Adu Taktik Pelatih-pelatih Besar di Piala Eropa
Kepelatihan yang berkarakter akan terus menghasilkan pemain-pemain muda berbakat sekaligus kader pelatih-pelatih baru yang akan meneruskan tradisi pelatih hebat di Eropa.
Babak 16 besar Piala Eropa 2020 mempertemukan pelatih-pelatih ternama di dunia. Kualitas pelatih bukan hanya akan menentukan nasib tim asuhannya lolos ke babak berikutnya, tapi juga bobot kejuaraan itu sendiri.
Roberto Martinez bisa bernafas lega setelah tim nasional Belgia bisa lolos ke babak perempat final di Piala Eropa 2020. Impiannya untuk membawa Belgia meraih juara Eropa kali ini berhasil melalui hadangan timnas Portugal di babak 16 besar. Kepiawaian strategi Martinez mampu meredam ambisi pelatih Fernando Santos yang ingin membawa Portugal mempertahankan gelar juara Piala Eropa 2016.
Sebelumnya, di fase penyisihan grup, Belgia juga mencatatkan nilai sempurna. Dari tiga kali bermain, Belgia tidak pernah kalah dan mencatatkan nilai 9. Di bawah pelatih berkebangsaan Spanyol tersebut, Belgia memiliki rekam jejak pertandingan yang menawan. Sejak melatih pada Agustus 2016, sudah 60 laga yang dijalani Martinez bersama Belgia dengan catatan, 47 kemenangan, 9 hasil imbang, dan 4 kali kalah.
Jejak tangan dingin menggunakan formasi andalannya 3-4-2-1, Martinez berhasil mengantarkan Belgia hingga mencapai semifinal Piala Dunia 2018. Di era kepelatihannya saat ini, Belgia juga tercatat sebagai Negara di peringkat pertama di FIFA. Namun, lolos dari babak perempat final grup, belum menjamin impian Belgia dan Matinez untuk merebut juara Euro 2020 semakin mudah.
Di babak perempat final, sudah lolos juga tim-tim kuat hasil seleksi pertandingan 16 besar. Belgia akan bertemu Italia yang berhasil mengalahkan Austria. Ini artinya, Martinez harus beradu taktik dengan Roberto Mancini yang juga berhasil meloloskan Italia tanpa terkalahkan di babak penyisihan Grup A.
Catatan kepelatihan Mancini juga tidak bisa dianggap remeh. Mancini pernah membawa klub Inter Milan juara tiga kali Serie A Italia. Pelatih yang gemar memainkan strategi menyerang dengan pola 4-3-3 itu juga berjaya bersama klub Manchester City menjadi juara Piala FA 2010/2011 dan juara Liga Inggris musim 2011/2012.
Selain dua Roberto, pelatih-pelatih lain yang juga beradu strategi di babak 16 besar adalah Didier Deschamps (Perancis), Luis Enrique (Spanyol), dan Joachim Loew (Jerman). Lolos sebagi juara Grup F membuat Perancis bertemu Swiss, peringkat tiga Grup A. Pelatih Timnas Swiss, Vladimir Petkovic harus berpikir keras menyusun strategi saat bertemu tim di bawah asuhan Pelatih Timnas Perancis Didier.
Nama Deschamps tidak hanya harum saat menjadi pemain dan berhasil merebut gelar juara Piala Dunia 1998 dan juara Piala Eropa 2000 bersama Perancis. Sebagai pelatih, Deschamps yang kerap memainkan fomasi 4-3-1-2 ini, juga berhasil mengantarkan Perancis menjadi juara Piala Dunia 2018.
Namun, di Piala Eropa kali ini Deschamps harus memutar otak menghadapi tim pantang menyerah dan bermental kuat, Swiss di bawah asuhan pelatih Vladimir Petkovic.
Persaingan strategi antarpelatih memperebutkan tiket lainnya di perempat final adalah antara Pelatih Timnas Inggris Gareth Southgate melawan Pelatih Timnas Jerman Joachim Loew. Dibandingkan Southgate , Loew unggul dari sisi senioritas pelatih timnas. Loew telah menangani Timnas Jerman sejak 2006. Sedangkan Southgate baru menangani Inggris sejak 2016.
Tidak heran, jika Loew merupakan pelatih dengan kemenangan laga terbanyak di Piala Eropa, yaitu 12 kali. Pencapaiannya bersama timnas Jerman adalah menjadi runner-up Piala Eropa 2008, peringkat ketiga Piala Dunia 2010, serta semifinal Piala Eropa 2012. Puncak prestasi Loew bersama Jerman adalah menjadi juara Piala Dunia 2014.
Ajang pembuktian di babak 16 besar juga akan dilakoni Luis Enrique, Pelatih Timnas Spanyol. Bermodal pemegang predikat Pelatih Terbaik Dunia 2015 dari FIFA, Enrique akan beradu strategi melawan Pelatih Timnas Kroasia Zlatko Dalic. Selain pernah menjadi pelatih terbaik dunia, Enrique telah mempersembahkan sembilan gelar juara termasuk Piala Liga Champions 2015, Piala Super Eropa 2015, dan Piala Dunia Antarklub 2015 bersama FC Barcelona.
Pelatih besar
Melihat deretan peramu-peramu strategi yang berlaga, kejuaraan Piala Eropa bukan hanya menghadirkan laga-laga menarik dan pemain-pemain bintang berkelas dunia. Jejak turnamen ini juga mencatat munculnya pelatih-pelatih hebat di muka bumi.
Perancis pernah memiliki pelatih hebat Michel Hidalgo. Demikian pula negara-negara lain seperti Belanda (Rinus Michel), Jerman (Berti Vogts), serta Spanyol (Luis Aragones dan Vicente del Bosque). Bersama Helmut Schon (Jerman Barat), Vicente Del Bosque bahkan berhasil merebut gelar ganda Piala Eropa dan Piala Dunia.
Munculnya pelatih-pelatih besar ini tidak lepas dari kemampuan manajerialnya di lapangan hijau. Di dalam lapangan mereka adalah arsitek-arsitek pertandingan yang harus beradu strategi untuk memenangkan kejuaraan. Kekhasan yang dapat dilihat dari para pelatih besar tersebut adalah meramu taktik jitu untuk mengalahkan tim-tim lawan yang sama hebatnya.
Hidalgo yang berhasil membawa Perancis lolos ke semifinal Piala Dunia 1982 dan menjadi juara Piala Eropa 1984 mengenalkan formasi 3-5-2 dengan berbagai kombinasinya. Merujuk artikel di laman UEFA, Hidalgo disebut berhasil mengoptimalkan peran pemain di barisan lini tengah. Pola permainnya yang berpusat di lini tengah kerap pula disebut magic square atau kotak ajaib dengan mengandalkan kuartet pemain Michel Platini, Jean Tigana, Alain Giresse, dan Luis Fernandez.
Sebagaimana Hidalgo, Pelatih Timnas Belanda Rinus Michel juga punya resep khusus saat merebut gelar Piala Eropa 1988. Saat itu, The General mengembangkan pola baru menyerang dengan formula 4-3-3. Skema permainannya memungkinkan para pemain untuk menjalankan fungsinya secara beragam, bisa bertahan dan juga menyerang. Formula Rinus Michel ini biasa disebut sebagai total football atau pressing football.
Kunci dari konsep Michels adalah gerakan cerdas, ketrampilan, dan kebugaran untuk menyerang lawan dengan terus menekan. Bahkan saat kehilangan bola mereka akan merebut bola dengan mengepung pemain lawan.
Ramuan taktik lain dibawa Pelatih Timnas Spanyol Luis Aragones yang berkilau di Piala Eropa 2008. Berkat formula permainan yang dirancang Aragones, Spanyol menjadi tim yang tidak terkalahkan di Euro 2008. Spanyol mengalahkan Rusia, Swedia, dan Yunani dalam penyisihan grup. Selanjutnya, menaklukkan Italia di babak perempat final, unggul atas Rusia di semifinal, serta mengalahkan Jerman di final.
Luis Aragones menggunakan pola 4-4-2 dengan kombinasi 4-1-3-2 dan 4-1-4-1 untuk merebut Piala Eropa 2008. Aragones juga menerapkan tiki-taka, gaya bermain sepak bola yang selama ini banyak diterapkan FC Barcelona.
Kekhasan permainan ini adalah umpan terobosan melalui sela-sela kaki dengan jarak antarpemain yang rapat hingga mendekati gawang lawan dan mencetak gol. Formula permainan racikan Aragones tersebut dikembangkan penerusnya, Vicente Del Bosque yang juga meraih kesuksesan merebut gelar Piala Dunia 2010 dan Piala Eropa 2012.
Warisan
Kepiawaian pelatih dalam meramu strategi pertandingan menjadi salah satu faktor penentu keberhasilan tim meraih kemenangan. Namun, sesungguhnya keberhasilan sebuah tim sepak bola memenangkan juara adalah juga berkat kontribusi seluruh anggota tim baik itu pelatih, pemain, ataupun official.
Karenanya, kesuksesan seorang pelatih bukan hanya ditentukan saat menyusun strategi, tetapi juga memotivasi seluruh anggota tim untuk dapat menerapkan taktik itu di lapangan hijau. Bahkan, belajar dari pelatih-pelatih besar seperti Michel Hidalgo, Rinus Michel, dan Luis Aragones jiwa kepelatihan juga harus memiliki dimensi yang lebih jauh yaitu memunculkan pemain-pemain besar dan mewariskan nilai-nilai kepelatihan.
Ramuan permainan Michel Hidalgo bukan hanya membuat Perancis merebut Piala Eropa 1984, tapi juga memunculkan Michel Platini menjadi pemain ternama dunia. Kemampuan Platini membuatnya terpilih sebagai pemain terbaik dunia pada 1983-1985. Demikian pula Rinus Michel yang mengantarkan Johan Cruyff sukses menjadi pemain berkelas. Tidak kalah bersinar ada pemain Spanyol Xavi Hernandez dan Andres Iniesta di bawah asuhan Luis Aragones.
Bukan hanya menelurkan pemain hebat, pelatih-pelatih berkarakter tersebut juga menginspirasi anak asuhnya untuk terus menghasilkan pemain baru dan pelatih baru untuk meneruskan tongkat kepelatihan. Pengabdian seorang pelatih dapat diibaratkan seperti seorang guru yang terus-menerus memberikan ilmunya bagi generasi penerus.
Selain melanjutkan karir sebagai manajer klub atau pelatih negara lain, pelatih-pelatih yang gemilang menangani timnas kemudian melanjutkan pengabdiannya sebagai direktur teknik di negaranya. Ini juga yang dilakukan Hidalgo dan Rinus Michel.
Selepas membawa Perancis menjadi juara Eropa 1984, Hidalgo diserahi tanggung jawab sebagai direktur teknik di Persatuan Sepak Bola Perancis (FFF). Demikian juga Rinus Michels yang sempat menjabat direktur teknik Asosiasi Sepak Bola Kerajaan Belanda (KNVB).
Sebagai direktur teknik, mereka memiliki tanggung jawab pembinaan sepak bola nasional. Sang Direktur tidak hanya mengawasi pembinaan yang terjadi di tim senior, tapi juga di level pemain muda dengan mempersiapkan timnas usia 17 tahun, 19 tahun, dan 21 tahun.
Baca juga: Pelatih-pelatih Boros Haus Gelar
Tidak heran, jika keberadaan pelatih merupakan salah satu resep kualitas sepak bola Eropa. Kepelatihan yang berkarakter akan terus menghasilkan pemain-pemain muda berbakat sekaligus kader pelatih-pelatih baru yang akan meneruskan tradisi pelatih hebat di Eropa.
Untuk menjadi pelatih ternama, tidak harus menjadi pemain sukses di masanya. Namun, untuk menapaki jenjang pelatih harus memiliki lisensi pelatih dengan standar UEFA dan merintis karir sebagai asisten pelatih. Dengan cara itu, adu taktik dan strategi akan terus menjadi bagian dari kualitas kejuaraan Piala Eropa. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Tangan Para Dewa Penyelamat di Piala Eropa