Di tengah keterpurukan, Jerman punya masa depan cerah. Sederet bintang muda muncul dan siap meneruskan generasi Mesut Ozil. Salah satunya gelandang serang Kai Havertz yang dianggap cahaya terang untuk masa depan Jerman.
Oleh
ADRIAN FAJRIANSYAH
·4 menit baca
Jerman selalu memiliki sederet bintang lini tengah yang menentukan kesuksesan dalam kejuaraan. Setidaknya, Lothar Matthaus dan Thomas Habler menjadi aktor utama Die Mannschaft saat menjuarai Piala Dunia 1990 Italia, Habler dan Mehmet School ketika memenangi Piala Eropa 1996 Inggris, hingga Ozil, Toni Kroos, dan Mario Gotze kala merengkuh Piala Dunia 2014.
Seiring memudarnya pengaruh para jenderal lapangan tengah itu, menurun pula grafik prestasi Jerman. Itulah yang terjadi saat Ozil dan Kroos kehilangan sentuhannya, mereka amburadul tak mampu lolos dari penyisihan grup di Piala Dunia 2018 Rusia.
Namun, masa suram Jerman tampaknya tidak akan berkepanjangan. Sebab, mereka sudah menemukan calon pemimpin lapangan tengah baru penerus tongkat estafet para legendanya yang ada pada diri Havertz.
Lahir di Desa Mariadorf sebelah utara Aachen, Jerman pada 11 Juni 1999, Haverzt tumbuh di lingkungan yang amat menggemari sepak bola. Dia mulai bermain sepak bola sejak usia empat tahun. Dirinya berlatih pertama kali di Alemannia Mariadorf, klub lokal yang diketuai kakeknya, Richard selama 2003-2009.
Lewat bakat besarnya, karir Havertz meroket begitu cepat. Setelah sering bermain dalam tim kelompok usia dua tahun di atas usianya, mulai 2009 atau ketika berusia 10 tahun, dia bergabung dengan akademi klub Bundesliga 2 Alemannia Aachen. Selang setahun, dirinya direkrut akademi klub Bundesliga Bayer Leverkusen.
Pemandu bakat Leverkusen tak salah menilai. Haverzt terus berkembang dan mendapatkan kesempatan melakukan debut tim senior Leverkusen dalam kekalahan 1-2 dari Werder Bremen di Bundesliga, 15 Oktober 2016. Laga itu membuat dia mencatat rekor sebagai pemain termuda Leverkusen yang menjalani debut Bundesliga dengan usia 17 tahun 126 hari meski rekornya dipecahkan Florian Wirtz dengan usia 111 hari lebih muda empat tahun kemudian.
Pada 2 April 2017, Haverzt mencetak gol pertamanya dalam laga imbang 3-3 dengan VfL Wolfsburg. Itu menjadikannya sebagai pencetak gol termuda Leverkusen di Bundesliga. Tak butuh waktu lama, dia dipercaya sebagai pemain inti klub. Bahkan, dia menjadi pemain termuda yang mencapai 50 dan 100 penampilan Bundesliga.
Seiring karir yang melejit di klub, Haverzt dilirik skuad senior Jerman. Dia melakukan debut internasional dalam kemenangan 2-1 atas Peru di laga uji coba, 9 September 2018. Segenap rekor itu membuatnya direkrut Chelsea dengan nilai fantastis 71 juta poundsterling pada 4 September 2020. Itu nilai transfer termahal kedua Chelsea di bawah Kepa Arrizabalaga.
Ketika itu, saya terkagum dengan atmosfer Stadion Wembley. Tapi, Haverzt sangat dingin dan tenang. Dia bermain begitu mulus dan mudah. Padahal, dia masih 17 tahun, itu luar biasa, apakah ini normal.
Keunggulan Haverzt adalah ketenangan yang mungkin terasah dari kegemarannya bermain piano. ”Saya berusia 20 tahun saat kami menghadapi Tottenham di Liga Champions (2016/2017). Ketika itu, saya terkagum dengan atmosfer Stadion Wembley. Tapi, Haverzt sangat dingin dan tenang. Dia bermain begitu mulus dan mudah. Padahal, dia masih 17 tahun, itu luar biasa, apakah ini normal,” ujar bek Leverkusen Jonathan Tah mengenang debut Haverzt di Liga Champions dikutip Espn.com.
Pelatih Jerman Joachim Low menganggap Haverzt bakat luar biasa. Para pelatih yang pernah menanganinya menilai dia tipekal gelandang modern yang dibutuhkan Jerman di masa depan. Kendati bertubuh menjulang 189 sentimeter, dia justru memiliki gerakan lincah, cepat, mahir mengolah bola dengan kedua kaki, serta unggul duel udara.
Walau berstatus gelandang serang, Haverzt tak segan membantu pertahanan. Terkadang, dirinya berperan sebagai box to box atau pemain jangkar penghubungi antara lini belakang dan depan. Itu ditunjang fisik mumpuni dan kepiawainya mencari ruang kosong.
Haverzt pun punya naluri gol tinggi yang dibutuhkan tim kala penyerang mengalami kebuntuan. Pada musim 2018/2019, dia tercatat sebagai pemain muda dengan jumlah gol terbanyak dalam satu musim Bundesliga dengan 17 gol dari 34 laga. Selama memperkuat Leverkusen di Bundesliga 2016-2020, statistik golnya tergolong produktif untuk ukuran gelandang, yakni 36 gol dari 118 laga.
Ketajaman Haverzt menjadi penentu kemenangan 1-0 Chelsea atas Manchester City di final Liga Champions 2020/2021, 30 Mei kemarin. Tiga menit sebelum laga babak pertama berakhir, dia berhasil menyelinap ke pertahanan lawan. Dengan sedikit gerakan tipu di kotak penalti, dirinya mengelabui penjaga gawang City Ederson dan menceploskan bola dengan mudah ke gawang. Gol itu memastikan Chelsea merebut gelar Liga Champions keduanya pasca 2011/2012.
Jelang Piala Eropa 2020, Haverzt ingin kembali menjadi penentu. Maka itu, dirinya mengincar tempat utama kendati harus bersaing dengan para pemain yang lebih pengalaman, seperti Kroos, Leon Goretzka, dan Thomas Muller, pemain multifungsi yang dipanggil lagi ke timnas usai tersisih tiga tahun terakhir.
”Ada cukup banyak sistem di mana beberapa gelandang serang bisa bermain bersama. Saya pemain kreatif dan bisa bermain di banyak posisi. Dengan ini, saya ingin memainkan setiap laga seperti orang lain di skuad. Saya harap saya dapat banyak menit bermain di turnamen kali ini,” tutur Haverzt. (AFP)