Dalam hitungan hari, Piala Eropa 2020 akan dimulai. Pesta sepak bola termegah di Eropa itu digelar dengan gagasan besar, yaitu ingin memeluk langsung seluruh penggemar sepak bola sejagat. Gagasan itu kini menjadi berkah.
Oleh
MUHAMMAD IKHSAN MAHAR
·5 menit baca
Setelah tertunda satu tahun, dunia akhirnya akan menyambut Piala Eropa 2020 yang akan dibuka oleh laga Italia melawan Turki di Stadion Olimpico, Roma, Sabtu (12/6/2021) pukul 02.00 WIB. Pergelaran Piala Eropa ke-16 itu terasa spesial karena untuk pertama kali dilangsungkan di lebih dari dua negara. Asosiasi Sepak Bola Eropa (UEFA) menetapkan 11 kota dari 11 negara untuk menyelenggarakan pesta sepak bola terbesar kedua sejagat itu.
Penentuan edisi istimewa itu merupakan ide dari mantan Presiden UEFA Michel Platini (2007-2015). Menurut Platini, UEFA perlu mengambil langkah radikal untuk memperingati 60 tahun Piala Eropa dengan cara yang ”romantis”, yakni memeluk langsung seluruh pencinta sepak bola di daratan Eropa.
”Piala Eropa harus mendatangi fans dengan melaksanakan pertandingan di sejumlah negara. Saya pikir, hal ini akan menciptakan atmosfer sangat spesial di antara pendukung karena duel tim nasional akan menghadirkan pesta-pesta hebat di banyak negara dalam satu waktu,” ujar Platini dalam sebuah wawancara pada 2012, seperti dikutip The Guardian.
Terobosan baru itu dilakukan agar tidak hanya satu atau dua negara yang ”menderita” secara finansial untuk mempersiapkan Piala Eropa. Platini menggambarkan negara tuan rumah Piala Eropa harus menyiapkan dana serupa dengan menyelenggarakan Olimpiade.
Kyiv Post, surat kabar terbesar di Ukraina, mengungkapkan negara itu dan Polandia secara akumulasi harus mengeluarkan dana sekitar 44,5 miliar dollar AS atau sekitar Rp 636,6 triliun untuk menyukseskan Piala Eropa 2012. Dana itu digunakan untuk membangun infrastruktur olahraga, fasilitas umum, hingga meningkatkan kualitas transportasi publik.
Menjadi berkah
Alhasil, keputusan Platini yang disahkan dalam rapat UEFA pada 2014 itu menghadirkan berkah di masa pandemi Covid-19 ini. Penunjukan 11 kota di 11 negara itu membuat seluruh tuan rumah berbagi ”kue” pembangunan.
Tertundanya Piala Eropa pada tahun lalu pun tidak merugikan mereka karena stadion dan infrastruktur yang telah disiapkan dalam empat hingga lima tahun terakhir masih bisa digunakan secara efektif. Pasalnya, seluruh tuan rumah adalah ibu kota negara di Eropa.
Di sisi lain, keputusan untuk menetapkan banyak negara itu seakan menjadi buah simalakama di masa pandemi itu. Akses penonton tidak akan seleluasa seperti biasanya. Pasalnya, beberapa negara membatasi perjalanan antarnegara untuk menghindari penyebaran Covid-19.
Meski begitu, dari 11 kota dan negara, hanya Inggris yang masih memberlakukan aturan ketat yang mewajibkan para pendatang dari negara zona merah untuk melakukan karantina selama minimal sepuluh hari. Beruntung, dari 55 negara anggota UEFA, hanya Turki yang masuk zona merah Pemerintah Inggris. Jadi, mayoritas warga Eropa masih bisa hadir langsung di stadion demi merasakan atmosfer persaingan negara-negara terbaik di Piala Eropa.
Secara umum, para penonton dari luar Eropa dipastikan akan sulit menyaksikan laga Piala Eropa di stadion. Meskipun hanya bisa disaksikan dari layar kaca, penyelenggaraan Piala Eropa 2020 dipastikan mampu mewujudkan romantisisme yang diimpikan Platini. Piala Eropa 2020 akan menjadi oase bagi seluruh masyarakat dunia yang masih menderita seiring pandemi Covid-19 yang belum mereda.
”Komunitas sepak bola di Eropa telah menunjukkan semangat solidaritas demi membawa sepak bola kembali setelah menjalani krisis terbesar sejak Perang Dunia II. Piala Eropa 2020 adalah agenda olahraga berdimensi global pertama yang dilaksanakan di masa pandemi. Ini adalah kesempatan sempurna untuk menunjukkan dunia bahwa Eropa berangsur normal,” ucap Presiden UEFA Aleksander Ceferin dilansir laman UEFA.
Di luar faktor nonteknis itu, persaingan 24 negara di Piala Eropa 2020 dipastikan akan sengit. Setidaknya ada lima negara raksasa Eropa yang memiliki ambisi khusus menyambut turnamen empat tahunan itu.
Tiga tim yang tergabung di Grup F, yaitu Perancis, Portugal, dan Jerman, sangat siap jelang menghadapi laga fase penyisihan yang akan berlangsung di Muenchen, Jerman; dan Budapest, Hongaria. Meskipun sudah bertemu di satu grup, ketiganya tetap berpeluang lolos di fase gugur. Sebab, selain juara dan runner-up grup, terdapat jatah empat tim terbaik peringkat ketiga yang bisa menyegel tiket ke babak 16 besar.
Kami memiliki sejumlah pemain muda yang berpengalaman meraih juara di level yunior dan klub. Maka, hal itu menjadi modal berharga bagi kami untuk bersaing di Piala Eropa. (Gareth Southgate)
Perancis tentu ingin mengulangi sejarah dua dekade silam ketika mampu mengawinkan trofi Piala Dunia 1998 dengan Piala Eropa 2000. Tim asuhan Didier Deschamps itu akan tampil dengan status juara Piala Dunia 2018 di Rusia. Selain itu, Deschamps juga memanggil kembali ”Si Anak Hilang”, Karim Benzema, setelah terakhir kali memperkuat kostum ”Les Bleus”, Oktober 2015. Benzema akan menghadirkan trisula mematikan di lini serang Perancis bersama Kylian Mbappe dan Antoine Griezmann.
Adapun Jerman ingin mengakhiri era pelatih Joachim Loew dengan catatan gemilang. Loew, yang akan meninggalkan timnas Jerman seusai Piala Eropa 2020, telah meraih trofi Piala Dunia 2014 di Brasil. ”Die Mannschaft” memiliki kenangan indah di lokasi laga final, yaitu Stadion Wembley, Inggris. Pada Piala Eropa 1996, Jerman berhasil membawa pulang trofi ”Henri Delaunay” kedua di stadion kebanggaan masyarakat Inggris itu.
Adapun Portugal akan berusaha mempertahankan trofi Piala Eropa 2016. Pelatih Portugal Fernando Santos akan memadukan sang megabintang, Cristiano Ronaldo, dengan para pemain muda terbaik di Eropa, seperti Joao Felix, Bernardo Silva, Diogo Jota, Ruben Dias, dan Bruno Fernandes. Inilah generasi emas sepak bola Portugal yang telah meraih Piala Eropa serta Liga Nasional Eropa edisi perdana, 2019.
”Perancis dan Jerman memiliki tanggung jawab untuk menang. Adapun kami, meskipun percaya bisa bersaing di grup ini, bukanlah tim favorit. Untuk melaju dari fase grup, kami wajib menghargai setiap lawan sebagai tim yang kuat,” kata Pelatih Portugal Fernando Santos merendah.
Terakhir, Inggris, sang tuan rumah laga final, ingin menebus kekecewaan pada 1996. Pelatih Inggris Gareth Southgate belum bisa melupakan kegagalannya mengeksekusi penalti dalam drama adu penalti pada laga semifinal Piala Eropa 1996 kontra Jerman di Wembley. Bagi Inggris, tidak ada tempat yang terbaik untuk meraih trofi Piala Eropa perdana selain di Wembley. Kenangan indah itu pernah dialami tim ”Tiga Singa” saat menjuarai Piala Dunia 1966 di London.
”Kami memiliki sejumlah pemain muda yang berpengalaman meraih juara di level yunior dan klub. Maka, hal itu menjadi modal berharga bagi kami untuk bersaing di Piala Eropa. Hal terpenting, kami harus juara grup, kemudian mengejar target untuk bermain di Wembley dari fase gugur hingga final,” kata Southgate kepada The Sun.