Laporan dari Italia : Menyambut Pesta dalam Sepi dan Kedewasaan
Sehari menjelang pembukaan Piala Eropa 2020, suasana di Italia, khususnya Milan, masih nampak sepi. Antusiasme menyambut "pesta sepak bola" Eropa beradu dengan realitas pandemi dan tuntutan kehati-hatian.
Oleh
Antonius Agnandito Dwirana Moradeo
·4 menit baca
MILAN, KOMPAS - Setelah tertunda setahun, turnamen sepak bola Piala Eropa 2020 akhirnya digelar mulai Sabtu (12/6/2021) dini hari WIB dengan ditandai laga Italia versus Turki di Stadion Olimpico, Roma. Karena digelar di tengah pandemi Covid-19, belum terasa kemeriahan seperti di Piala Eropa edisi sebelumnya.
Suasana itu antara lain terlihat di Milan, kota terbesar di wilayah Italia utara yang selama ini kental dengan kultur sepak bolanya. Seperti yang dilaporkan kontributor Harian Kompas di Italia, Agnandito Dwirana Moradeo, suasana di Milan masih sangat sepi, sehari jelang pembukaan Piala Eropa 2020.
Lapangan di depan Katedral Duomo Milan, yang biasanya disesaki turis, khususnya saat turnamen besar seperti Piala Eropa, nampak lengang. Hanya terlihat segelintir warga lalu lalang di tempat itu, Kamis (10/6/2021) malam WIB.
Suasana sepi serupa terlihat di kafe maupun bar yang selama ini menjadi tempat berkumpulnya warga Milan, khususnya para penggemar sepak bola, menghabiskan waktu sore hingga malam.
”The Fotballl Pub”, salah satu bar di Jalan Valpetrosa, Milan, yang selalu disesaki suporter tim nasional Italia saat gelaran Piala Eropa, nampak sepi tanpa satupun pengunjung. Padahal, Pemerintah Italia sudah mulai melonggarkan ketentuan pembatasan sosial, salah satunya untuk menyambut Piala Eropa 2020 yang digelar di 11 kota di 11 negara berbeda itu.
Meskipun demikian, Donatello, pekerja bar itu, berharap, suasana dan aktivitas ekonomi di Italia bisa bergeliat jika Piala Eropa 2020 telah bergulir, dini hari nanti. Bar tempatnya bekerja itu sempat tutup selama 1,5 tahun akibat pandemi.
”Dengan hadirnya Piala Eropa, kami berharap para pelanggan kembali berdatangan. Untuk besok (saat Piala Eropa dimulai), kursi di tempat kami sudah habis dipesan,” ujar Donatello mengenai aturan bahwa jumlah kapasitas pengunjung di bar di Italia masih dibatasi.
Milan adalah ibukota Lombardia, wilayah yang menjadi episentrum awal pandemi Covid-19 di Italia. Wilayah itu sempat dikarantina total selama berminggu-minggu akibat lonjakan kasus positif dan korban tewas akibat Covid-19.
Keputusan menggelar Piala Eropa di sejumlah negara berbeda bisa membatasi pergerakan dan lalu lintas orang. Saya kira, turnamen ini bakal bermanfaat bagi kita jika diorganisir secara tepat.
Kondisi itu berawal dari laga sepak bola, yaitu antara Atalanta (Italia) versus Valencia (Spanyol) pada laga babak 16 besar Liga Champions Eropa di Stadion San Siro, Milan, 20 Februari 2020 lalu. Kala itu, stadion yang menjadi kebanggaan Kota Milan itu disesaki 45.792 pendukung Atalanta. Padahal, virus korona baru, yang berawal dari Wuhan di China, diam-diam telah mengintai.
Seolah tidak peduli ancaman virus itu, suporter Atalanta saling berangkulan dan berpelukan menyambut kemenangan 4-1 atas Valencia. Pesta dan euforia itu terus berlanjut di bar-bar, seperti di The Football Pub di Milan.
Tidak pelak, sejumlah epidemiolog menyebut, laga di San Siro tersebut sebagai ground zero alias titik episentrum awal Covid-19 di Italia. Total 126.855 orang di Italia tewas akibat Covid-19 sejak saat itu hingga saat ini.
Berkaca dari pengalaman buruk itu, warga Milan kini sangat berhati-hati. Menjaga jarak dan memakai masker di ruang publik menjadi kebiasaan. Aturan itu juga menjadi pegangan bagi sekitar 17.650 orang penonton yang diizinkan datang ke Stadion Olimpico di Roma untuk menyaksikan laga pembuka.
Selain tetap menjaga jarak dan mengenakan masker, para pemilik tiket diwajibkan mengantongi sertifikat vaksin atau surat negatif Covid-19 dari hasil tes antigen. Jumlah penonton yang boleh hadir di Olimpico hanya 25 persen dari kapasitas.
Andrea Colombo (21), warga Italia, memilih menyaksikan laga-laga Piala Eropa 2020, termasuk duel pembuka di Olimpico, dari rumahnya. Ia ingin merayakan pesta sepak bola Eropa itu dengan aman bersama sahabat dan keluarganya.
Ia tidak sabar ingin melihat kiprah ”Gli Azzurri” alias timnas Italia bersama pelatih Roberto Mancini. Sebelum dilatih Mancini, Italia sempat terpuruk dan mengalami masa ”kegelapan”. Mereka gagal lolos ke Piala Dunia, yaitu Rusia 2018, untuk kali pertama dalam 60 tahun.
Seperti masa pandemi kini, Italia mengusung semangat renaisans alias pencerahan atau kebangkitan. ”Sangat menyenangkan melihat tim Italia saat ini bersama Mancini,” ujar Colombo yang antusias menyambut Piala Eropa 2020.
Menurutnya, sangat tepat jika Piala Eropa 2020 digelar di 11 negara berbeda. Hal ini belum pernah dilakukan sebelumnya. ”Keputusan menggelar Piala Eropa di sejumlah negara berbeda bisa membatasi pergerakan dan lalu lintas orang. Saya kira, turnamen ini bakal bermanfaat bagi kita jika diorganisir secara tepat,” ujar Colombo.
Clemente Marmorino, warga Milan lainnya, meyakini, Piala Eropa 2020 bakal berjalan lancar di Italia tanpa menjadi kluster baru Covid-19. ”Cakupan vaksin, efikasinya, kini kan tinggi di Italia. Namun, kita harus tetap bertanggung jawab, memakai masker,” ujarnya.
Namun, sejumlah negara menerapkan kebijakan berbeda terkait Piala Eropa. Denmark misalnya, berencana melucuti kebijakan pengekangan aktivitas sosial selama turnamen empat tahunan itu.
Para penonton diizinkan melepas maskernya saat menyaksikan laga Piala Eropa secara langsung di stadion mulai 14 Juni mendatang. Pengecualian berlaku di transportasi publik. Adapun di Hongaria, pemerintah setempat mengizinkan stadion dipenuhi penonton. (Reuters/JON)