Kasus Osaka, Antara Kesehatan Mental dan Tuntutan Turnamen
Mundurnya Naomi Osaka dari Perancis Terbuka menguak betapa pentingnya kesehatan mental bagi seorang atlet. Saat ini, banyak atlet dunia mengaku mengalami gangguan kesehatan mental.
Mundurnya Naomi Osaka di tengah Grand Slam Perancis Terbuka terjadi karena adanya benturan antara tuntutan kewajiban turnamen dengan gangguan kesehatan mental. Keduanya menjadi faktor yang tidak terelakkan dalam dunia olahraga profesional.
Osaka mundur dari turnamen di lapangan tanah liat Roland Garros, Paris ketika turnamen baru memasuki hari kedua pada Senin (31/5/2021). Dia memutuskan tidak melanjutkan penampilan hanya sehari setelah memenangi babak pertama atas Patricia Maria Tig.
Petenis peringkat kedua dunia itu memutuskan mundur karena bersikeras tidak ingin menghadiri konferensi pers sepanjang turnamen. Setelah tidak menemui wartawan usai mengalahkan Tig, Dewan Grand Slam mendendanya 15.000 dollar AS (sekitar Rp 214 juta) dan mengancam diskualifikasi dari semua Grand Slam jika Osaka mengulangi sikapnya.
Melalui media sosial, Osaka bercerita tentang depresi yang dialaminya sejak meraih gelar pertama di arena Grand Slam, pada Amerika Serikat Terbuka 2018. Dengan karakternya yang tertutup, Osaka cemas ketika berhadapan dengan publik dan media.
Dalam ajang olahraga, apalagi kejuaraan besar, konferensi pers menjadi salah satu kewajiban atlet. Disebutkan dalam peraturan Grand Slam, petenis atau anggota timnya harus menghadiri konferensi pers 30 menit setelah menyelesaikan pertandingan, kecuali cedera atau tak bisa hadir secara fisik. Kewajiban tersebut berlaku untuk petenis yang menang, kalah, atau mengundurkan diri saat diminta panitia. Ketidakhadiran berakibat sanksi denda maksimal 20.000 dollar AS.
Dalam kejuaraan, konferensi pers adalah jembatan untuk menghubungkan atlet dengan penggemarnya. Meski perkembangan teknologi media telah memungkinkan bintang-bintang olahraga itu menyapa langsung penggemarnya, melalui media sosial, media massa masih dinilai penting, untuk menyampaikan sudut pandang atlet, oleh penyelenggara turnamen.
Baca juga : Mencari Solusi Isu Depresi Osaka
Namun, situasi akibat pandemi Covid-19 yang terjadi sejak 2020 berpengaruh besar pada penyelenggaraan turnamen dan peliputannya. Saat ini, penyelenggara turnamen tenis, termasuk Grand Slam, berjuang keras untuk menutupi kerugian jutaan dollar karena pandemi. Tennis Australia (TA) misalnya, mengalami kerugian sekitar 80 juta dollar AS (Rp 1,1 triliun) ketika menyelenggarakan Australia Terbuka 2021.
Akibat pandemi, turnamen dimundurkan dari Januari menjadi 8-21 Februari dengan jumlah penonton terbatas. Direktur TA Craig Tiley menyebutkan, kerugian terbesar adalah ketika terjadi lima hari karantina di negara bagian Victoria hingga turnamen tidak boleh disaksikan penonton. Total, sebanyak 100.000 tiket dikembalikan.
Panitia juga harus menanggung karantina ketat dua pekan untuk partisipan yang berada satu pesawat dengan mereka yang terinfeksi Covid-19. Padahal, TA telah mengantisipasi terjadinya penularan dengan menyediakan pesawat sewa dari beberapa titik, seperti Los Angeles (AS), Dubai (Uni Emirat Arab), dan Singapura untuk menuju Melbourne.
Maka, seperti ditulis dalam The New York Times, hal terakhir yang dapat dilakukan penyelenggara turnamen adalah dengan memunculkan petenis bintang, terutama atlet muda, ke hadapan media. Juru bicara Asosiasi Tenis AS (USTA) Chris Widmaier mengatakan, kehadiran bintang itu, tidak terbantahkan, meningkatkan nilai turnamen dan rating televisi.
Baca juga: Mundur dari Perancis Terbuka, Osaka Fokus Kesehatan Mental
Ketika nama-nama dengan nilai jual besar, seperti Roger Federer, Rafael Nadal, Novak Djokovic, dan Serena Williams akan memasuki masa akhir karier mereka, bintang muda memikul tanggung jawab itu. Osaka, dengan prestasi, latar belakang, dan aktivitasnya di luar lapangan yang menjadi inspirasi anak-anak muda telah menjadi bintang baru itu.
Di sisi lain, masalah muncul dengan menurunnya jumlah peliput ajang tenis. Perancis Terbuka hanya menerima 500 permintaan akreditasi pers, menurun dari 800 akreditasi yang dikeluarkan pada 2019.
The New York Times menjadi satu-satunya media besar AS yang mengirimkan jurnalisnya untuk meliput Australia Terbuka 2021. Media lain banyak yang mengurangi bahkan meniadakan peliput untuk Grand Slam.
Rating ESPN ketika AS Terbuka 2020 digelar tanpa penonton menurun 47 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Demikian pula dengan rating Australia Terbuka 2021 di Channel Nine yang turun 30 persen.
Baca juga: Osaka Didenda dan Terancam Diskualifikasi
Pendiri Asosiasi Tenis Profesional (ATP) Donald Dell mengatakan, akses media ke atlet dengan nama besar sangat penting untuk promosi olahraga apapun. Kehadiran para bintang itu sangat vital untuk mengikat loyalitas penonton.
Sponsor juga membayar jutaan dollar AS agar nama mereka tercantum dalam latar belakang ruangan konferensi pers. Produk mereka, seperti air minum dan minuman energi diletakkan di dekat mikrofon tempat atlet berbicara, sehingga, jika atlet tak tampil dalam konferensi pers, nilai dari kerja sama itu menurun drastis.
Pada era olahraga modern, banyak bintang lapangan tidak sekedar menjadi atlet. Michael Jordan, Cristiano Ronaldo, dan Roger Federer telah menjadi ikon global. Demikian pula Osaka.
Atlet Jepang keturunan Haiti itu menjadi atlet putri dengan pendapatan tertinggi pada 2020 dan 2021 versi media keuangan, Forbes. Pendapatannya pada periode Juni 2020-Juni 2021, sebesar 60 juta dollar AS (Rp 859 miliar), lebih besar dibandingkan tahun sebelumnya, 37,4 juta dollar AS (Rp 535 miliar). Sebanyak 55 juta dollar AS (Rp 787,5 miliar) itu berasal dari sponsor dan sisanya dari hadiah turnamen.
Baca juga: Osaka Mencari Kenyamanan di Rolland Garros
Latar belakang Osaka dan demografi penggemar tenis, disebutkan Forbes, membuat banyak perusahaan tertarik menjadi sponsor petenis. Osaka memiliki 15 perusahaan yang menjadi sponsornya, termasuk perusahaan besar seperti Nike, Mastercard, TAG Heuer, dan Nissin yang mendukung pengunduran dirinya dari Perancis Terbuka.
Kesehatan mental
Namun, melonjaknya popularitas yang berefek pada tanggung jawab dan tuntutan yang makin besar sering membuat atlet kewalahan. Satu per satu, mereka mengungkapkan kegelisahan, bahkan, pengalaman depresi.
Kesehatan mental adalah nyata dan dalam dunia atlet, perlu keberanian dari seorang bintang untuk menggunakan kata ‘depresi’ atau ‘cemas’ untuk mengungkapkannya
“Kesehatan mental adalah nyata dan dalam dunia atlet, perlu keberanian dari seorang bintang untuk menggunakan kata ‘depresi’ atau ‘cemas’ untuk mengungkapkannya,” kata James Houle, psikolog olahraga yang juga atlet senam di Ohio, AS.
Sebelum Osaka mengungkapkan masalahnya di Roland Garros, sejumlah atlet pernah berterus terang tentang kondisi kesehatan mentalnya. Di antara mereka ada perenang AS peraih 23 medali emas dari empat Olimpiade, Michael Phelps, yang memiliki sejarah depresi.
Pesenam AS dengan tiga medali emas Olimpiade, Aly Raisman, juga berjuang mengatasi masalah kesehatan mentalnya. Mantan perenang AS yang juga peraih emas Olimpiade, Amanda Beard, mengalami depresi hingga pernah mencederai diri sendiri. Dia menuliskan pengalamannya dalam buku berjudul, “In the Water They Can’t See You Cry”.
Di kalangan petenis, banyak atlet yang kesulitan beradaptasi dengan besarnya sorotan setelah mereka menjuarai Grand Slam, di antaranya Sloane Stephens (juara AS Terbuka 2017) dan Jelena Ostapenko (juara Perancis Terbuka 2017). Itu berakibat pada penurunan prestasi mereka.
Baca juga: Mereka yang Kesulitan Bersaing di Roland Garros
Petenis AS, Jennifer Brady, juga berjuang mengatasi rasa tak percaya diri ketika berhadapan dengan media untuk mengungkapkan perasaannya pada orang tidak dikenal. “Berbicara tentang perasaan tidak mudah bagi saya, termasuk dengan orang yang saya kenal,” ujar Brady.
Matthew Smith, profesor bidang kesehatan mental dari Universitas Strathclyde, Glasgow, Skotlandia, mengatakan, saat ini semakin banyak atlet yang tidak sungkan mengungkapkan kondisi kesehatan mentalnya.
Saat ini semakin banyak atlet yang tidak sungkan mengungkapkan kondisi kesehatan mentalnya.
“Dulu, atlet enggan berbicara tentang ini, tidak lain karena itu bisa digunakan untuk melawan mereka. Apalagi, di dunia olahraga juga banyak kasus rasis, homofobia, seksisme, dan perfeksionisme yang berkontribusi pada munculnya gangguan kesehatan mental. Sekarang, kondisinya sudah berubah,” kata Smith.
Baca juga: Antusiasme dan Tekanan Naomi Osaka
Pengungkapan dari para bintang itu membuat penggemar, pelatih, asosiasi olahraga, penyelenggara turnamen, dan sponsor tak bisa mengecilkan masalah kesehatan mental dan menganggapnya tak layak untuk dibantu.