Formasi Tiga Bek Pembawa Tangis dan Tawa
Gareth Southgate dan Didier Deschamps sama-sama berjudi dengan formasi tiga bek. Namun hasilnya berbanding terbalik. Di luar hasilnya, formasi tiga bek telah menggoda perhatian banyak tim.
Pelatih Inggris Gareth Southgate disanjung setinggi langit. Pria yang disebut pelatih miskin taktik pada babak grup Piala Eropa 2020 ini, tiba-tiba dijuluki sebagai seorang jenius dalam adu strategi setelah Inggris mendepak Jerman pada babak 16 besar.
Perubahan formasi sang pelatih dari empat bek (4-3-3) menjadi tiga bek (3-4-3) dinilai sebagai kunci kemenangan Inggris. “Pelatih kami (Southgate) tahu apa yang dilakukannya (dengan perubahan),” kata mantan bek tim nasional Inggris, Gary Neville.
Pujian datang karena perubahan formasi “Tiga Singa” sangat instan. Perubahan ini baru direncanakan Southgate sekitar empat hari sebelum laga, setelah mengetahui akan berhadapan dengan Jerman. Dia langsung melatih formasi tiga bek selama jeda istirahat tim di markas, St. George Park.
Sebelumnya, Harry Kane dan rekan-rekan selalu tampil dengan formasi 4-3-3 sepanjang babak grup. Jadi, formasi 3-4-3 memang sengaja disiapkan sang pelatih untuk menangkal kekuatan sang rival abadi.
Beruntung bagi Southgate, perjudian itu sukses. Inggris sukses meredam kekuatan permainan cepat Jerman dengan strategi man to man. Tempo lambat ala “Tiga Singa” sukses memenangi pertarungan lewat dua gol dari Kane dan Raheem Sterling.
Kata Southgate, tidak ada pilihan selain bermain tiga bek. Itu cara satu-satunya mengimbangi formasi tiga bek lawan (3-4-2-1). Mereka harus bisa menang di sisi sayap, yang mana Luke Shaw dan Kieren Trippier berhasil mendominasinya.
Kami menyadari dengan sistem yang akan dipakai dan pemain yang dipilih. Jika kami tidak menang, kami akan mati.
“Kami menyadari dengan sistem yang akan dipakai dan pemain yang dipilih. Jika kami tidak menang, kami akan mati. Namun, kami memang harus mengambil risiko itu untuk bisa mengimbangi mereka,” ucapnya.
Perubahan ini tidak terlalu sulit diberlakukan. Inggris di bawah Southgate pernah menggunakan tiga bek pada Piala Dunia 2018. Pemainnya masih sama, misalnya Trippier. Sementara itu, bek kiri Shaw juga sering memainkan di klubnya Manchester United.
Dunia terbalik dirasakan oleh pelatih Perancis Didier Deschamps. Dia juga mencoba formasi tiga bek (3-4-1-2) ketika 16 besar. Tetapi, sang pelatih yang membawa Perancis juara dunia pada 2018 ini justru dikatakan sebagai biang kerok kekalahan tim dari Swiss.
Perancis, unggulan dalam Piala Eropa kali ini, justru tidak berdaya dengan tim “kuda hitam” Swiss. Pemain-pemain berbakat “Si Ayam Jantan” tidak bisa berbicara banyak dalam formasi yang baru pertama dipakai sejak babak grup tersebut.
Baca juga : Inggris Menangkal Fatamorgana Kejayaan
Sang juara dunia gagal total karena kondisinya berbeda dengan Inggris. Deschamps hanya terpaksa memakai formasi baru itu karena bek sayap Lucas Digne dan Lucas Hernandez kurang bugar. Alhasil, dia memasang gelandang Adrien Rabiot di posisi sayap kiri.
Alhasil, formasi baru ini menjadi petaka. Semua pemain tidak terbiasa karena formasi ini tidak pernah diuji coba sebelumnya. Sepanjang Deschamps menjabat sejak 2012, Perancis nyaris selalu memakai formasi empat bek.
Deschamps sekarang hanya bisa menyesali perjudian itu. “Saya sebagai pelatih akan bertanggung jawab dengan kekalahan ini. Tetapi, apakah hasilnya akan lebih bagus jika saya memasang formasi berbeda,” ujarnya.
Menjamur subur
Nasib baik Inggris dan takdir buruk Perancis, memperlihatkan satu fenomena di Piala Eropa, yaitu menjamurnya formasi tiga bek. Sekarang, mulai dari tim kecil seperti Ukraina sampai tim besar seperti Perancis memanggungkan formasi tersebut.
Baca juga : Gairah Wembley, Luka Inggris Berujung Pesta Kemenangan
Tercatat separuh dari tim 16 menggunakan formasi tiga bek, dengan gaya beragam. Mulai dari 3-4-3, 3-4-1-2. 3-4-2-1, 3-1-4-2, dan 3-5-2. Jumlah ini melonjak tajam dibandingkan gelaran empat tahun sebelumnya. Pada Piala Eropa 2016, hanya tiga tim yang menggunakannya yaitu Wales, Irlandia Utara, dan Italia.
Menurut The Athletic, fenomena formasi ini juga sudah terjadi sejak babak grup. Tanpa Perancis dan Inggris yang baru mengubah formasi pada 16 besar, formasi tiga bek dengan 5 varian masuk dalam 10 formasi paling sering digunakan. Formasi ini bersanding dengan formasi klasik sepak bola modern, 4-3-3 dan 4-2-3-1.
Jika melihat, fenomena di Piala Eropa bukan sebuah kejutan besar. Revolusi taktik memang sudah bagian dari sepak bola. Setiap dekade akan ada penyempurnaan menyesuaikan gaya dan karakteristik permainan.
Formasi trio bek tengah ini awalnya lahir dari mantan pelatih Arsenal (1925-1934) Herbert Chapman. Gaya ala Chapman sering disebut sebagai formasi “WM” karena seperti menggariskan huruf tersebut dengan 3-2-2-3.
Kemudian, formasi tersebut disempurnakan oleh Franz Beckebauer ketika membawa Jerman juara dunia pada 1990. Formasi Jerman saat itu lebih mirip dengan yang sedang menjamur saat ini. Mereka memakai 3-5-2, yang ketika bertahan bisa menjadi 5-3-2.
Formasi tersebut disempurnakan pada abad ini. Formasi trio bek mulai menjamur karena banyak klub sudah menggunakannya di liga domestik. Misalnya saja di liga terbaik dunia, Liga Inggris. Strategi 3-4-2-1 sudah dipakai 59 kali pada musim lalu, 2020-2021. Jumlah itu naik sebanyak 34 kali dari musim sebelumnya.
Salah satu tim yang terkenal dengan gaya tersebut adalah Chelsea. Semenjak dipegang Thomas Tuchel, mereka hampir selalu menggunakan formasi tiga bek. Formasi itu juga yang sukses mengantar mereka menjuarai Liga Champions musim lalu.
Tuchel menyukai formasi ini karena memberikan keseimbangan pada tim. Bek sayap bisa fokus menyerang tanpa khawatir terhadap serangan balik lawan. Saat bersamaan, bek sayap juga bisa membantu ketika bertahan, sehingga formasi menjadi lima bek.
Tim juga bisa lebih nyaman ketika membangun serangan dari bawah. Dua bek di antara bek tengah bisa naik sedikit ke posisi gelandang bertahan. Hal tersebut memungkinkan tim menumpuk pemain di lini tengah. “Dengan gaya ini kami bisa menguasai bola, juga memulai serangan balik cepat,” ucap Tuchel yang mengalahkan ahli strategi Manchester City, Josep Guardiola, di final Liga Champions.
Dengan gaya ini kami bisa menguasai bola, juga memulai serangan balik cepat.
Namun, tidak mudah bermain dengan formasi ini. Tim butuh pemain yang punya kualitas bermain di lebih dari satu posisi. Khususnya untuk lima pemain bertahan yang menjadi pusat permainan, seperti saat Inggris menaklukkan Jerman.
Di tengah menjamurnya musim ini, bukan tidak mungkin pertarungan tim dengan formasi tiga bek akan tersaji di final. Tentunya mereka harus memastikan kesiapan tim terlebih dulu. Sebab, ada dua nasib jungkir balik yang menanti, keberhasilan Southgate atau kegagalan Deschamps. (AP/AFP)