Christian Eriksen Diselamatkan Cinta dan Kesigapan
Kasus kolapsnya pemain bola, yang tidak jarang berujung kematian, bukan kali pertama terjadi. Seperti yang dialami Christian Eriksen, sejumlah pemain lainnya mampu menyintas berkat kesigapan dan kemanusiaan tanpa sekat.
Insiden kolapsnya Christian Eriksen, bintang timnas sepak bola Denmark, di Piala Eropa 2020, mengingatkan rapuhnya manusia, sekali pun atlet profesional dan ternama, ketika berlaga. Eriksen beruntung, nyawanya masih bisa selamat karena cinta, kepedulian, dan kesigapan pihak terkait di pertandingan.
Eriksen (29) kolaps di tengah laga ketika bersama timnya menghadapi Finlandia di Stadion Parken, Kopenhagen, Denmark, Minggu (13/6/2021) dini hari WIB. Morten Boesen, dokter timnas Denmark, Senin (14/6/2021) dini hari, memastikan Eriksen mengalami henti jantung (cardiac arrest) dan sempat tidak bernapas.
”Dia sempat mati (suri), lalu kami melakukan resusitasi jantung dan paru (CPR). Seberapa nyaris (situasi hidup-mati) saat itu? Saya tidak tahu. Pastinya, kami mendapatkannya (nyawa Eriksen) kembali setelah sekali defibrilasi (pemberian efek kejut ke jantung),” tutur Boesen.
Jika saja terlambat sekian detik atau menit, Eriksen bakal menghadap Sang Pencipta. Tak heran, ekspresi pemain-pemain Denmark maupun para penonton sangat cemas, kalut, bahkan ada yang menangis, saat insiden itu.
Baca juga : Tragedi Eriksen, Pentas Kemanusiaan di Opera Kopenhagen
Situasi horor itu bukan yang kali pertama terjadi. Setidaknya ada lima pemain bola profesional yang tewas setelah kolaps di lapangan, mayoritas akibat gagal jantung. Kasus terakhir adalah Marc Vivian Foe (28), gelandang timnas Kamerun yang membela klub Manchester City. Dia kolaps saat membela negaranya menghadapi Kolombia pada laga semifinal Piala Konfederasi 2003 di Perancis.
Pada menit ke-72, Foe kolaps di tengah lapangan. Ketika itu, tidak ada pemain yang berada di dekatnya serta bertindak sigap. Ia bahkan langsung dibawa ke tepi lapangan dalam kondisi tidak sadarkan diri.
Di Kopenhagen, dalam kasus Eriksen, rekan-rekan setimnya maupun petugas medis bertindak sigap. Joakim Mahle, bek Denmark, adalah orang pertama yang merespon insiden mengerikan itu. Pemain klub Liga Italia, Atalanta, itu mendatangi Eriksen yang terjatuh.
Robin Lud, pemain tim lawan, tidak kalah sigap. Gelandang Skotlandia itu lantas meminta wasit menghentikan laga. Wasit Anthony Taylor lalu meminta tenaga medis segera masuk ke lapangan.
Menunggu tim medis datang menghampiri Eriksen 22 detik kemudian, kapten Denmark, Simon Kjaer, berinisiatif memberikan pertolongan pertama. Ia mencegah Eriksen, yang tak sadarkan diri, menelan lidahnya sendiri. Dengan demikian, oksigen tetap bisa masuk ke jantung.
Bek AC Milan itu juga meminta kawan-kawannya membuat pagar hidup untuk mencegah kamera menyorot lebih jauh saat petugas medis tengah melakukan resusitasi jantung ke Eriksen. Tidak lama, ia dilarikan ke rumah sakit terdekat yang hanya berjarak 10 menit.
Sementara itu, di Parken dan berbagai tempat lainnya, seperti di Roma (Italia) dan St Petersburg (Rusia) orang-orang bersatu dalam doa untuk Eriksen. Sayup-sayup teriakan semangat untuk Eriksen menggema keras di Kopenhagen.
Eriksen membaik
Semua dukungan dan respon sigap yang dilakukan rekan setimnya, pemain lawan, wasit, tenaga medis, hingga suporter, membuahkan hasil. Eriksen selamat dan kini telah membaik.
”Kami berbincang pagi tadi (Minggu). Dia sempat bercanda dan dalam kondisi bagus. Dia sangat senang karena tahu banyaknya cinta yang datang untuknya. Ia menerima banyak pesan dari seluruh dunia,” ungkap Martin Schoots, agen dan salah satu orang terdekat Eriksen, dikutip La Gazetta dello Sport.
Kisah kepedulian dan cinta kasih di lapangan hijau itu juga pernah terjadi sebelumnya. Tahun 2017, misalnya, Martin Berkovec, penjaga gawang Bohemia (klub Liga Ceko), lolos dari maut. Penolongnya adalah Francis Kone, pemain Slovacko FC yang menjadi lawannya dalam pertandingan tersebut.
Luar biasanya, dia tiga kali melakukan penyelamatan lainnya. Semuanya selamat. Berkat kesigapannya itu, Kone dianugerahi penghargaan FIFA Fair Play tahun 2017 silam.
Saya tidak bisa hanya berdiri di sana menyaksikan seseorang sekarat, tanpa berbuat sesuatu. Itu (menyelamatkan Berkovec) sekaligus adalah pesan.
Akan tetapi, bukan hanya nyawa yang menjadi buah dari tindakan sigap Kone itu. Ia telah membuktikan bahwa sepak bola lebih dari sekadar sebuah permainan. Sepak bola juga soal kesetaraan, kepedulian, dan kemanusiaan.
Menjelang laga Liga Ceko itu, Kone yang merupakan pemain asal Pantai Gading, Afrika, sempat dipersekusi oleh para suporter Bohemia selama 30 menit saat berlangsungnya laga itu. Kata-kata rasialis yang menyakitkan diteriakkan ke dirinya.
Namun, alih-alih membalas dendam, striker yang kini membela klub Malaysia, Kuala Lumpur FA, itu justru melakukan hal sebaliknya. Kone bertindak sigap setelah Berkovec terkapar tidak sadarkan diri akibat ditabrak rekan setimnya.
Baca juga : Simpati Untuk Eriksen Menjalar ke Roma Hingga Rusia
Menampar rasialisme
Kone bertindak sigap dengan memasukan jarinya ke dalam mulut Berkovec untuk menghentikan tertelannya lidah yang dapat berakibat fatal. Sikap kemanusiaan Kone itu seketika "menampar" rasialisme yang masih terus meneror sepak bola.
”Saya tidak bisa hanya berdiri di sana menyaksikan seseorang sekarat, tanpa berbuat sesuatu. Itu (menyelamatkan Berkovec) sekaligus adalah pesan. Permainan adil juga bisa seperti ini, yaitu menghentikan rasialisme,” ujar Kone saat menerima penghargaan FIFA Fair Play pada 2017 di London, Inggris.
Pemain yang pernah membela timnas Togo itu bersanding dengan para insan sepak bola ternama di dunia, seperti Cristiano Ronaldo, Gianluigi Buffon, dan Zinedine Zidane, di London saat itu. Ketiga nama besar itu menerima penghargaan yang berbeda. Ronaldo misalnya, menyabet gelar pemain terbaik dunia, adapun Buffon kiper terhebat sejagat.
Namun, tiada yang lebih hebat dari sikap memaafkan Kone. Sikapnya itu telah mengubah kebencian jadi kekaguman dan kasih sayang. Oleh penggemar Bohemia, ia kini disebut pahlawan.
”Mereka meminta maaf karena mengatakan hal-hal buruk, seperti monyet, ke saya. Mereka lantas berterima kasih karena saya menyelamatkan nyawa pemain mereka. Sepak bola adalah tentang keadilan dan kesetaraan,” ujarnya seperti dikutip BBC.
Kisah kasih sayang di lapangan hijau terus berlanjut, yaitu di Italia. Dikutip dari laman FIFA, pada 25 Januari 2020 saat laga sepak bola liga Italia Serie D antara Cairese dan Ospedaletti Calcio, Mattia Agnese menyelamatkan nyawa salah satu lawannya.
Setelah terjadi tabrakan di lapangan, Agnese, bek Ospedaletti, melihat lawannya jatuh ke tanah dan tampak kehilangan kesadaran. Tanpa ragu, dia membantunya tetap hidup sampai bantuan medis tiba.
”Saya kebetulan menonton beberapa video pertolongan pertama di Youtube. Naluri saya spontan mengambil tindakan dan menyelamatkan anak itu,” kata Agnese yang saat itu masih berusia 17 tahun.
Mengejutkan dunia
Tindakan Agnese sekali lagi mengejutkan dunia. Apalagi, pemain muda ini seperti paham arti penting di balik sepakbola. ”Seringkali dalam dunia sepak bola ada kecenderungan melihat lawan sebagai musuh terburuk. Namun, kenyataannya, rasa hormat dan sportivitas harus menjadi nilai fundamental,” ujar pemain belia itu.
Pada tanggal 17 Desember 2020, gerakan yang luar biasa itu juga membuahkan penghargaan FIFA Fair Play untuk kepahlawanannya. Dia juga masuk Hall of Fame Sepak Bola Italia di awal tahun 2021.
Ruud Gullit, legenda AC Milan yang menjadi salah satu pembawa acara pada malam penghargaan FIFA tahun itu sangat mengapresiasi tindakan Agnese. "Kamu pahlawanku. Pahlawan kami,” kata dia.
Berkaca dari serangkaian insiden itu, kasus kematian dalam laga sepak bola bisa dicegah. Semua itu bergantung pada kepedulian, kasih sayang, dan kesigapan. Tidak heran, Berkovec kini bersahabat dengan Kone setelah insiden yang nyaris merenggut nyawanya tersebut.
Berkovic kini tidak pernah berhenti bersyukur ke Tuhan karena masih diberikan hidup. ”Saya berterima kasih padanya (Kone) karena telah menyelamatkan nyawa saya,” ujarnya.