Kodrat Sepak Bola yang Diabaikan Pep Guardiola
Johan Cruyff berprinsip, sepak bola adalah permainan sederhana. Namun, Pep Guardiola tidak menuruti ”sang guru”. Ia mencari kerumitan tidak seharusnya di final Liga Champions. Kesalahan besar itu kemudian menghukumnya.
Sekitar sebulan lalu, Manajer Manchester City Josep ”Pep” Guardiola teringat dengan pesan gurunya, Johan Cruyff, sang inovator total football. Kata Guardiola, ucapan ”mistis” yang didengar sekitar 30 tahun lalu itu menjadi bekalnya jelang laga semifinal Liga Champions Eropa melawan Paris Saint-Germain.
”Keluar dan nikmatilah,” pesan Cruyff yang menjadi pelatih Barca ketika itu, dan Guardiola sebagai pemainnya, jelang final Piala Eropa 1992 melawan Sampdoria di Stadion Wembley, Inggris.
Guardiola, yang begitu terpengaruh oleh sosok Cruyff, mulai dari kepemimpinan hingga gaya bermain, mengucapkan kalimat nyaris serupa kepada anak-anak asuhannya. Kalimatnya tidak sama persis karena dia tidak mau disamakan dengan Cruyff. Akan tetapi, intinya tetaplah sama.
Intinya, para pemain City diminta menikmati hotel mewah di Paris, merasakan jalanan indah kota romantis itu. Dan, yang terpenting, mereka harus bersukaria di tengah seluruh mata yang memandangi mereka. ”Nikmatilah tanggung jawab itu. Anda mungkin tidak akan berada di situasi ini lagi sepanjang hidup,” tutur pelatih 50 tahun tersebut.
Baca juga : City Tersengat Kutukan Finalis Tim Debutan
Namun, agaknya Guardiola lupa menerapkan perkataan sang guru kepada dirinya sendiri. Sebulan setelah mengucapkan kenangan itu, sang manajer justru ditampar oleh ungkapan ”mistis” sang mentor.
Jadi ”kambing hitam”
Semua mata tertuju kepadanya seusai City kalah di final Liga Champions. Hampir semua media Eropa sepakat, ”kambing hitam” kekalahan timnya dari Chelsea, 0-1, pada final itu adalah Guardiola. Dia dinilai terlalu banyak berpikir jelang partai puncak, sampai-sampai melahirkan strategi yang kurang masuk akal.
Media ternama di Inggris, The Telegraph, menyebut strategi sang manajer sebagai perjudian yang gagal. ”City tereksploitasi ketika bermain dengan lini pertahanan tinggi. Itu konsekuensi dari lini tengah yang sangat rapuh,” demikian bunyi ulasan media asal Inggris itu.
Pada laga final di Portugal itu, Guardiola membuat keputusan unik dengan tidak memasang gelandang bertahan, Rodri ataupun Fernandinho. Keputusan ini bahkan sampai membuat Manajer Chelsea Thomas Tuchel terkejut. ”Saya sudah mengira Fernandinho akan bermain,” kata Tuchel.
Tidak hanya Tuchel, semuanya terkejut, mungkin juga pemain-pemain City. Sebab, Guardiola hampir selalu memainkan antara Rodri atau Fernandinho dalam skuad utama sepanjang tahun ini. Gelandang bertahan merupakan roh utama dari gaya penguasaan bola ”Si Biru Langit”.
Dalam 60 laga terakhir, City hanya sekali bermain tanpa salah satu dari dua jantung lini tengah tersebut. Satu-satunya laga itu adalah ketika menghadapi Olympiakos di babak penyisihan grup Liga Champions, setengah tahun silam.
Posisi gelandang pivot justru ditempati Ilkay Guendogan, pemain tengah yang lebih berkarakter ofensif. City menang 3-0, tetapi Guendongan terlihat tidak mampu menjalani peran gelandang bertahan itu. Timnya tampak kehilangan keseimbangan permainan.
Srategi aneh
Guardiola, dengan naifnya, memainkan strategi aneh itu lagi di Portugal. Dia mencadangkan Fernandinho dan Rodri, lalu memainkan Guendogan sejak awal. Partai final, yang seharusnya menjadi akumulasi dari kumpulan strategi terbaik, justru dianggap seperti partai persahabatan atau ajang coba-coba.
Mantan gelandang bertahan ini dikalahkan oleh diri sendiri, takluk oleh pikiran rumitnya. Semua itu berujung kekecewaan. Guardiola gagal membawa City juara Liga Champions untuk pertama kali sepanjang sejarah. Dia juga gagal mengangkat trofi ”Si Kuping Lebar” lagi setelah terakhir kali meraihnya pada satu dekade lalu bersama Barcelona.
Sebuah fakta menyedihkan pun tersaji. Pekan lalu, Guardiola menangis seperti bocah ketika Sergio Aguero menjalani laga perpisahan di Stadion Etihad dalam pekan terakhir Liga Inggris. Guardiola tidak mampu berkata-kata saat reporter meminta pendapat tentang Aguero.
Sepekan kemudian, justru Guardiola menjadi pria yang paling bertanggung jawab atas kesedihan Aguero. Aguero, yang memainkan laga terakhir untuk City di Portugal, tidak kuasa membendung air matanya ketika peluit panjang final Liga Champions berbunyi. Padahal, dia masih bisa tersenyum lebar ketika laga perpisahan pekan lalu.
Guardiola berkata, tidak ada yang salah dengan pemilihan pemainnya. ”Saya hanya memilih yang terbaik untuk menang. Tetapi, tidaklah mudah melawan Chelsea yang punya struktur pertahanan bagus,” tegas manajer berwibawa tersebut.
Baca juga : Guardiola Melawan Nasib
Tragedi berulang
Pikiran berlebihan Guardiola sudah berulang kali merusak hari pentingnya. Salah satu penyesalan terbesarnya adalah saat menjalani musim pertamanya di Bayern Muenchen. Kala itu, timnya melawan Real Madrid pada semifinal Liga Champions tahun 2014.
Manajer peraih dua gelar Liga Champions itu kebingungan menentukan strategi jelang laga kedua semifinal di markas mereka. Bayern Muenchen tertinggal agregat 0-1 karena kalah saat bertandang ke markas Real di Spanyol.
Lalu, hanya dalam rentang beberapa hari, dia berkali-kali mengubah formasi tim sebelum laga besar, yaitu mulai dari 3-4-3, 4-2-3-1, hingga 4-2-4. Awalnya, ia sudah mantap dengan formasi tiga bek. Akan tetapi, formasi itu lantas diubah karena kekhawatiran berlebihan.
Mantan pemainnya, Thomas Mueller, juga mengakui sang pelatih (Pep Guardiola) sebagai sosok yang sempurna. Dia selalu terfokus pada kekuatan lawan, terutama pada fase gugur sebuah kompetisi.
Hasilnya, mereka dipermalukan 0-4 di kandang. Guardiola berkata, itu adalah penyesalan terbesarnya sepanjang karier. ”Saya salah, sangat salah. Saya telah mengacaukannya. Ini kesalahan terbesar dalam hidup saya sebagai pelatih. Saya menghabiskan musim dan menolak bermain dengan pola 4-2-4. Namun, saya memutuskan menggunakannya malam ini, malam terpenting tahun ini. Benar-benar berantakan,” ucapnya.
Kekalahan tersebut membuatnya merasa sangat bersalah. Setelah pertandingan, dia sampai meminta maaf kepada kapten tim, Philipp Lahm, dalam sebuah sesi latihan yang amat panjang dan penuh kekecewaan.
Sebagai seorang perfeksionis, ternyata sifat Guardiola ini memang sudah mengakar. Mantan asistennya selama delapan tahun, Domenec Torrent, bercerita, bosnya itu tidak hanya berlebihan ketika laga besar, melainkan di seluruh laga.
”Ketika memainkan laga persahabatan pada pramusim, dia melakukan hal serupa. Dia tidak bisa melewati satu laga pun tanpa menonton dan mengetahui cara lawannya bermain. Padahal, itu hanya sebuah persahabatan,” kata Torrent, dikutip The Athletic.
Mantan pemainnya, Thomas Mueller, juga mengakui sang pelatih sebagai sosok yang sempurna. Dia selalu terfokus pada kekuatan lawan, terutama pada fase gugur sebuah kompetisi.
”Pep selalu memberikan hormat yang sama untuk setiap lawan. Kemudian, dia akan menggunakan sistem yang dipercayai untuk menghadapi lawan itu. Dia akan menerima risiko apa pun yang terjadi dari sistem yang dibawa,” kata Mueller.
Melupakan kelebihan
Dari kesaksian mantan anak buahnya, terlihat Guardiola selalu fokus kepada sang lawan. Sampai-sampai, dia terkadang melupakan kelebihan timnya sendiri. Padahal, menurut ahli strategi perang China kuno, Sun Tzu, cara terbaik memenangi pertempuran adalah mengenali baik lawan maupun diri sendiri.
Tidak ada yang meragukan Guardiola sebagai manajer paling jenius di planet ini. Dia memopulerkan peran-peran baru nan ajaib dalam sepak bola, misalnya saja false 9, inverted winger, dan inverted full back. Dia juga melahirkan formasi menyerang dengan menyisakan hanya seorang pemain bertahan.
Namun, tampaknya Guardiola perlu kembali mengingat wejangan legendaris Cruyff. Sepak bola adalah permainan sederhana, tidak perlu dibuat rumit. Apalagi, sampai memikirkan hal-hal tidak penting lalu melupakan fondasi utamanya.
Guardiola sekarang kembali menatap malam-malam gelap penuh penyesalan, seperti yang pernah terjadi pada masa lalu. Namun, penyesalan itulah yang akan membuatnya kembali tampil lebih kuat pada musim-musim berikutnya. (AP)