City Tersengat Kutukan Finalis Debutan Liga Champions Eropa
Manchester City harus mengubur impian untuk meraih trofi Liga Champions pertama di musim ini. Gol perdana Kai Havertz di Liga Champions menghadirkan trofi ”Si Kuping Besar” untuk Chelsea.
Oleh
MUHAMMAD IKHSAN MAHAR
·5 menit baca
PORTO, MINGGU — Sejak memasuki abad ke-21 tidak ada satu pun tim finalis debutan di partai puncak Liga Champions Eropa yang mampu keluar sebagai juara. Kekalahan Manchester City dari Chelsea di laga pemungkas Liga Champions Eropa edisi 2020-2021 di Stadion Do Dragao, Portugal, Minggu (30/5/2021), memperpanjang kutukan itu.
City menjadi tim debutan kedelapan dalam dua dekade terakhir yang gagal mengangkat trofi ”Si Kuping Besar” di akhir laga final. Sebelum ”The Citizens”, tujuh tim lainnya adalah Valencia (1999-2000), Bayer Leverkusen (2001-2002), AS Monaco (2003-2004), Arsenal (2005-2006), Chelsea (2007-2008), Tottenham Hotspur (2018-2019), serta Paris Saint-Germain (2019-2020).
Tidak hanya itu, City juga gagal mengakhiri kegagalan dua tim finalis debutan sebelumnya yang tumbang di final tanpa mencetak gol. ”The Citizens” kalah 0-1 dari Chelsea berkat gol perdana Kai Havertz di Liga Champions Eropa yang tercipta pada menit ke-42. Sebelum City, Spurs dan PSG juga gagal menghasilkan gol di laga final perdana mereka.
Spurs tumbang 0-2 dari Liverpool di Madrid, Spanyol. Sementara itu, PSG dikalahkan Bayern Muenchen 0-1 di Lisabon, Portugal.
Manajer City Pep Guardiola tidak bisa memendam kekecewaannya setelah gagal meraih kemenangan di final Liga Champions Eropa yang ketiga. Di dua final terdahulu bersama Barcelona pada final edisi 2009 dan 2011, Guardiola selalu meraih kemenangan.
Meski demikian, ia belum akan menyerah untuk mewujudkan mimpinya mempersembahkan gelar Liga Champions Eropa untuk Manchester City. Guardiola ingin menjadi manajer kedua setelah Carlo Ancelotti yang mengangkat tiga trofi Si Kuping Besar dengan dua tim berbeda.
Ini adalah musim yang luar biasa bagi kami. Sekarang kami akan beristirahat, kemudian akan mempersiapkan musim depan. Ini adalah pertama kali kami (City) berada di fase ini, harapannya kami akan kembali ke final di masa depan.
”Ini adalah musim yang luar biasa bagi kami. Sekarang kami akan beristirahat, kemudian akan mempersiapkan musim depan. Ini adalah pertama kali kami (City) berada di fase ini, harapannya kami akan kembali ke final di masa depan,” ujar Guardiola dilansir laman UEFA.
Meskipun kecewa, Guardiola setidaknya telah mampu merebut kembali gelar Liga Inggris serta mempertahankan titel Piala Liga di musim ini. Di sisi lain, ia sudah memahami ramuan yang tepat untuk mencapai partai puncak Liga Champions Eropa setelah selalu tersingkir di babak perempat final dalam tiga musim terdahulu.
”Di final Liga Champions Eropa pertama ini, kami memainkan laga yang baik. Saya mengucapkan selamat atas capaian para pemain di musim ini dan permainan yang kami tampilkan hari ini. Tim ini akan menjadi yang terbaik di dunia dalam beberapa tahun mendatang,” kata manajer berusia 50 tahun itu.
Kekalahan itu juga membuat City gagal mencetak satu gol di Stadion Do Dragao dalam dua laga di Liga Champions Eropa musim ini. Sebelumnya, City hanya bermain imbang 0-0 dengan sang pemilik Dragao, FC Porto, di fase grup, awal Desember lalu. Alhasil, dua dari 13 laga Liga Champions musim ini yang gagal dimenangi The Citizens tercipta di Porto.
Menyerang
Guardiola memulai laga final dengan taktik menyerang. Dibandingkan susunan 11 pemain awal di dua laga semifinal melawan PSG, Guardiola hanya mengganti Fernandinho dengan Raheem Sterling. Kehadiran Sterling di sisi sayap kanan membuat Ilkay Gundogan ditempatkan sebagai gelandang tengah.
Formasi ini membuat City fokus menyerang karena tampil tanpa gelandang bertahan yang menjadi penghubung antara lini belakang dan lini depan. City memang mampu tampil dominan dengan menguasai 58 persen penguasaan bola, tetapi mereka gagal membongkar pertahanan Chelsea.
Bahkan, taktik City itu seakan masuk ke dalam perangkap Manajer Chelsea Thomas Tuchel. Manajer asal Jerman itu menunjukkan hasil belajarnya dari dua kemenangannya atas Guardiola di dua pertemuan terakhir serta kekalahan di final musim lalu bersama PSG. Tuchel tidak ingin Chelsea bermain ceroboh dengan melakukan serangan dan menekan City. Sebagai gantinya, Tuchel menerapkan formasi agar skuad ”Si Biru” bertahan lebih dalam untuk menunggu City melakukan serangan.
Dengan bermain sabar di zona pertahanan sendiri, Chelsea sesekali melakukan serangan balik mematikan. Taktik ini serupa diterapkan Tuchel ketika dua kali jumpa Real Madrid di semifinal. Dan, pendekatan permainan ini menjadi cara yang ampuh untuk mengalahkan Guardiola tiga kali beruntun.
Gol satu-satunya di laga itu tercipta lewat skema serangan balik efektif Chelsea. Mason Mount yang menguasai bola di tengah lapangan memberikan asis brilian kepada Havertz yang bergerak meninggalkan Oleksandr Zinchenko dan lolos dari jebakan offside City. Skema gol Chelsea itu mampu memanfaatkan lubang di sisi tengah pertahanan City yang tidak memiliki gelandang bertahan tunggal.
Itu adalah tembakan tepat sasaran kedua yang dicatat Chelsea di Porto. Satu tembakan lainnya diciptakan Timo Werner pada menit ke-14. Tembakan Werner mampu ditangkap kiper City, Ederson. Sebaliknya, permainan dominan City hanya berbuah satu tembakan ke gawang yang diciptakan Sterling lewat tembakan menggunakan tumit di menit kedelapan.
”Saya menurunkan susunan pemain yang menurut saya yang terbaik untuk laga ini,” kata Guardiola terkait pilihan 11 pemain utamanya yang berbeda dibandingkan kebiasaannya selama ini.
Tuchel senang anak asuhannya mampu menampilkan jerih payah dari persiapan yang telah dilakukan dalam satu pekan terakhir. Seluruh pemain Chelsea, lanjutnya, telah bermain sesuai dengan kebutuhan tim untuk mengalahkan tim kuat seperti City.
”Untuk mengalahkan City kami harus menunjukkan level top permainan, kerja sama yang kuat, serta efektif memanfaatkan peluang, itulah yang telah kami tampilkan. (Juara) ini adalah pengalaman yang hebat, kami akan mengambil keuntungan dari pengalaman ini untuk tetap lapar dan tumbuh untuk mengejar trofi lain,” ujar Tuchel.
Dengan mempersembahkan trofi Liga Champions Eropa setelah menggantikan Frank Lampard, 25 Januari lalu, Tuchel menjadi manajer pengganti kedua Chelsea yang mampu membawa ”Si Biru” menguasai Eropa. Gelar perdana Chelsea di Liga Champions Eropa edisi 2011-2012 juga dipersembahkan oleh manajer pengganti, Roberto Di Matteo. Secara total, Tuchel adalah manajer kesembilan yang mampu membawa timnya menjadi juara Liga Champions Eropa dengan status manajer pengganti di pertengahan musim.
”City memiliki pemain berkelas dunia yang selalu menghadirkan laga sulit bagi kami. Kami mendapatkan satu gol melalui serangan balik, setelah itu kami berusaha keras dengan kemampuan terbaik untuk mempertahankan keunggulan itu,” ucap Mount, pemain lulusan akademi Chelsea, kepada BT Sport. (AFP)