Kontroversi dan Laga Panas di Piala Eropa
Skandal dan kontroversi pertandingan yang terjadi di atas lapangan adalah bumbu penyedap rasa dalam kompetisi sepak bola, termasuk yang terjadi di Piala Eropa.
Kendati Piala Eropa menjadi kejuaraan sepak bola bergengsi dan bertabur bintang, kontroversi kerap mewarnainya. Laga panas yang disuguhkan menjadi daya tarik tersendiri bagi para pendukung tim yang bertanding.
Gedung Espace Hippomene di Jenewa, Swiss, menjadi saksi penentuan negara-negara yang menjadi tuan rumah Piala Eropa kali ini. Di sinilah Asosiasi Sepak Bola Eropa (UEFA) menentukan 12 negara yang menjadi tuan rumah untuk turnamen enam tahunan ini.
Kota-kota yang yang terpilih adalah Amsterdam (Belanda), Baku (Azerbaijan), Bilbao (Spanyol), Bukares (Romania), Budapest (Hongaria), Kopenhagen (Denmark), Dublin (Irlandia), Glasgow (Skotlandia), London (Inggris), Muenchen (Jerman), Roma (Italia), dan St. Petersburg (Rusia).
Biasanya, Piala Eropa menerapkan format pertandingan yang sama seperti Piala Dunia dan kompetisi sepak bola antarnegara di benua lainnya. Hanya saja, kali ini bertepatan dengan peringatan 60 tahun Piala Eropa, sehingga kali ini dicoba format yang spesial. Permasalahannya, sejumlah negara memperebutkan posisi sebagai tuan rumah untuk babak akhir kompetisi, terutama untuk babak semifinal dan final.
Di awal munculnya format khusus ini, London (Inggris) dan Munchen (Jerman) sama-sama mengajukan permohonan hak untuk menjadi tuan rumah tahap akhir turnamen. Namun, pembicaraan publik belakangan mengerucut pada mundurnya Jerman.
Negara ini mengincar posisi tuan rumah di babak perempat final dan tiga pertandingan di fase penyisihan grup. Hal ini masuk akal lantaran pada Piala Eropa selanjutnya, Jerman akan menjadi tuan rumah untuk keseluruhan kompetisi.
Kedua kota besar Eropa itu hanya contoh persaingan di tataran negara elit, tapi sebenarnya ada kota-kota lain yang turut bersaing dan akhirnya “kalah”. Penentuan 12 kota tuan rumah dan jadwal laga dilakukan melalui proses lelang terbuka, kemudian hasilnya ditentukan oleh UEFA. Inilah kontroversi awal terkait format khusus untuk Piala Eropa kali ini.
Pada dasarnya, negara-negara peserta berebut tempat sebagai tuan rumah di laga-laga besar untuk mendapatkan keuntungan finansial dari penjualan tiket masuk dan pendapatan wisata dari tim dan para pendukung yang datang. Maklum, persaingan ini terjadi di 2019 sebelum pandemi Covid-19 melanda dan pendukung diperbolehkan menonton dalam stadion.
Kontroversi berikutnya adalah pemilihan St. Petersburg, Rusia sebagai salah satu tuan rumah. Terpilihnya St. Petersburg diiringi kabar tak sedap adanya pengaruh perusahaan gas negara asal Rusia, Gazprom, yang juga menjadi donatur besar bagi UEFA. Padahal, dengan terpilihnya Rusia, para tim yang bertanding harus menyiapkan biaya besar karena jarak yang jauh dibandingkan kota tuan rumah lainnya.
Persoalan ini juga terjadi ketika UEFA memilih Baku, Azerbaijan, padahal, situasi politik di sana sedang tidak stabil. Seperti laporan UEFA, jarak yang jauh tentunya memberatkan negara peserta. Lagi-lagi, alasan terpilihnya Baku tidak lain karena dukungan finansial mereka terhadap UEFA hingga saat ini.
Kontroversi juga muncul akibat penentuan UEFA dalam membagi grup negara peserta yang diadakan pada 30 November 2019. UEFA menggunakan pertimbangan geopolitik yang terjadi di tiap negara. Imbasnya, di satu sisi negara tuan rumah memainkan pertandingan fase grup di kandang sendiri sementara ada beberapa tim yang sengaja tidak dipertemukan di fase penyisihan untuk meredam ketegangan sebelum pertandingan.
Misalnya, Ukraina dan Rusia tidak akan saling berhadapan di fase penyisihan grup karena konflik di Ukraina Timur. Akibatnya, Belgia akan berhadapan dengan Rusia dan Denmark di Grup B dan laga dimainkan di kedua negara tersebut. Belgia pun terpaksa menjalani pertandingan tanpa memiliki kesempatan sebagai tuan rumah di fase penyisihan grup.
Bukan olahraga
Pemain sepak bola tim nasional Belgia sekaligus klub Manchester City, Kevin De Bruyne, mengkritik pertimbangan UEFA tersebut. Menurutnya, sepak bola bukan lagi sekadar olahraga, melainkan sudah menjadi kepentingan bisnis. Menurut dia para pemain sepak bola harus terbiasa bertanding tanpa melibatkan unsur politik dan kepentingan tertentu negara yang dibelanya.
Tudingan Kevin de Bruyne memang tepat terkait pencampuradukan kepentingan bisnis dan politik dalam tubuh lembaga sepak bola dunia. UEFA yang memayungi tim sepak bola Eropa adalah salah satu bagian dari Organisasi Sepak Bola Dunia (FIFA). Belakangan, FIFA juga diterpa isu korupsi dan suap yang melibatkan sejumlah petingginya.
Kontroversi berikutnya datang dari akibat situasi pandemi Covid-19 yang masih melanda negara-negara Eropa. Persoalan penentuan tuan rumah dan pembagian grup kini tidak lagi memanas, tapi justru persoalan kesehatan para pemain menjadi sorotan berikutnya. Berbeda dengan Piala Eropa sebelumnya yang dijalankan di satu negara, kini tim peserta harus bersedia berpindah-pindah negara untuk bertanding, setidaknya di fase penyisihan grup.
Mobilitas tinggi ini bukan hanya membuat anggaran tim peserta menjadi membengkak melainkan juga persoalan kebugaran dan kesehatan pemain. Jika kebugaran pemain menurun, maka risiko tertular Covid-19 makin tinggi. Dengan begitu, pemain yang terkena Covid-19 tidak diperbolehkan bertanding sampai akhir kompetisi dan itu membuat kerugian besar bagi tim bersangkutan.
Semarak Piala Eropa kini pun tidak lagi semeriah sebelumnya. Kebijakan penonton untuk datang ke stadion dan mendukung tim mereka tergantung pada kebijakan tiap negara tuan rumah. Jika negara yang bersangkutan menetapkan larangan menonton di stadion, maka tidak ada penonton di stadion, begitu pula sebaliknya.
Kasus ini pernah terjadi di pertandingan antarklub Eropa di ajang Liga Champion, yaitu antara Liverpool melawan Leipzig. Kala itu, laga kedua seharusnya diselenggarakan di Liverpool, Inggris, tapi kebijakan setempat melarang adanya penonton. Akhirnya, laga tersebut digelar di Stadion Puskas Arena, Hongaria yang diputuskan UEFA sebagai tempat netral dari kedua tim.
Bumbu penyedap
Tak hanya kontroversi yang terjadi di luar lapangan sebelum kompetisi dimulai. Pada saat pertandingan dilaksanakan, kontroversi juga terjadi melalui laga panas para pemain. Dari pertandingan-pertandingan Piala Eropa terdahulu, sejumlah kejadian menarik terjadi. Mulai dari tandukan kepala kepada pemain lawan, hingga pengaturan skor hasil pertandingan.
Pada Piala Eropa 1992, Basile Boli (pemain Prancis) menanduk Stuart Pearce (pemain Inggris) setelah terlibat adu mulut dengan Prancis lainnya. Uniknya, Stuart Pearce memilih bungkam atas aksi tersebut dan tak mengadukan Boli atas perbuatan tidak terpuji tersebut kepada wasit.
Kontroversi juga muncul akibat penentuan UEFA dalam membagi grup negara peserta
Dugaan pengaturan skor terjadi di Piala Eropa 2004 dan dikenal dengan nama “Skandal Skandinavia”. Kala itu Italia butuh kemenangan melawan Bulgaria agar lolos grup dengan catatan hasil antara Swedia melawan Denmark berakhir seri tidak lebih dari 1-1. Hasilnya, Italia menang atas Bulgaria, tapi laga Swedia melawan Denmark berakhir dengan skor 2-2, sehingga Swedia dan Denmark lolos fase grup.
Lain lagi di Piala Eropa 2008, laga melawan Austria menjadi momok mengesalkan bagi Polandia. Unggul 1-0 hingga masa injury time (tambahan waktu), Polandia gagal meraih kemenangan setelah secara tiba-tiba wasit Howard Webb memberikan penalti kepada Austria dengan alasan Marcin Wasilewski menarik kaus Sebastian Prodl. Tendangan penalti akhirnya dikonversi menjadi gol dan Polandia pun tersingkir di fase grup.
Baca juga: Menyelisik Piala Eropa 2020, Ide ”Gila” Platini
Perdebatan saat pertandingan kini dapat diminimalkan dengan penggunaan teknologi dan pembaruan aturan. Penggunaan teknologi Video Asisstant Referee (VAR) yang membantu asisten wasit, berguna untuk memantau pertandingan sehingga dapat memberikan pertimbangan bagi wasit utama atas insiden yang terjadi. Hingga kini, penggunaan teknologi VAR sudah banyak diterapkan dalam kompetisi sepak bola.
Bagaimanapun juga bagi penikmat sepakbola, skandal dan kontroversi yang terjadi di atas lapangan adalah bumbu penyedap rasa dalam kompetisi sepak bola. Hal ini berbeda jika hal tersebut terjadi di luar lapangan seperti yang muncul di Piala Eropa tahun ini. Pasalnya, skandal di luar lapangan melibatkan institusi serta kepentingan, sehingga rawan dengan intrik para pemodal besar. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Jadwal Pertandingan Piala Eropa 2020