Inggris bersemangat mengakhiri penantian gelar juara selama 55 tahun, adapun Denmark termotivasi musibah yang dialami gelandang Christian Eriksen.
Oleh
Adi Prinantyo
·4 menit baca
Setelah tampil sebagai juara dunia 1966, yang digelar di negaranya sendiri, Inggris merasa optimistis bakal menjadi kampiun lagi, baik di level dunia juga Eropa. Tak terasa, penantian itu berjalan 55 tahun, dan selama itu pula Inggris terbelenggu imajinasi juara.
Semua pelatih Inggris selalu optimistis bahwa mereka akan memboyong Piala Dunia lagi. Termasuk di dalamnya Sir Alf Ramsey, pelatih tim “Tiga Singa” yang merebut Piala Dunia Inggris 1966.
Ketika timnya dipecundangi di perhelatan Meksiko 1970, Ramsey terhenyak dan berkata, “Sekarang harus melihat ke depan, ke Piala Dunia berikutnya di Muenchen, di mana peluang kita untuk memenangkannya saya yakini sangat besar”, seperti ditulis dalam buku Soccernomics, karya Simon Kuper dan Stefan Szymanski. Buktinya? Inggris ternyata tidak lolos kualifikasi ke Jerman 1974.
Seiring waktu, sudah 15 lebih pelatih setelah Ramsey menangani tim Inggris, tetapi piala bergengsi tak kunjung diraih. Di antara para pelatih itu ada nama-nama besar seperti Terry Venables dan Bobby Robson, juga dari luar Inggris, seperti Sven Goran-Eriksson yang asal Swedia, dan Fabio Capello (Italia).
Begitu apesnya Inggris dengan semifinal, sampai-sampai muncul istilah “semifinal hoodoo”, atau malapetaka semifinal.
Yang terjadi, langkah terjauh Inggris hanya sampai di empat semifinal kejuaraan besar sebelum ajang Piala Eropa kali ini. Dua semifinal di Piala Dunia, Italia 1990 dan Rusia 2018, serta dua semifinal Piala Eropa yaitu Italia 1968 dan Inggris 1996. Mereka selalu gagal meraih kemenangan di empat laga semifinal itu. Begitu apesnya Inggris dengan semifinal, sampai-sampai muncul istilah “semifinal hoodoo”, atau malapetaka semifinal.
Laga melawan Denmark di semifinal Piala Eropa 2020, Kamis (8/7/2021) dini hari pukul 02.00 WIB, menjadi peluang bagi Inggris untuk mengakhiri malapetaka semifinal, sekaligus menciptakan final pertama kejuaraan besar setelah menanti 55 tahun.
Peluang itu terbuka setelah aksi impresif Inggris di Euro 2020, sebagian melebihi ekspektasi. Salah satunya tentu saja kemenangan 2-0 atas Jerman di fase 16 besar, yang ibarat kemenangan paling didamba warga Inggris sepanjang hayat. Belum habis gembira mereka dengan kemenangan itu, suka ria berlanjut dengan kejayaan 4-0 atas Ukraina di perempat final.
Bagi pelatih Inggris Gareth Southgate, penantian 55 tahun cukup sudah. Kini saatnya mengakhirinya. “Kami telah menyingkirkan begitu banyak kesialan atau kendala-kendala potensial, dan saya rasa tim ini antusias dengan tantangan ke depan,” ujar Southgate, yang termasuk skuad Piala Eropa 1996.
Namun, lawan yang dihadapi Inggris bukan sembarangan. Denmark juara Eropa 1992, yang waktu itu bermula dari tim kuda hitam karena hadir di putaran final sebagai pengganti Yugoslavia. Dari situlah lahir sebutan tim “Dinamit”, karena “ledakan” permainan Lars Olsen dan kawan-kawan kala itu.
Pada ajang kali ini, meski hanya mengantongi satu kemenangan pada laga fase grup, Denmark mulai “meledak” di fase 16 besar saat menang telak 4-0 atas Wales, dan 2-1 atas Ceko di perempat final. Tim asuhan Kasper Hjulmand termotivasi oleh sakit yang diderita gelandang Christian Eriksen, yang kolaps di lapangan saat berlaga melawan Finlandia, 12 Juni 2021.
Tak kalah dengan Tiga Singa, tim Dinamit juga optimistis. Bek Denmark, Andreas Christensen yakin, Denmark punya segala kemampuan untuk meredam striker Inggris, Harry Kane, dalam laga di Wembley. Christensen yang membela Chelsea, sejauh ini punya rekam jejak bagus saat menghadapi Kane, yang di Liga Inggris tergabung di Tottenham Hotspur.
“Kami memahami kualitasnya, dan siapa pun (di tim Denmark) punya cara untuk mematikan pergerakan dia. Pierre-Emile Hojbjerg (gelandang Tottenham) juga tahu bagaimana Kane, dan rasanya dia akan berbagi beberapa informasi,” ujar Christensen.
Kasper Hjulmand menilai, lolosnya mereka ke semifinal tergolong magis. "Yang pertama saya tunjukkan ke para pemain adalah foto Stadion Wembley (arena final), saat kami di sana musim gugur lalu. Saya katakan bahwa kami akan kembali," tutur dia.
Laga semifinal ini ibarat pertarungan dua motivator: Southgate dan Hjulmand. Sama-sama memimpin tim di tengah pandemi, keduanya harus memutar otak agar tim tetap menampilkan performa terbaik, di tengah kendala kebugaran karena intensitas laga sebelum dan selama kejuaraan, juga karena problem-problem khas pandemi.