Untuk pertama kalinya pada hampir 20 tahun terakhir, Serena Williams dan Roger Federer tidak diunggulkan sebagai juara Perancis Terbuka. Selain digerogoti umur, rekor keduanya di lapangan tanah liat tidak mengesankan.
Oleh
YULIA SAPTHIANI
·4 menit baca
Untuk pertama kalinya pada hampir 20 tahun terakhir, Serena Williams dan Roger Federer ”terpinggirkan” dari arena Grand Slam. Di lapangan tanah liat Roland Garros, pada momen terakhir Perancis Terbuka dalam usia 30-an, keduanya bukanlah favorit juara.
Bagi Federer, Perancis Terbuka, 30 Mei-13 Juni, hanyalah turnamen ketiga pada tahun ini, bahkan, sejak Australia Terbuka 2020. Di Melbourne Park setahun lalu, petenis peringkat kedelapan dunia itu dihentikan Novak Djokovic pada semifinal.
Dari dua turnamen pada tahun ini, ATP 250 Doha dan Geneva, Federer hanya sekali menang. Jumlah itu lebih sedikit dibandingkan jumlah operasi lutut kanan yang dijalaninya pada 2020, yaitu dua kali. Menepi dari turnamen selama 15 bulan, hingga akhirnya bermain di Doha, 8-13 Maret, Federer pun tahu diri dengan posisinya saat ini.
”Bagaimana bisa saya berpikir akan menjuarai Perancis Terbuka? Tentu saja, hal-hal ’gila’ bisa saja terjadi. Tetapi, saya tidak begitu yakin bahwa dalam 50 tahun terakhir Perancis Terbuka, ada petenis yang akan berusia 40 tahun, tidak bertanding dalam 1,5 tahun terakhir, lalu memenangi semua pertandingannya. Saya tahu keterbatasan saya saat ini,” tutur Federer.
Bersama Serena, Federer akan bermain dalam Perancis Terbuka untuk terakhir kalinya di usia 30-an tahun. Federer akan berusia 40 tahun pada 8 Agustus dan Serena pada 26 September.
Keduanya telah menjadi bagian dari petenis terbaik dalam sejarah. Berkarier di arena tenis profesional sejak 1998, Federer berbagi status dengan Rafael Nadal sebagai tunggal putra dengan gelar Grand Slam terbanyak, masing-masing, dengan 20 gelar.
Tiga tiga tahun lebih dulu bersaing di arena profesional, Serena telah mengoleksi 23 gelar. Tinggal satu gelar lagi yang dibutuhkan ibu satu anak itu untuk menyamai Margaret Court, sebagai petenis dengan gelar Grand Slam terbanyak, di nomor tunggal. Faktor inilah yang selalu menjadi motivasi untuk tetap bermain, meski tak pernah dikatakannya secara tegas.
Serena hampir mencapainya ketika empat kali lolos ke final Grand Slam setelah istirahat dari turnamen karena hamil dan melahirkan. Empat final itu didapat di Wimbledon 2018 dan 2019, serta AS Terbuka pada tahun yang sama. Akan tetapi, dia selalu dijegal lawan-lawannya. Gelar ke-23 Grand Slam, yang terakhir didapatnya sebelum melahirkan, didapat di Australia Terbuka 2017.
Tak pernah bercerita tentang rencana pensiun, Serena tetap mengejar rekor yang belum juga diraihnya dengan tampil di setiap Grand Slam. Akan tetapi, lapangan tanah liat Roland Garros tampakya tak akan menjadi tempatnya menciptakan rekor.
Dalam tiga tahun terakhir, hasil yang didapat di Roland Garros lebih buruk dibandingkan tiga ajang lain. Dia hanya bertahan hingga babak keempat pada 2018, babak ketiga (2019), dan babak kedua (2020).
”Roland Garros adalah yang paling sulit bagi Serena karena menuntutnya berada di puncak kondisi fisik. Dia juga sulit memperlihatkan kualitasnya di tanah liat. Sejak 2018, dia bermain di final Grand Slam di jenis lapangan lain, tetapi tidak di tanah liat,” tutur pelatih Serena, Patrick Mouratoglou.
Bermain di lapangan tanah liat yang memantulkan bola dengan lambat, hingga durasi pertandingan pun cenderung panjang, petenis dituntut memiliki daya tahan fisik prima. Pukulan dan servis keras tak akan berpengaruh tanpa kemampuan memilih jenis pukulan yang tepat serta bergerak secara alami di atas tumbukan batu bata merah yang licin.
Rekam jejaknya yang buruk setelah mencapai final Perancis Terbuka 2016, serta penampilannya yang tak meyakinkan pada turnamen pemanasan tahun ini membuat Mouratoglou pun berpikir realistis.
”Melihat hasil di turnamen sebelumnya, saya bisa katakan, sulit bagi Serena untuk juara di Roland Garros,” kata pelatih yang telah mendampingi Serena sejak 2012 itu.
Sebelum tiba di Roland Garros, Serena hanya memenangi satu pertandingan dalam dua turnamen, yaitu atas petenis kualifikasi berusia 17 tahun, Lisa Pigato, pada babak pertama WTA 250 Parma. Setelah itu, dia kalah dari Katerina Siniakova.
Adapun pada turnamen sebelumnya, WTA 1000 Roma, Serena disingkirkan Nadia Podoroska pada babak pertama. Itu menjadi turnamen pertamanya setelah kalah pada semifinal Australia Terbuka, Februari.
Federer pun berpikir realistis dengan mengatakan bahwa dia tak akan bisa menjuarai Perancis Terbuka. ”Perancis Terbuka bukan target saya untuk level permainan seperti saat ini. Siapa pun yang berkata saya akan atau bisa juara di sini, mereka salah,” kata ayah dari empat anak itu.
Seperti Serena, Federer tak menemukan kenyamanan ketika bermain di Roland Garros. Dari 20 gelar Grand Slam, hanya satu gelar didapatnya dari Perancis Terbuka, yaitu pada 2009. Penampilannya pada 2019, hingga mencapai semifinal, menjadi yang pertama setelah absen pada 2016-2018.
Tanpa ekspektasi apapun pada tahun ini, Federer menjadikan Perancis Terbuka sebagai persiapan menuju Wimbledon yang menjadi target besarnya. Meski digelar di jenis lapangan berbeda—Wimbledon berlangsung di lapangan rumput—Perancis Terbuka menjadi ajang untuk mengasah kembali rasa kompetitifnya.
”Berlatih dan bertanding memiliki suasana berbeda. Saya membutuhkan Perancis Terbuka agar terbiasa kembali dalam berkompetisi,” ujar Federer. (AFP)