VAR, Campur Tangan yang ”Diharamkan” Sekaligus Diharapkan
Perancis bakal kalah dan dipaksa bertemu Inggris di babak 16 besar jika tidak ada VAR di Piala Eropa 2020. Meskipun tidak disukai sejumlah pihak, teknologi wasit itu mencegah terulangnya skandal gol Si "Tangan Tuhan".
Pada Piala Dunia Meksiko 1986, persepsi terhadap Diego Maradona terbelah tajam. Bagi publik Argentina, dia dianggap seperti manusia setengah dewa. Sebaliknya, bagi warga Inggris, dia dibenci dan disebut manusia licik.
Terbelahnya persepsi itu hanya bermula dari kejadian sepersekian detik di perempat final turnamen itu. Saat itu, bola jatuh bak dari langit. Maradona, dengan tubuh yang gempal, melompat tinggi. Dia dan kiper jangkung Inggris, Peter Shilton, berduel menjangkau bola itu.
Dalam sekejap mata, bola tiba-tiba sudah bersarang ke gawang Inggris. Maradona terkejut, begitu pula Shilton. Wasit Ali Bennaceur kebingungan. Karena terdesak pemain dan pendukung Argentina yang keburu melakukan selebrasi, sang wasit mengesahkan gol itu.
Dalam tayangan ulang, Maradona terlihat menggunakan tangannya untuk menjangkau bola. Dia memerdayai jutaan mata manusia pada laga di Stadion Azteca, Meksiko, itu. Gol bersejarah itu lantas dikenang sebagai gol Si ”Tangan Tuhan”.
Baca juga : Dari Modric Sampai Saka, Pemecah Mitos Usia Emas Atlet
Kelicikan Maradona itu seharusnya menjadi ”dosa terbesar” dalam sejarah sepak bola. Manajer Inggris kala itu, Sir Bobby Robson, menyebut gol itu sangat kejam. Inggris harus mengubur mimpinya menjadi juara akibat insiden handsball yang tidak terlihat wasit itu.
Belum dimaafkan
Hingga akhir hayatnya, pada November 2020 lalu, Maradona belum dimaafkan skuad Inggris. ”Tidak diragukan, dia adalah pemain sepak bola terhebat dalam sejarah. Namun, saya tidak bisa menghargainya sebagai seorang olahragawan dan tidak akan pernah bisa,” ujar Shilton, seperti dikutip The Guardian.
Drama. Kata inilah yang sering disebut sebagai bagian atau roh dari sepak bola. Maka, walaupun penuh kontroversi, gol ”Tangan Tuhan” yang terjadi 35 tahun silam itu ibarat bumbu pedas yang sulit dilupakan.
Bayangkan jika pada 1986 sudah ada teknologi VAR (wasit peninjau video). Gol itu akan dianulir. Momen itu akan terlupakan begitu saja, ditelan waktu. Tidak ada juga julukan beken, Si ”Tangan Tuhan”.
Jose Mourinho, pelatih kawakan asal Portugal, menyebut, kontroversi di lapangan, termasuk kesalahan manusia, adalah bagian dari keindahan sepak bola. Karena alasan itu, dia menyebut penerapan VAR telah merusak keindahan tersebut.
”Saya tidak senang dengan VAR. Ini sangat buruk untuk keindahan permainan, hal yang membuat semua orang jatuh cinta (pada sepak bola),” katanya pada November 2020.
Baca juga : Terobosan Baru VAR Hadir di Piala Eropa
VAR juga membuat para pemain dan pendukung tidak bisa melakukan selebrasi selepas mungkin. Seringkali terjadi sebuah gol dianulir setelah mereka berpesta merayakan gol. Hal itu merenggut kebahagiaan dalam permainan sepak bola.
Tidak heran, banyak pecinta sepak bola yang tidak menyukai penerapan VAR. Dalam survei ESPN yang melibatkan 13.513 pendukung sepak bola, sekitar 52 persen menyatakan VAR telah membunuh permainan itu.
Ancaman hilangnya keindahan, unsur manusiawi di sepak bola, itu juga nampak di Piala Eropa 2020. Untuk pertama kalinya, VAR diterapkan di turnamen antarnegara Eropa tersebut. Teknologi itu kembali digunakan setelah dianggap sukses di Piala Dunia Rusia 2018.
Mengubah takdir Perancis
Hingga Kamis (24/6/2021), dari total 36 laga babak penyisihan grup Piala Eropa 2020 yang berjalan, VAR telah 12 kali ikut campur tangan dan mengubah jalannya laga, bahkan takdir sebuah tim. Campur tangan VAR terbaru adalah pada laga Perancis versus Portugal, kemarin dini hari WIB.
Jika tidak ada VAR, Perancis bakal kalah dan gagal memuncaki Grup F. Konsekuensinya, sang juara dunia menjadi runner up grup itu dan bakal bertemu Inggris pada laga babak 16 besar di Wembley, London.
Selama bertahun-tahun saya membenci VAR, hari ini saya menyukainya. Itu adalah sesuatu hal yang adil. (Joe Allen, Wales)
Namun, realitasnya, Perancis bisa meraih satu poin berharga setelah menahan Portugal, 2-2, di laga itu. Hasil laga itu tidak terlepas campur tangan VAR. Setelah menerima masukan dari VAR, wasit Antonio Mateu Lahoz (Spanyol) mengesahkan gol kedua striker Perancis, Karim Benzema, pada menit ke-47 laga itu. Padahal, beberapa detik sebelumnya, Lahoz menganulir gol itu karena melihat asistennya mengangkat bendera sebagai tanda terjadinya offside.
Campur tangan serupa juga membawa Wales lolos ke babak 16 besar untuk bertemu Denmark. Tanpa VAR, Gareth Bale dan rekan-rekannya kini sudah pulang kampung. Maka, manfaat VAR, yaitu keadilan dan kepastian, membuat gelandang Wales, Joe Allen, mengubah persepsinya soal teknologi itu.
”Selama bertahun-tahun saya membenci VAR, hari ini saya menyukainya. Itu adalah sesuatu hal yang adil,” ungkap mantan pemain Liverpool itu seusai laga versus Swiss, Sabtu (12/6) lalu. Pada laga yang berakhir 1-1 itu, satu gol Swiss dianulir wasit dengan bantuan VAR akibat kedapatan offside.
Maka, keadilan menjadi kata kunci penerapan VAR. Teknologi yang telah dipakai UEFA sejak Februari 2019 lalu itu berguna agar wasit mampu menghasilkan keputusan seadil-adilnya dan tidak merugikan salah satu tim sehingga meninggalkan luka batin seperti insiden atau tragedi ”Tangan Tuhan”.
”Tujuannya (penggunaan VAR) tidak hanya membantu wasit, melainkan juga sepak bola itu sendiri. Kami puas dengan hasilnya dan terus bekerja keras untuk menyempurnakannya,” ujar Ketua Komite Wasit UEFA Roberto Rosetti.
Pierluigi Collina, mantan wasit ternama asal Italia, berkata, akurasi keputusan VAR sangat tinggi, yaitu mencapai 99 persen. Hal itu terlihat dari pengalaman di Piala Dunia 2018.
”Kami selalu berkata, VAR bukan berarti kesempurnaan. Akan selalu ada interpretasi yang salah. Tetapi, kami selalu ingin mencoba mendekati kesempurnaan itu,” ucap Collina yang sekarang menjabat Ketua Komite Wasit FIFA.
Standardisasi
Hal yang sering dibahas tentang VAR adalah standar keputusan. Seringkali dua kejadian yang mirip menghasilkan keputusan berbeda saat ditinjau oleh VAR. Akibatnya, teknologi itu seringkali dianggap hanya menguntungkan tim tertentu.
”Banyak keputusan gila yang dihasilkan VAR. Saya pikir, banyak pemain yang tidak suka. Bukan hanya saya. Akan tetapi, jika laga sekarang harus menggunakannya, kami akan membiasakan diri dengan itu,” ucap gelandang Inggris, Declan Rice.
Kekurangan itu tengah diperbaiki di Piala Eropa. UEFA menerapkan cara baru. Saat ini, produk VAR tidak lagi menjadi keputusan mutlak wasit di pertandingan. Tanggung jawab itu juga diberikan ke ofisial VAR di kantor pusat UEFA di Nyon, Swiss. Jumlah VAR yang memantau video dari jauh juga ditambah, yaitu tujuh personel per laga. Mereka berbagi tugas meninjau kejadian dalam laga, mulai dari gol, potensi kartu merah, hingga offside.
Perdebatan penerapan VAR memang sulit berujung. Teknologi itu diharapkan tim yang butuh keadilan, tetapi diharamkan kubu yang diuntungkan kesalahan wasit. Namun, apa pun itu, nilai tertinggi di FIFA, yaitu fair play, harus diutamakan.
”Saat ini, orang-orang banyak mengeluhkan VAR. Padahal, itu bakal menjadi hal brilian jika sudah ada dahulu (1986). Kami tidak akan terus menderita akibat kecurangan,” tutur Shilton kemudian. (AP/AFP/JON)