, Damsgaard, yang menempati tempat Eriksen. Lalu, saat Yussuf Poulsen absen di fase 16 besar, muncul Kasper Dolberg dan Larsen, dengan fenomenal.
Maka jika tidak berhati-hati, mimpi Inggris meraih trofi perdana Piala Eropa bakal musnah dirampas negeri dongeng, Denmark. ”Semua di tim ini ingin berjuang, saling membantu. Kami punya kebersamaan, tekad hebat, dan talenta. Kami bisa juara,” ucap Damsgaard.