Suasana di London, khususnya zona fans Trafalgar Square, sangat meriah ketika Inggris menghadapi Kroasia pada laga Piala Eropa 2020. Nyanyian, teriakan, kegembiraan, dan bir dingin, menyatukan para penikmat sepak bola.
Oleh
Adjie Masdyka Sudaryanto dari London, Inggris
·5 menit baca
LONDON, KOMPAS — Suasana di Kota London, Inggris, kian semarak seiring dimulainya kiprah tim nasional sepak bola negara itu di Piala Eropa 2020, yaitu melawan Kroasia, Minggu (13/6/2021). Berbagai tempat, mulai dari jalan raya, stasiun bawah tanah, zona fans, hingga bar, dilanda ”demam” sepak bola.
Pemandangan orang mengenakan jersei ”Tiga Singa”, julukan timnas Inggris, menjadi hal dominan di London, kemarin. Tahun ini, fans Inggris kebanyakan memilih menggunakan jersei retro Inggris, mulai dari kostum kandang khas Inggris berwana putih buatan Umbro ataupun jersei tandang bercorak warna-warni.
Bukan apa-apa, jersei resmi terbaru Inggris buatan Nike harganya lumayan, yaitu 70 pound sterling. Ya, kira-kira Rp 1,4 juta. Dalam kondisi lesunya ekonomi saat ini, harga sebesar itu lumayan bikin kantong bokek. Ya, jersei lama tidaklah masalah. Yang penting adalah ”pesta” dan dukungannya. Toh, ini bukan Lebaran.
Lain lagi dengan salah satu dari sedikit suporter Kroasia yang saya temui di London, kemarin. Namanya Vanja. Berani-beraninya dia memakai jersei Kroasia yang mencolok, kotak-kotak merah putih, di London. Ini ibu kotanya hooligan, kelompok suporter yang katanya paling galak seantero jagat.
Jangan lupa pula, Kroasia pernah mengubur mimpi Tiga Singa dan jutaan rakyat Inggris di Rusia pada 2018. Ketika itu, Inggris bermimpi membawa pulang Jules Rimet, trofi Piala Dunia yang terakhir kali diraih Tiga Singa pada 1966. Karena kalah di semifinal oleh Kroasia, batal sudah ”Football\'s Coming Home”. Bukannya trofi juara, Inggris pulang ke London membawa dongkol dan dendam.
Karena itu, saya penasaran ingin mengetahui isi kepala Vanja. Jangan-jangan, dia percaya diri, Luka Modric dan kawan-kawan bisa kembali mengalahkan Inggris. Padahal, kali ini Tiga Singa main di kandang.
Jawaban Vanja ternyata mengagetkan. ”Hasil tidak penting, bung! Yang penting, saya akan meminum lima gelas bir sembari menonton!” ujarnya seraya tertawa lepas.
Ya, itulah Eropa. Sepak bola, bir, dan kegembiraan, seperti racikan kopi hitam yang nikmat. Tidak peduli kapan dan di mana pun, tiga elemen itu bakal selalu hadir, apalagi di momen turnamen Piala Eropa yang langka.
Ollie, penggemar timnas Inggris, punya jawaban mirip dengan Vanja saat ditanya apa yang ia bawa ketika ingin menonton laga Inggris versus Kroasia di Trafalgar Square, zona fans terbesar di London. Di tempat yang dikelilingi pagar itu dan tidak sembarang orang bisa masuk, ia ingin ”berpesta”.
”Yang saya bawa? Tentu saja dua kaleng bir di tas. Saya akan membeli lebih banyak lagi di dalam!” selorohnya.
Beruntung
Ollie adalah salah satu dari sedikit warga London yang beruntung bisa masuk ke zona fans Trafalgar Square. Hanya sekitar 1.000 orang per hari yang bisa masuk ke dalam dan menikmati pertunjukan musik, layar raksasa, ragam permainan, dan penganan itu. Tiket masuk didapatnya dari rekan kerjanya yang tidak bisa datang.
Tanpa pikir panjang, tiket yang hanya diperuntukkan sejumlah pekerja layanan publik di London itu langsung disambar Ollie, anggota staf Badan Layanan Kesehatan Nasional (NHS) Inggris, itu. Ia ingin menikmati sejenak suasana kegembiraan di Piala Eropa 2020 setelah 1,5 tahun berjibaku dengan pandemi Covid-19.
Namun, tidak semua penggemar bola seberuntung Ollie. Jimmy, pendukung Inggris lainnya, tidak memiliki tiket. Namun, itu tidak menyurutkan antusiasme dia untuk hadir di Trafalgar Square. Ia tetap penasaran ingin ikut nonton bareng, walaupun itu mustahil karena zona fans tersebut dikelilingi pagar tinggi dan pepohonan.
”Ya, paling tidak saya akan tahu kalau terjadi gol!” ujarnya merujuk pada suara gemuruh teriakan penonton saat gol tiba, salah satunya ketika Inggris unggul 1-0 atas Kroasia lewat gol Raheem Sterling.
Tak pelak, suasana di tempat itu pun sangat meriah. Para fans yang tidak memperoleh tiket tetap girang dan meneriakan ”England, England!” dengan dipadu suara terompet pada acara nonton bareng di sana.
Teriknya udara, yang mencapai 28 derajat celsius—salah satu hari terpanas di London dalam beberapa bulan terakhi—kian menambah semangat. Sebagian pendukung Inggris bahkan nekat bertelanjang dada.
Tidak mengherankan jika sopir-sopir bus pun ikut serta memeriahkan suasana dengan membunyikan klakson busnya mengikuti ritme lagu dan teriakan massa. Tapi, tentu saja, bunyi klakson itu bukanlah ”telolet” yang sempat heboh di Tanah Air, beberapa waktu lalu.
Dari kejauhan, lantas terdengar ”Football\'s Coming Home” yang dipopulerkan David Baddiel, Frank Skinner, dan The Lightning Seeds pada 1996. ”Ya, kalian pasti tahu lagu ini yang terkenal saat kita hampir juara di tahun 1996!” teriak pembawa acara di dalam zona fans itu merujuk Piala Eropa 1996.
Kala itu, saat terakhir kali sebelumnya Piala Eropa digelar di Inggris, Tiga Singa juga bermimpi juara. Namun, mimpi mereka dikandaskan musuh bebuyutannya, Jerman, di semifinal, melalui drama adu penalti.
Tak lama kemudian, ketika laga Inggris versus Kroasia hendak dimulai, ingar-bingar suasana berganti kesyahduan. Para suporter Inggris baris menyatu dan kompak menyanyikan ”God Save The Queen”, lagu kebangsaan negara itu.
”Pesta” di Trafalgar Square pun disempurnakan kemenangan Inggris, 1-0, atas Kroasia. Tuntas sudah pembalasan Tiga Singa atas kekalahan dari lawannya itu di Piala Dunia Rusia.
”Ada momen-momen dimana kita (Inggris) bermain cantik, tetapi ada pula momen saat kita terlihat membosankan. Bagaimanapun, hal yang paling penting adalah hasil yang didapat,” ujar Colin, suporter Inggris lainnya, tidak mempersoalkan kemenangan tipis Inggris di Wembley.
Begitu para penggemar meninggalkan Trafalgar Square, seusai laga itu, nyanyian ”Football\'s Coming Home” terus berkumandang di jalan. Mungkin saja, tahun ini, Piala Eropa—trofi simbol supremasi sepak bola ”Benua Biru”—benar-benar bakal pulang ke "rumahnya".... (JON)