Berbagai prediksi, bahkan oleh superkomputer, dihancurkan Swiss setelah menyingkirkan Perancis di babak 16 besar Piala Eropa 2020. Kejutan dari Swiss itu menunjukkan, sepak bola tidak melulu soal angka dan rekor-rekor.
Oleh
Yulvianus Harjono
·3 menit baca
ROBERT GHEMENT/POOL VIA AP
Para pemain Swiss merayakan keberhasilan lolos ke perempat final setelah menyingkirkan favorit juara, Perancis, di babak 16 besar Piala Eropa 2020, Selasa (29/6/2021) dini hari WIB di Romania. Swiss menang lewat drama adu penalti.
Teknologi kecerdasan buatan, dibantu ”big data”, terbukti akurat memprediksi hal-hal yang akan terjadi di masa depan, seperti cuaca, pemenang pemilu, bahkan angka usia harapan hidup manusia. Namun, sains dan ilmu probabilitas tidak berdaya menerka hasil akhir laga sepak bola.
Babak 16 besar Piala Eropa 2020 menegaskan hal itu. Tim yang paling difavoritkan juara, Perancis, dipulangkan Swiss lewat adu penalti di Bucharest, Romania, Selasa (29/6/2021) dini hari WIB. Perancis pun menyusul sejumlah tim unggulan lain, seperti Belanda dan Portugal, yang juga tersingkir dini.
Padahal, sebelum turnamen itu digelar, berbagai prediksi, baik pengamat ternama maupun superkomputer, menjagokan ”Les Bleus” sebagai juara. Mengacu hasil riset Opta dan Stats Perform, perusahaan data analisa olahraga di Amerika Serikat, Perancis yang berisikan barisan pemain berkelas dunia memiliki peluang juara terbesar, yaitu hingga 20,5 persen.
Setelah Perancis, ada enam tim raksasa lain yang diunggulkan superkomputer itu, yaitu Belgia (15,7 persen), Spanyol (11,3), Jerman (9,8), Portugal (9,6), Italia (7,6), dan Belanda (5,9). Prediksi itu mengacu analisa banyak data, termasuk 40.000 kali simulasi laga.
Namun, mereka lupa, sepak bola bulat Karena bentuknya yang bulat, bola sepak bisa memantul ke berbagai penjuru, bahkan tiba-tiba berbelok arah menjauhi kiper. Hal itu diperlihatkan gol indah jarak jauh pemain Belgia, Thogan Hazard, saat menghadapi Portugal pada laga babak 16 besar lainnya. Gol yang tercipta lewat tendangan spekulatif keras bak peluncur roket itu membuat Portugal, juara bertahan, pulang lebih dini.
”Tidak ada gunanya membuat prediksi. Di sepak bola, hal-hal terus saja berubah sepanjang waktu. Setiap laga adalah peluang baru di mana tidak seorang pun tahu itu bakal hadir kembali di masa depan,” ujar bintang Portugal bergelimang prestasi dan rekor, Cristiano Ronaldo.
Ronaldo paham betul apa yang dikatakannya itu. Saat masih berusia 19 tahun, ia punya pengalaman menyakitkan. Disebut sebagai favorit juara karena memiliki barisan pemain generasi emas, seperti Luis Figo, Nuno Gomes, dan Rui Costa, tim tuan rumah dikalahkan ”kuda hitam” Yunani, 0-1, di final 2004.
Jika hanya melihat angka, saya akan ditolak (masuk) Ajax (Amsterdam). Visi dan teknik saya tidak terdeteksi komputer. (Johan Cruyff)
Kesuksesan Yunani saat itu disebut sebagai kejutan terbesar dalam sejarah Piala Eropa. Segala prediksi hancur berantakan. mengingat tim itu sama sekali tidak diperhitungkan juara. Ada yang menyebutnya kekalahan sepak bola indah karena Yunani bermain sangat pragmatis, mengandalkan gol dari bola mati.
Pengalaman buruk itu menjadi refleksi Portugal. Tidaklah difavoritkan juara, giliran mereka mematahkan prediksi dengan mengangkat trofi Piala Eropa di Perancis, 2016 silam. Hampir mirip seperti Yunani, 2004 silam, mereka tidak peduli statistik atau label unggulan. Tuan rumah Perancis, unggulan saat itu, lantas menjadi korban kecerdikan Portugal di final.
Sepak bola, walaupun berwujud, adalah sesuatu yang sangat intangible, bahkan tidak jarang melampaui spiritualitas. Tidak ada satu pun alat yang mampu mengukur kekuatan ”ledakan” motivasi tim Denmark seusai dihadapkan pada tragedi nyaris tewasnya bintang mereka, Christian Eriksen, di medan laga.
Tidak ada pula variabel yang mampu mengukur kolektivitas tim, hal yang menjadi kunci keberhasilan Ceko melaju hingga perempat final dengan mengalahkan Belanda, 2-0. Sepak bola bukan melulu soal angka, penguasaan bola, rekor menang atau kalah, dan berapa banyak pemain bintang yang dimiliki.
Sepak bola juga adalah soal hati, pikiran, dan tekad membara, seperti telah diperlihatkan Swiss. ”Jika hanya melihat angka, saya akan ditolak (masuk) Ajax (Amsterdam). Visi dan teknik saya tidak terdeteksi komputer,” ungkap Johan Cruyff, legenda Ajax dan Belanda, mengingatkan kita, suatu ketika.