Tim "Kuda Hitam" Berlari Mengejar Keajaiban
Sejarah mencatat, Piala Eropa sering memunculkan tim nonunggulan atau kuda hitam menjadi juara baru Eropa. Di Piala Eropa 2020, Swiss dan Republik Ceko muncul sebagai kuda hitam yang siap berlari mengejar keajaiban itu.
BUCHAREST, SELASA – Tidak ada yang tidak mungkin dalam sepak bola. Dalam sejarahnya, Piala Eropa membuktikan bahwa tim-tim yang tidak diunggulkan atau "kuda hitam" berpeluang membuat kejutan bahkan mengangkat trofi Henri Delaunay, si penggagas ajang empat tahunan tersebut. Di Piala Eropa 2020 ini, Swiss dan Republik Ceko muncul sebagai kuda hitam yang siap berlari mengejar keajaiban tersebut.
”Selalu ada kejutan (di sepak bola). Ingat Korea Utara, mereka mengalahkan Italia (menang 1-0) di Piala Dunia 1966 Inggris. Kali ini, kami yang membuat kejutan,” ujar pelatih Yunani kala menjuarai Piala Eropa 2004 Portugal, Otto Rehhagel seusai mengangkat trofi Henri Delaunay 17 tahun silam.
Tidak ada negara yang pernah menulis kisah tim kuda hitam yang lebih bersejarah di kejuaraan sepak bola internasional selain Yunani tatkala menjuarai Piala Eropa 2004. Hingga kini, keajaiban Yunani bagaikan cerita dewa-dewa Olimpus dari mitologi mereka yang sulit dijelaskan kepada semua orang.
Baca juga : Perancis Terjatuh dari Puncak Pegunungan Alpen
Bagaimana tim tanpa pemain kelas dunia dengan peringkat ke-35 dunia kala itu menjadi jawara Eropa setelah mengalahkan para raksasa, seperti menyingkirkan Spanyol di penyisihan grup, menang 1-0 atas Perancis di perempat final, hingga menang dua kali atas Portugal di halaman rumahnya sendiri. Yunani menaklukan tuan rumah 2-1 di penyisihan grup dan 1-0 di final.
Yunani mengulangi kisah tak masuk akal Denmark di Piala Eropa 1992 Swedia. Tim Skandinavia ini seharusnya tidak ambil bagian dalam Piala Eropa edisi kesembilan itu karena menempati urutan kedua di bawah Yugoslavia dalam kualifikasi. Namun, karena meningkatnya konflik di wilayah Balkan yang membuat mereka disanksi oleh PBB, para atlet Yugoslavia tidak bisa ambil bagian dalam ajang internasional termasuk Piala Eropa.
Denmark pun dipanggil sebagai pengganti negara yang runtuh pada 1992 ini sembilan hari sebelum turnamen tersebut dimulai. Siapa sangka, sebulan kemudian, mereka kembali ke negaranya dengan status juara Eropa pasca menundukkan Jerman, 2-0, di final. Dari sana, mereka mendapatkan julukan tim "Dinamit".
”Kami sedang liburan saat mendapat panggilan berlaga di Piala Eropa 1992. Secara fisik, kami mungkin siap. Tetapi, secara mental, kami perlu bekerja keras menyiapkan diri bersaing di kejuaraan sekaliber itu (secara dadakan). Untuk memenanginya, itu ajaib, itu tak terduga,” terang kiper Denmark pada Piala Eropa 1992 Peter Schmeichel dikutip ESPN, Selasa (8/6/2021).
Baca juga : Hadapi Swiss, Perancis Mengatur Ulang Motivasi
Walau memiliki mega bintang Cristiano Ronaldo, Portugal bukan unggulan di Piala Eropa 2016 Perancis. Gugur di fase grup Piala Dunia 2014 Brasil, tim berjuluk "A Selecao" itu dipandang sulit bersaing dengan juara Piala Dunia 2014 Jerman, juara bertahan Piala Eropa Spanyol, dan tuan rumah Perancis. Akan tetapi, mereka membalikkan semua prediksi dan keluar sebagai juara dengan mengalahkan Perancis 1-0 di final.
Peluang terbuka
Kisah Yunani, Denmark, hingga Portugal menjadi bukti bahwa peta persaingan di Piala Eropa sulit ditebak. Tim mana pun berpeluang untuk juara, sekali pun hanya dinilai sebagai kuda hitam atau pelengkap belaka. Di Piala Eropa 2020, tanda-tanda itu mulai tampak. Lolos sebagai peringkat ketiga terbaik dari Grup A, Swiss bisa menyingkirkan juara Piala Dunia 2018 Rusia, Perancis di 16 besar lewat drama adu penalti 5-4 (3-3) di Stadion Nasional Bucharest, Rumania, Selasa (29/6).
Sebelumnya, tim peringkat ketiga terbaik dari Grup D, Ceko menumbangkan Belanda 2-0 dalam 16 besar di Stadion Ferenc Puskas Arena, Budapest, Hungaria, Minggu (27/6). Tim Oranye yang sedang merintis kebangkitannya terpaksa angkat koper lebih dini di pentas ini.
Sejauh ini, Swiss dan Ceko punya kesamaan dengan Yunani, Denmark, dan Portugal yang pernah membuat kejutan. Mereka semua bermain kompak sebagai satu kesatuan dan pantang menyerah. ”Kami tidak terbuat dari individu, kami dibangun sebagai sebuah tim. Dan kemudian dari tim ini, individu dibuat setelahnya,” kata gelandang Ceko Tomas Soucek di laman UEFA.
Baca juga : Adu Taktik Pelatih-pelatih Besar di Piala Eropa
Tim terbaik pantas untuk pergi ke babak berikutnya dan malam ini adalah Swiss. Sedangkan kami (Perancis) tidak bermain sebagai tim sehingga kami tidak pantas untuk pergi ke babak berikutnya.
Mantan gelandang Perancis Patrick Vieira dilansir BBC mengatakan, karakter seperti itu yang tidak dimiliki oleh Perancis sehingga mereka tersingkir lebih cepat dari gelaran kali ini. ”Tim terbaik pantas untuk pergi ke babak berikutnya dan malam ini adalah Swiss. Sedangkan kami (Perancis) tidak bermain sebagai tim sehingga kami tidak pantas untuk pergi ke babak berikutnya,” jelasnya.
Tak perlu cantik
Kesamaan lainnya, semua tim itu mengutamakan permainan efektif atau tidak perlu bermain cantik. Di Piala Eropa 1992, Denmark cuma mencetak gol enam gol dan kebobolan empat gol dari lima laga yang ada untuk menjuarai turnamen tersebut. Statistik mereka tidak semenakutkan tim-tim lain, seperti Jerman yang membuat tujuh gol tetapi kemasukan enam gol.
Yunani lebih pragmatis. Mereka hanya mencetak tujuh gol dan kebobolan empat gol dari enam laga untuk mengangkat trofi Piala Eropa 2004. Adapun finalis saat itu, Portugal superior dengan membuat delapan gol dan kemasukan enam gol.
Sempat mengkritik permainan Yunani di 2004, Portugal mempraktikan pola yang sama pada Piala Eropa 2016. Mereka cuma lolos ke babak sistem gugur dengan status peringkat ketiga terbaik. Rekornya mencetak sembilan gol dan kebobolan lima gol dari tujuh laga untuk memenangi Piala Eropa edisi ke-15 tersebut. Bandingkan dengan finalis ketika itu, Perancis amat produktif dengan membuat 13 gol dan hanya kemasukan empat gol.
Baca juga : Tangan Para Dewa Penyelamat di Piala Eropa
Pemain sayap Yunani di Piala Eropa 2004 Stelios Giannakopoulos dikutip The Sun, Senin (21/6), mengakui, pola permainan itu dianggap anti sepak bola. Sebab, mereka amat pasif dengan pelanggaran terkontrol, pertahanan ketat, mengandalkan bola-bola panjang ke pemain depan, serangan balik sporadis, dan mengoptimalkan bola mati. Terlepas dari kritikan yang ada, sistem itu dinilai canggih dan berjalan dengan sempurna untuk mengantarkan tim menjadi pemenang.
”Banyak orang yang mengritik permainan Rehhagel yang dianggap anti sepak bola. Tetapi ketahuilah, beberapa pelatih top, seperti Sir Alex Ferguson, Arsene Wenger, Jose Mourinho, Marcelo Lippi, dan banyak lagi lainnya justru mengadakan seminar membahas bagaimana Yunani menyerang dan bertahan. Ketika orang bilang ini anti sepak bola, pasti gaya permainan ini tidak pernah dibahas dan diajarkan dalam seminar,” tegasnya.
Legenda sepak bola Irlandia sekaligus mantan kapten Manchester United Roy Keane menilai, tim unggulan boleh jadi memiliki pemain berkualitas dunia sebagai modal untuk merengkuh gelar juara. Akan tetapi, semuanya jadi sia-sia kalau tidak bersikap dengan tepat.
Sebaliknya, tim nonunggulan bisa saja mengangkat trofi kalau mendapatkan momentum yang tepat. ”Swiss membuktikan itu (sejauh ini) dan mereka benar-benar brilian,” ungkapnya usai Swiss menyingkirkan Perancis di 16 besar Piala Eropa 2020 seperti dilansir Mirror.
Baca juga : Pahit dan Manis Spanyol dalam Drama 8 Gol di Kopenhagen
Tetap membumi
Kendati demikian, Swiss dan Ceko wajib tetap membumi untuk menjaga fokus mereka. Sebab, calon lawan pasti sudah mempelajari kelemahan mereka. Sekali kehilangan jati diri karena larut dengan kegembiraan, itu bakal menjadi bumerang yang mengakhiri kisah manis mereka.
Itu pula yang menjadi salah satu kunci kesuksesan Yunani di 2004. Menurut jurnalis terkenal Yunani sekaligus penulis buku laris "The Miracle Vasilis Sambrakos" di The Sun, para pemain tim berjuluk "Piratiko" atau Si Kapal Bajak Laut itu terhindar dari hingar-bingar euforia kemenangan selama Piala Eropa 2004 berlangsung.
Dengan terisolasi dari suasana perayaan, mereka bisa tetap fokus dan terus membumi. ”Bahkan, para pemain mengakui bahwa andai sudah ada media sosial waktu itu, mereka mungkin tidak akan memenangi Piala Eropa 2004,” tuturnya.
Tak pelak, pelatih Swiss Vladimir Petkovic meminta pemain tidak larut dalam eforia berlebihan jika ingin melangkah lebih jauh dalam kejuaraan kali ini. Apalagi Swiss akan berjumpa dengan salah satu tim unggulan, Spanyol dalam perempat final di Stadion Krestovsky, Saint Petersburg, Rusia, Jumat (2/7). ”Kami patut lebih kuat seiring waktu yang terus berjalan,” pungkasnya dikutip The Guardian. (AFP/REUTERS)