Pep Guardiola sedang melawan nasib. Sejak membawa Barcelona meraih kemenangan tahun 2009 dan 2011, belum pernah Guardiola menembus final Liga Champions Eropa. Guardiola kini berusaha mengalahkan nasib itu.
Oleh
Sindhunata
·5 menit baca
Sebelum pertandingan di Liga Primer Inggris antara Manchester City dan Chelsea, Manajer Manchester City Pep Guardiola dan Manajer Chelsea Thomas Tuchel kedapatan saling berbicara. Guardiola berseloroh, Tuchel, manajer asal Jerman itu, memberinya taktik untuk final Liga Champions Eropa nanti.
Apakah hadiah taktik dari Tuchel itu? Guardiola membungkam. Pada pekan ke-35 itu, City akhirnya dikalahkan Chelsea, 1-2. Mungkinkah justru kekalahan itu adalah taktik yang dihadiahkan Tuchel? Bisa saja sebab dalam bola, kekalahan sering menjadi inspirasi bagi kemenangan berikutnya, apalagi bagi Guardiola, manajer yang selalu bisa mengambil hikmah dari kekalahannya.
Tidakkah fans Chelsea khawatir dengan kemenangannya? Sebab tak mustahil, kemenangan mereka justru menjadi alasan buat amuk City untuk membalas dendam atas kekalahannya di final Liga Champions Eropa nanti.
Dari pengalamannya, Guardiola pernah menyimpulkan, ”Jika dua kesebelasan beberapa kali bertemu, itu menjadi seperti playoff dalam pertandingan basket. Kami melakukan begini, lawan meresponsnya begitu. Berikutnya, kami akan menjawabnya dengan melakukan ini-itu yang lain lagi.”
Mereka telah mengalahkan kami dua kali, selamat buat mereka. Namun, Liga Champions Eropa adalah kompetisi yang berbeda, dan ini final, lihat saja apa yang nanti terjadi.
Guardiola seakan sudah melakukan geladi bersih dalam pertandingan melawan Chelsea sebelum final bergengsi ini. ”Chelsea telah menciptakan problem bagi tim mana pun. Kami sudah mempelajari dan sekarang kami mengetahui, bagaimana kini giliran kami yang harus menciptakan problem bagi mereka. Mereka telah mengalahkan kami dua kali, selamat buat mereka. Namun, Liga Champions Eropa adalah kompetisi yang berbeda, dan ini final, lihat saja apa yang nanti terjadi.”
Di bawah Tuchel, Chelsea menjadi tim yang sangat kuat. Boleh dikatakan, kekuatan mereka sama dengan kekuatan City di bawah Guardiola. Ternyata, Chelsea dapat mengalahkan City dua kali berturut-turut dalam momen yang penting di Inggris, semifinal Piala FA, dan pekan ke-35 Liga Primer Inggris, saat Chelsea harus mempertahankan posisi empat besarnya.
Akan tetapi, beberapa pengamat mempertanyakan, mungkinkah sebuah kesebelasan akan menang tiga kali berturut-turut atas lawan yang sama ketika perbedaan kekuatan di antara kesebelasan dan lawannya tersebut sangatlah tipis, nyaris seperti 50-50?
Guardiola dan Tuchel adalah dua manajer dunia dan sahabat yang saling menaruh respek. Tentang itu ada kisah menarik. Tahun 2015, Michael Reschke, Direktur Teknis FC Bayern Muenchen, mempertemukan mereka berdua di sebuah restoran terkenal di Muenchen. Kedua manajer itu terlibat dalam diskusi sepak bola yang seru.
Tuchel lalu memperagakan kembali taktik Guardiola ketika ia melatih Barcelona tujuh tahun lalu. Ia mengambil gelas anggur, tempat merica dan garam, lalu di atas meja perjamuan itu ia menggerakkannya, mendorongnya ke depan, dan menariknya mundur, seakan ia sedang memainkan dan mengevaluasi kembali permainan bola Guardiola.
Reschke bilang, dirinya sudah banyak sekali mendengar tentang sepak bola, tetapi bagaimana pada malam itu Tuchel dan Guardiola bicara tentang taktik sepak bola, itu sungguh istimewa dan luar biasa.
Di depan umum, Tuchel tak segan-segan mengakui bahwa dirinya banyak mencontoh apa yang dilakukan Guardiola. Guardiola adalah murid setia Johan Cruyff yang ciri utama permainannya adalah menguasai bola. Tuchel terang-terangan ingin agar pemainnya benar-benar piawai dalam menguasai bola, seperti doktrin permainan Guardiola. Dari Guardiola pula, ia mengembangkan doktrin bolanya, yakni ”respek terhadap rekan pemain dalam menguasai ruangnya, ini juga berlaku bagi siapa saja, juga bagi pemain yang dianggap hebat.”
Dalam sepak bola modern, tiru-meniru itu kelihatan sah dan normal-normal saja. Bahkan, mantan Pelatih Bayern Muenchen Jupp Heynckes pernah menjiplak Gegen-pressing dari Juergen Klopp ketika melatih Borrusia Dortmund. Maka, Klopp pernah berseloroh, ”Dalam bola, sekarang itu biasa, persis seperti apa yang dibuat orang-orang China dalam dunia industri. Melihat apa yang dibuat orang lain, lalu menjiplaknya.”
Selama ini, kendati berobsesi terhadap permainan ofensif, baik Tuchel maupun Guardiola sama-sama menekankan pentingnya pertahanan. Pada City, instruksi sudah mendarah daging pada pemainnya.
”Pertahanan yang kuat tak dapat lagi diabaikan, lebih-lebih dalam pertandingan besar di fase krusial dan knock-out. Chelsea membuat yang sama seperti kami. Mereka begitu kuat di belakang dan membuat gol hanya dalam jumlah sedikit. Mungkin, final kami nanti adalah tentang siapa yang mampu dengan lebih baik menghadapi tim yang akan membela pertahanannya pada level yang sangat tinggi,” kata İllkay Gundogğan, gelandang City.
Seperti Guardiola, Tuchel menekankan permainan yang sangat skematis. Karena skematis, peluang untuk improvisasi tidak terlalu banyak. Namun, sedikit berbeda dengan Guardiola, semakin dekat dengan gawang lawan, Tuchel membiarkan pemainnya liar sebebas mungkin. Di belakang harus skematis, tetapi di depan gawang lawan, skema itu boleh ”ambyar”, untuk membingungkan dan menjerumuskan lawan pada kekacauan. Ia sudah mempraktikkan ini di PSG, tetapi kurang berhasil karena ia hanya punya Neymar. Di Chelsea, taktik itu jauh lebih berjalan karena ia mempunyai banyak striker andal.
Akan tetapi, Tuchel harus waspada. Malam nanti Tuchel tidak hanya akan beradu taktik, tetapi juga harus menghadapi Guardiola yang sedang melawan nasib. Sejak dua kali bersama FC Barcelona meraih kemenangan tahun 2009 dan 2011, belum pernah lagi Guardiola menembus final Liga Champions Eropa. Bersama Bayern Muenchen, tiga kali ia gagal di semifinal (2014-2016). Bersama City (2018-2020), ia sudah tersingkir di perempat final. Malah tahun 2017 di perdelapan final. Ia seperti ditakdirkan oleh nasib untuk tidak bisa juara lagi di Liga Champions Eropa.
Maka, begitu City memastikan tiketnya ke final Liga Champions Eropa setelah menjungkalkan PSG, Guardiola mengangkat tangan ke atas. Ia seakan menatap bintang di langit. Ia ingin meraihnya sambil mencampakkan takdirnya selama ini.
Ia dikenal sebagai pelatih yang selalu bisa menemukan dan mengambil peluang dari setiap permainan. Namun, di Liga Champions Eropa, nasib seakan selalu melindas peluangnya di setiap kesempatan. Apakah kali ini nasib akan tetap berkuasa dan kejam atasnya? Atau ia bisa mengalahkan nasib itu? Inilah pertanyaan bola pada final malam ini: Pertanyaan magis yang sulit dijawab ketika dua tim hebat berada di final dengan kekuatan dan kans 50 dibanding 50.