Kerinduan Andy Murray untuk kembali tampil di Wimbledon terbayar setelah mengalahkan Nikoloz Basilashvili, Selasa dini hari WIB. Petenis yang telah lama bergulat dengan cedera itu dihujani tepuk tangan oleh penonton.
Oleh
YULIA SAPTHIANI
·4 menit baca
Dua hari sebelum Wimbledon 2021 dimulai, Andy Murray bercerita tentang debutnya di All England Club, London, pada 2005. Dia gugup, tetapi bisa bermain tanpa beban karena mencintai apa yang dilakukannya.
Di sela-sela 16 tahun perjalanannya setelah itu, Murray tetap melakukan apa yang dia cintai, yaitu bersaing di arena tenis profesional meski kerap mendapat pertanyaan tentang akhir kariernya.
”Orang selalu bertanya, ’Apakah ini akan menjadi Wimbledon atau pertandingan terakhir saya?’ Saya tidak tahu mengapa mereka bertanya itu. Saya jawab, ’Tidak. Saya akan tetap bermain. Saya ingin bermain,” katanya.
Publik memang kerap meragukan kelanjutan karier Murray, terutama setelah dia didera cedera pinggul. Masa kelam dimulai setelah dia mencapai masa terbaik dalam kariernya.
Pada 2016, Murray meraih sembilan gelar juara, termasuk dari ajang besar, seperti Wimbledon, Olimpiade Rio de Janeiro, dan Final ATP. Atas hasil itu, Murray pun untuk pertama kalinya menempati puncak peringkat dunia pada 7 November 2016 dan bertahan selama 41 pekan.
Menahan rasa sakit
Tidak lagi bisa menahan rasa sakitnya, petenis yang mendapat gelar Sir dari Kerajaan Inggris pada Desember 2016 itu hanya bertahan selama setengah musim kompetisi pada 2017. Kekalahan dari Sam Querrey pada perempat final Wimbledon 2017 menjadi penampilan terakhirnya di turnamen tenis tertua itu. Murray pun menjalani dua kali operasi, pada 2018 dan 2019, sebagai upaya untuk menyembuhkan cederanya.
Pada 2018, dia hanya mengikuti enam turnamen sejak pertengahan tahun. Dalam empat Grand Slam terakhir yang diikutinya sejak 2018, petenis berusia 34 tahun itu tak pernah melewati babak kedua.
Murray bahkan harus mengasah kemampuan dan rasa percaya dirinya dengan mengikuti turnamen ATP Challenger, rangkaian turnamen yang levelnya berada di bawah ATP World Tour.
Namun, masa-masa suram itu tak pernah menyurutkan rasa cinta Murray pada tenis. Apalagi, dia memiliki ibunya, Judy Murray, yang berprofesi sebagai pelatih tenis sekaligus motivatornya.
”Saya tidak tahu persis apa yang melatarbelakangi saya hingga bisa menjalani karier seperti sekarang. Mungkin, tenis telah mengakar dalam hidup saya. Sulit bagi saya untuk melepaskan apa yang saya cintai. Saya merindukan berada di Lapangan Utama Wimbledon,” kata Murray.
Rindu terbayar
Rasa rindu itu akhirnya terbayarkan ketika dia menghadapi Nikoloz Basilashvili pada babak pertama Wimbledon 2021 di Lapangan Utama All England Club, Senin (28/6/2021) malam waktu setempat atau Selasa dini hari waktu Indonesia. Murray tampil di Wimbledon, turnamen yang batal diselenggarakan pada 2020 karena pandemi Covid-19, dengan fasilitas wildcard dari panitia.
Penghormatan dari penonton diberikan melalui standing ovation (tepuk tangan sambil berdiri) ketika Murray memasuki lapangan. Panitia memperbolehkan kedatangan penonton, maksimal 50 persen dari kapasitas kursi di seluruh lapangan.
Untuk final, pada 10 dan 11 Juli, Lapangan Utama bahkan diperbolehkan dipenuhi penonton hingga 15.000 orang. Mereka yang datang harus menunjukkan surat telah divaksin dan negatif hasil tes Covid-19.
Setelah melewati drama pada set ketiga—menciptakan dua match point saat unggul 5-0 tetapi kehilangan set tersebut—Murray yang saat ini berperingkat ke-118 dunia itu menang, 6-4, 6-3, 5-7, 6-3. Laga tersebut berlangsung selama 3 jam 32 menit.
”Perjalanan saya sangat berat, bahkan dalam beberapa bulan terakhir. Ini bukan cedera yang sangat serius, tetapi membuat saya frustrasi karena menjadi penghalang saya untuk bertanding. Saya hanya bisa berlatih menjaga kebugaran,” tuturnya setelah pertandingan.
Basilashvili pun memuji perjuangan Murray untuk kembali bertanding. ”Usahanya begitu hebat, mengingat dia telah menjalani operasi. Dia terus berusaha untuk kembali ke lapangan. Perjuangannya luar biasa dan saya memang sudah menduga itu. Semua orang tahu bahwa Murray seorang pejuang,” ujar petenis berperingkat ke-28 dunia itu.
Dalam melalui perjalanan sulitnya, Murray mengatakan, dia pun selalu bersyukur atas hal-hal kecil yang dialami. Hal itu salah satunya ketika mendapat kesempatan berlatih bersama Roger Federer di All England Club. Momen itu dinilainya sebagai pertemuan antara penggemar dan petenis idolanya.
Mengaku iri
Murray pun mengakui iri ketika menonton pertandingan dua rekannya, Djokovic melawan Nadal, pada semifinal Perancis Terbuka, 11 Juni. ”Ada sedikit rasa iri. Rasanya saya ingin sekali menjadi bagian dari pertandingan itu. Saya masih ingin bersaing dengan mereka pada level semifinal atau final Grand Slam. Saya tak ingin menyembunyikan perasaan itu,” katanya.
Murray memang pernah menjadi bagian dari empat tunggal putra terkuat, bersama Federer, Nadal, dan Novak Djokovic, dalam ”Big Four”. Namun, ketika dia tersisih karena cedera, kelompok itu berubah menjadi ”Big Three”.
Meski demikian, ayah dari empat anak itu masih menunjukkan karakter yang sama dengan ketiga rekannya. Baginya, rasa cinta pada tenis yang tak berkesudahan telah mengalahkan semua rintangan. (REUTERS)