Roberto Mancini menjaga tradisi bertahan Italia sambil membuatnya tampil menyerang dan sangat tajam. Di Stadion Olimpico, Gli Azzurri membangun kembali kepercayaan diri Italia dan melupakan kepahitan di Piala Dunia 2018.
Oleh
Anton Sanjoyo
·4 menit baca
Menyaksikan Italia menjungkalkan Turki 3-0 di laga pembuka Euro 2020, kita barangkali sudah lupa bahwa ”Gli Azzurri” tidak tampil di putaran final Piala Dunia 2018. Ya, gelaran di Rusia yang hanya berjarak dua tahun di belakang tersebut tidak diikuti Italia, pemegang empat gelar juara dunia!
Sebagian penikmat sepak bola mungkin memang lupa, tapi tidak demikian dengan tifosi Italia yang mengenang momen itu sebagai yang tergetir. Pada putaran final di Rusia itulah tifosi Italia, yang terkenal riuh dan fanatik, untuk pertama kalinya dalam enam dekade tidak ikut serta dalam pesta bola terakbar di dunia.
Di gelaran Rusia 2018, Perancis yang dimotori Kylian Mbappe tampil sebagai pemenang dan mengangkat trofi agung itu untuk kedua kalinya. Pada pesta Eropa di tengah pandemi Covid-19 kali ini, Mbappe dan kawan-kawan kembali menjadi favorit juara, apalagi setelah Pelatih Didier Deschamps memasukkan Karim Benzema ke dalam skuad-nya.
Bagaimana dengan Italia yang saat ini dilatih Roberto Mancini? Pudarnya pamor Italia pasca-kegagalan 2018, membuat Gli Azzurri kurang diperhitungkan. Bursa taruhan lebih melirik juara dunia Perancis, juara bertahan Portugal, atau spesialis turnamen Jerman yang diperkuat blok Bayern Muenchen. Pengamat juga menyebut Inggris sebagai favorit, meski negara pengklaim emaknya sepak bola itu tak pernah benar-benar tampil sebagai penantang gelar di berbagai turnamen besar.
Italia, meski punya reputasi mengerikan sebagai ”kuda hitam” di semua ajang akbar, tetap bukan favorit kuat. Walaupun di bawah Mancini, Gli Azzurri seolah tak terhentikan dan meraih lebih dari 75 persen kemenangan.
Pasukan Mancini membuat masyarakat Italia kembali percaya diri bahwa Gli Azzurri sudah melupakan kepahitan 2018 dan bersiap menyongsong era keemasan bersama Mancini.
Kemudian kita ingat bagaimana Mancini berlari bak orang gila kegirangan saat Manchester City memenangi Liga Primer pada 2012. Momen bersejarah bagi kinerja pribadi Mancini itu dipercaya sebagai titik awal reputasinya yang terus melejit sebagai pelatih. Sempat berlabuh di Galatasaray dan Zenith St Peterburg, serta mengantarkan Internazionale Milan sebagai juara Serie A, Mancini dianggap sosok karismatik yang memang dibutuhkan Gli Azzurri yang tengah terpuruk.
Menyerang frontal
Dalam kendali Mancini, Italia bukan lagi tim ”Gerendel” yang mengadalkan seni bertahan ketat dan serangan balik, sebuah orkestra yang mengantarkan mereka meraih gelar-gelar mayor di masa lalu. Sebagaimana formasi favoritnya di City maupun Inter, mantan bintang Lazio itu sangat menyukai gaya menyerang frontal 4-3-3. Dalam formasinya yang mengalirkan serangan secara kontinu tanpa henti itu, Italia mencapai final Liga Nasional dengan menggusur Polandia, Belanda, dan Bosnia, Oktober tahun lalu.
Meski formasi menyerang frontal, catatan departemen pertahanan Mancini tak kalah moncer. Mereka hanya kebobolan tiga gol dalam 17 laga terakhir sebelum jumpa Turki dengan catatan 53 gol ke gawang lawan. Dengan hasil di Olimpico semalam, Azzurri mencatat 28 laga tanpa kalah dan 56 gol ke gawang lawan. Catatan ini harusnya menjadi alarm bahaya bagi favorit-favorit lainnya.
Kharismanya adalah kunci sukses mengendalikan pemain-pemain terbaik Italia yang terkenal berkarakter pemberontak. Sebagai legenda, Mancini sangat disegani para pemainnya, yang kemudian menjadi sangat militan jika sudah mengenakan kostum Azzurri. Tak ada satu pemain pun yang tidak menaati perintah Manchini, tulis sejumlah media Italia akhir tahun lalu.
Belajar dari pengalaman Jerman yang luluh lantak di Rusia 2018, Manchini menerapkan filosofi ”Bos dalam tim adalah pelatih”, bukan pemain senior. Pelatih kelahiran 27 November 1964 itu kemudian memasukkan sejumlah pemain muda yang tampil cukup gemilang di gelaran Euro U17 tahun 2017. Kepada sejumlah pemain senior yang tetap diandalkan sebagai role model seperti Giorgio Chiellini atau Leonardo Bonucci, Mancini hanya berpesan, ”tetaplah solid dan jangan menjadi figur pemecah”, seperti yang terjadi pada pasukan Jerman di Piala Dunia 2018.
Sejumlah bintang muda, seperti Nicolo Barella dan Giacomo Raspadori, kemudian menjadi bagian dari pasukan Mancini yang dianggap sangat ideal dalam rata-rata usia di Euro 2020 ini.
Di lini depan, Mancini juga tak kekurangan pemain setajam celurit untuk membukukan 56 gol sejak dia mengantikan posisi Gian Piero Ventura, selepas tragedi Rusia 2018. Selain Lorenzo Insigne yang semakin dewasa dan matang, Mancini sangat mengandalkan Ciro Immobile, striker Lazio yang memenangi Sepatu Emas Eropa 2020. Pemain berwajah antagonis itu mencetak 123 gol dalam 177 penampilan di Serie A dan tujuh gol dalam 12 laga terakhir bersama Italia, termasuk sebuah gol ke gawang Turki semalam.
Di Stadion Olimpico Roma, Sabtu dini hari WIB, pasukan Mancini membuat masyarakat Italia kembali percaya diri bahwa Gli Azzurri sudah melupakan kepahitan 2018 dan bersiap menyongsong era keemasan bersama Mancini.