Mengulang Pengkhianatan Termanis Aragones
Enrique, dengan generasi baru ”La Roja”, berharap bisa mengulang pengkhianatan termanis yang dilakukan pelatih legendaris Luis Aragones.
Warga Spanyol tak akan pernah lupa kejahatan besar yang dilakukan Luis Aragones 13 tahun silam. Pelatih tim nasional ini berani mendepak penyerang kebanggaan negara, Raul Gonzalez, dari skuad ”La Roja” di Piala Eropa 2008.
Raul adalah sosok yang sangat istimewa. Dengan kemampuan sepak bola mumpuni dan wajah rupawan, dia adalah ikon paling membanggakan. Dia dianggap seperti seorang pangeran bagi warga ”Negeri Matador”, dan bagaikan dewa untuk fans Real Madrid.
Aragones, yang punya watak tegas dan temperamen tinggi, mendepaknya tanpa empati. Sang pelatih bahkan tidak mengabari keputusannya kepada kapten Spanyol pada Piala Dunia Jerman 2006 tersebut.
”Saya tidak menelepon atau memberi tahu bahwa dia tidak terpilih. Dia bukanlah kasus yang spesial. Fakta sederhananya, saya memanggil pemain yang paling cocok untuk kebutuhan tim. Saya memilih pemain yang berada dalam kondisi puncak,” kata Aragones saat itu.
Baca juga: Meraba Wajah Baru La Furia Roja
Dalih Aragones sama sekali tidak membantu. Dia terus menjadi sasaran kemarahan. Media lokal terus membakar kasus pencoretan tersebut. Sampai-sampai, sang pelatih yang juga sukses sebagai pemain ini dicap pengkhianat negara.
Bagi para pendukung timnas, tidak mungkin pergi ke turnamen terbesar Eropa tanpa sang megabintang. Raul, saat itu berusia 31 tahun, baru saja memimpin ”El Real” juara Liga Spanyol. Prestasinya sedang menanjak. Tanpanya, Aragoes dinilai sengaja membawa tim jatuh ke jurang kegagalan.
Nama Raul bahkan dikalahkan oleh dua pemain tim medioker, Daniel Guiza (Real Mallorca) dan Sergio Garcia (Real Zaragoza). Jika dibandingkan, Raul yang punya 102 penampilan bersama timnas, mereka hanyalah anak bawang. Guiza dan Garcia hanya pernah main delapan kali untuk Spanyol.
Kemarahan itu terpancar jelas dalam laga persahabatan Spanyol di Stadion El Sardinero, Santander. Puluhan ribu penonton meneriakkan nama Raul. Mereka bersiul, lalu mencemooh Aragones. Tidak sedikit yang meminta sang pelatih mundur.
Baca juga: La Roja Menjaga Sempurna
Namun, hanya dalam waktu sebulan, Aragones berubah dari orang yang paling dibenci menjadi yang paling dicintai publik Spanyol. Tim Matador pulang dari Austria-Swiss dengan trofi juara Piala Eropa.
Sukses ini menjadi gelar pertama mereka setelah paceklik prestasi selama 44 tahun. Bersama penyerang berbakat, striker David Villa dan Fernando Torres, sukses skuad ini berlanjut dengan menjadi juara Piala Dunia 2010 dan Piala Eropa 2012, meski tak lagi dilatih Aragones.
Aragones yang dianggap membentuk timnas terburuk justru menciptakan salah satu skuad terbaik dalam sejarah sepak bola dunia.
Seperti disampaikan dalam buku Spain: The Inside Story of La Roja\'s Historic Treble, pencoretan Raul menjadi simbol evolusi terindah yang pernah dialami Spanyol. Jika dikatakan sebagai pengkhianatan, kejahatan Aragones adalah yang termanis. Aragones selalu percaya, timnas Spanyol itu bukan Barcelona dan Real Madrid, apalagi hanya satu pemain bintang. Dia selalu ingin sebelas pemain di lapangan bermain sebagai kesatuan, bukan untuk corak klub masing-masing.
”Ketika saya datang, saya hanya punya sebuah skuad. Tetapi, saat keluar, saya ingin punya sebuah tim (solid),” ucap pria yang suka bicara apa adanya dan nyaris selalu benar tersebut.
”Deja vu”
Setelah Aragones berpulang pada 2014, memori pencoretan Raul kembali terulang jelang Piala Eropa 2020. Kali ini giliran Pelatih Luis Enrique yang berjudi. Dia tidak memasukkan bek tengah ”El Real” Sergio Ramos, pemain dengan penampilan terbanyak untuk Spanyol.
Baca juga: Perkenalan Manis Era Baru La Furia Roja
Lebih ekstrem lagi, Enrique tidak menyertakan satu pun pemain Madrid ke dalam tim. Keputusan ini melahirkan sejarah baru. Pertama kalinya sepanjang sejarah tidak ada wakil dari ”El Real” dalam skuad ”La Roja”. Isu sabotase punggawa Madrid sempat menerpa mantan pelatih Barcelona tersebut.
Namun, Enrique yang pernah menjadi pemain Madrid dan Barca ternyata melakukan hal serupa pada para pemain bintang lain. Bek veteran Barca Gerard Pique, duet Ramos di tim nasional yang tidak pernah absen dalam turnamen besar sedekade terakhir, juga tidak dipanggil masuk tim.
Enrique memutuskan untuk mengubah wajah tim. Dia berpendapat, pemain warisan generasi emas pada 2008-2012 sudah waktunya diganti. Mereka gagal mencapai performa terbaik dalam dua Piala Dunia dan satu Piala Eropa setelah 2012.
Saya pikir tim ini merupakan salah satu favorit di Piala Eropa. Dalam latihan terlihat level tim ini jauh di atas harapan saya. Tinggal tugas saya membuat mereka untuk percaya, mereka mampu melakukannya.
Seperti Aragones, Enrique juga memilih pemain menyesuaikan pada penampilan mereka pada musim ini. Tak heran, skuad ”La Roja” saat ini sangat beragam. Ada nama yang tak banyak dikenal publik, seperti bek Leeds United Diego Llorente, kiper Brighton Hove Albion Robert Sanchez, hingga gelandang RB Leipzig Dani Olmo.
Skuad berisi 24 pemain ini berasal dari 16 tim di 5 liga berbeda. Hal ini jauh berbeda dengan Piala Dunia Rusia 2018, ketika sebanyak 13 pemain berasal dari tiga tim raksasa Spanyol, yakni Barca, Real, dan Atletico Madrid.
Keberanian inilah yang sudah dinantikan sejak lama. Enrique tidak punya karakter sekeras Aragones. Tetapi, pria kalem ini sudah terbiasa dengan hujan kritik. Dia berpengalaman dibandingkan dengan Josep Guardiola, pendahulunya saat melatih Barca. Sebab itu, sang arsitek berani mengulang kontroversi yang dilakukan Aragones.
Enrique sadar, cercaan para pendukung menantinya jika dia gagal. Apalagi, Spanyol akan memainkan tiga laga Grup E sebagai tuan rumah. Namun, pelatih 51 tahun ini lebih percaya eksperimennya akan sukses.
”Saya pikir tim ini merupakan salah satu favorit di Piala Eropa. Dalam latihan terlihat level tim ini jauh di atas harapan saya. Tinggal tugas saya membuat mereka untuk percaya, mereka mampu melakukannya,” tutur Enrique.
Skuad Spanyol terasa lebih segar dengan kombinasi pemain muda. Duo bek tengah, misalnya, Pau Torres dan Aymeric Laporte. Mereka dinilai lebih energik dan punya kecepatan dibandingkan dengan duet Ramos dan Pique.
Di lini tengah, Enrique menggabungkan pengalaman pemain veteran, seperti Sergio Busquets dan Rodri (24), gelandang Manchester City yang sedang naik daun. Lini serang juga tak kalah berbahaya dengan sengatan dari pemain top di liga masing-masing, seperti Mikel Oyarzabal, Alvaro Morata, dan Ferran Torres.
Belajar dari pengalaman Aragones, publik Spanyol tampaknya tidak lagi seimpulsif dulu. Skuad ini mendapat sambutan cukup meriah dari 15.000 penonton ketika laga persahabatan melawan Portugal, di Stadion Wanda Metropolitano, pada Jumat (4/6/2021).
Skuad asuhan Enrique sudah dinanti tantangan berat di depan mata. Ancaman nyata datang dari Grup E yang berisi Polandia, Slovakia, dan Swedia. Ketiga tim ini berada satu level di bawah Spanyol, tetapi sama sekali tidak bisa dianggap remeh.
Polandia datang bersama striker tertajam di Eropa saat ini, Robert Lewandowski. Slovakia dipimpin gelandang spartan Marek Hamsik, sedangkan Swedia membawa bintang baru yang sedang naik daun, Dejan Kulusevski. Mereka bisa menjadikan Enrique sebagi pengkhianat sesungguhnya bagi publik Spanyol. (AFP)