Italia tak lagi identik dengan "catenaccio" di Piala Eropa 2020, sama seperti Spanyol yang tak lagi sepenuhnya memainkan "tiki-taka". Dua seteru yang telah bertransformasi akan bertemu di semifinal.
Oleh
Sindhunata, wartawan
·5 menit baca
Laga Spanyol lawan Italia sering dilukiskan sebagai pertarungan ideologi. Tiki-taka versus catenaccio. Dalam Piala Eropa 2020, lukisan itu kiranya tidak berlaku. Bagi Italia, catenaccio sudah menjadi masa lalu. Sementara itu bagi Spanyol, tiki-taka tak terlalu berbekas lagi.
Pelatih Spanyol, Luis Enrique tetap menggunakan sistem 4-3-3 dari tiki-taka yang asli. Namun, ia menempatkan penyerang sayapnya lebih tinggi. Pemain diminta tetap rajin mengejar bola, begitu kehilangan. Risikonya, mereka mengorbankan kedalaman, dan pertahanan mereka menjadi kendor. Apalagi mereka tak lagi mempunyai pemain seperti Gerard Piqué dan Sergio Ramos, sepasang bek gigih yang menjamin amannya lini belakang, saat rekan-rekannya nyaman menyerang.
Enrique sadar, tiki-taka Spanyol tak akan berjalan efektif, karena mereka tidak lagi memiliki Andrés Iniesta dan Xavi Hernández, sepasang virtuoso bola yang mengatur kecepatan, bergerak cerdas, dan bisa dengan brilian menerobos garis pertahanan lawan. Di ”La Roja” saat ini, Pedri dari Barcelona adalah pemain yang tepat di posisi itu. Namun, ia masih harus belajar banyak untuk bisa berperan seperti Xavi atau Iniesta.
Tika-taka memang hebat. Dengan tiki-taka, Spanyol menggondol berturut-turut Piala Eropa 2008, Piala Dunia 2010, dan Piala Eropa 2012. Namun, menurut analis sepak bola, Frank van Laeken, era tika-taka tampaknya harus berakhir. Tiki-taka itu anakronistis, tak sesuai lagi dengan zamannya. Di Spanyol sendiri, master tiki-taka, FC Barcelona, keok. Malah juaranya adalah Atletico Madrid, klub yang cakap mengonversi permainan defensif menjadi mesin bola yang efektif.
Maka kata Van Laeken, ”Apa yang kamu buat dengan bola jauh lebih penting daripada bola yang kamu miliki. Spanyol lupa melangkah ke sepak bola modern, dan terbenam dalam romantisme lama, di mana keindahan mendominasi dan kecakapan seni seakan harus menjadi esensi.”
Kendati demikian Enrique bersikeras mempertahankan tika-taka, walau dengan modifikasi dan adaptasi yang diinginkannya. Alasannya, tanpa tika-taka, Spanyol akan kehilangan rohnya. Sehubungan dengan hal ini, legenda bola, César Luis Menotti memang pernah mengingatkan, ”Spanyol mesti memutuskan, apakah ia akan tinggal menjadi banteng atau berubah menjadi torero.”
Di bawah pelatih Javier Clemente, Spanyol lebih menjadi banteng, yang mengejar bola dan membawanya dengan membabi buta. Baru ketika menjadi torero dengan tika-taka-nya, Spanyol bermegah, baik di taraf dunia maupun dalam taraf klub sepak bolanya.
Enrique adalah seorang torero. Namun, dalam dirinya ia tetaplah banteng, anak asuhan Clemente. Karena kebantengannya itu, ia berani menjadi torero yang terluka. Itulah kenangan ketika Spanyol kalah melawan Italia pada fase gugur piala Dunia 1994 di stadion Foxborough, Massachusetts, Amerika Serikat. Satu-satunya gol Italia dibuat oleh Roberto Baggio pada menit ke-88.
Pada pertandingan yang panas itu Mauro Tassotti menyikut Enrique di area penalti. Hidung Enrique, pemain Real Madrid itu, bocor dan bercucuran darah. Tetapi wasit Sándor Puhl tak mau memberi penalti bagi Spanyol.
”Wasit berdiri dekat dan melihat kekerasan itu. Ia bahkan tidak peduli dengan darah yang mengalir itu. Maklum, 50 ribu imigran Italia memenuhi stadion. Italia seperti bermain di kandang. Wasit memang sering takut untuk memutuskan sesuatu yang merugikan tim kandang,” kata Clemente, pelatih Spanyol, gusar. Ketika dianalisis lewat video, ketahuan Tassotti memang bermain sangat kasar. Ia diskors 8 pertandingan. Namun hukuman itu sudah terlambat bagi Spanyol.
Apa yang kamu buat dengan bola jauh lebih penting daripada bola yang kamu miliki.
Darah Enrique itu makin menggoreskan luka bagi Spanyol setiap kali harus berhadapan dengan Italia. Di dunia bola, dengan irasionalitas yang sulit dimengerti, Spanyol dan Italia telah menjadi musuh bebuyutan. Di mata Spanyol, Italia dianggap kesebelasan yang paling tidak sportif. Italia adalah ”apa yang bukan Spanyol”. Jelasnya, bagi Spanyol, Italia adalah kesebelasan yang hanya pandai bermain defensif, kotor, sinis, membosankan, dan tidak sukses. Persaingan memang suka tergoda untuk melebih-lebihkan.
Dengan nyali banteng dan jiwa torero, Spanyol akan menghadapi Italia di semifinal Piala Eropa 2020. Tidak mudah bagi Spanyol. Seperti dikomentari oleh AS, koran Spanyol sendiri: Bermain melawan Italia rasanya jauh lebih tidak nyaman daripada ke dokter gigi. Dan kiranya malapetaka akan terjadi, bila Spanyol menganggap Italia masih kuno dengan catenaccio-nya. Ketika menekuk Belgia di Muenchen, Italia dibawah Roberto Mancini jelas sudah meninggalkan catenaccio menuju renaisans permainan bola yang ofensif. Dengan renaisans itu, justru Italia yang kini membuat lawannya terpojok, terperangkap dalam permainan defensif.
Pemain Italia terlihat seperti jatuh cinta terhadap bola. Mereka bermain dengan taktis dan agresif. Namun, sentuhan rasa juga memancar dari permainan mereka. Sentuhan itu bahkan tampak dalam ekspresi kedekatan dan kegembiraan mereka. Italia nyaris kebobolan di menit ke-61, ketika Romelu Lukaku menendang bola ke gawang Italia yang kosong, setelah ia menerima umpan dari Kevin de Bruyne. Untung ada Leonardo Spinazzola yang menghalau tendangan maut itu.
Un bacio, sebuah ciuman, itulah yang diberikan oleh kapten Giorgio Chiellini dan kiper Gianluigi Donnarumma kepada Spinazzola karena aksi penyelamatannya yang fantastis itu. Aksi Chiellina dan Donnarumma adalah ekspresi spontan dari suasana batin kesebelasan Italia. Mereka bukan lagi tim yang keras dan martialis. Mereka adalah keluarga, yang bermain bola dengan digerakkan jiwa dan rasa kebersamaan.
Italia menghadapi Spanyol dengan optimisme renaisans bola mereka. Tetapi, bahaya bila optimisme renaisans itu membuat mereka lupa sama sekali akan catenaccio, tradisi yang khas mereka. Sebab biar bagaimana pun, seperti pernah dikatakan Arrigo Sacchi, catenaccio adalah warisan mental Italia sejak Abad Pertengahan, di mana mereka berhasil menghalau serangan musuh-musuhnya karena benteng dan sistem perbentengan mereka yang kuat.